UINSGD.AC.ID (Humas) — Ramadhan bulan penuh keteraturan, tentu saja bagi muslim yang beriman. Teratur dalam berniat, dalam pola berpikir, dalam pola ucap, juga teratur dalam pola tindak. Tak hanya itu, teratur dalam melek literasi, teratur dalam kepedulian sosial, apalagi teratur dalam peribadahan. Lebih dari itu, teratur dalam pola makan dan minum, teratur dalam pola hubungan suami istri, teratur dalam pola tidur dan yang lainnya.
Sejatinya, hidup teratur merupakan ciri orang maju, sebaliknya hidup tanpa keteraturan menandakan pola ketidakmajuan. Mulai teratur dari bangun tidur, makan, bekerja dan sampai istirahat kembali. Mulai teratur dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan sampai pada pengontrolan. mulai teratur dari kehidupan pribadi, keluarga masyarakat sampai pada kehidupan bernegara.
Konsekuensi keteraturan ialah kedisiplinan, artinya, ketaatan terhadap aturan. Tanpa adanya kedisiplinan itu maka sebuah aturan bagaimana pun baiknya tak akan berarti dan berfaedah. Aturan lalu lintas misalnya, tanpa adanya kedisiplinan (ketaatan) dari para pemakai jasa lalu lintas tersebut maka ia tak berarti, dan yang mungkin ialah, terjadinya kemacetan dan berbagai kecelakaan.
Demikian pula telah dicabutnya izin perjudian dan semakin kokohnya larangan berbagai perjudian, tanpa adanya kedisiplinan terhadapnya, ia tak membawa hikmah apa-apa, selain masyarakat akan tetap berhadapan dengan konsekuensi dari perbuatan judi.
Memang ketaatan terhadap aturan, tidaklah semata tergantung pada pemakai aturan, melainkan aturan itu sendiri turut menentukan mungkin atau tidaknya ia dilaksanakan. Tentu selain tujuan aturan itu yang baik juga isinya mumpuni dan memungkinkan untuk dilaksanakan, sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada.
Berlakunya sistem tahapan dalam penerapan sebuah aturan tidaklah heran, karena hal itu sesuai dengan isyarat dari Islam. Tentu kita ingat ketika proses pengharaman terhadap khamer (minuman keras). Mulasi datangnya seorang “Badui” kepada Rasulullah, menyatakan hasratnya: “Ya, Rasulullah, aku senang terhadapmu aku juga senang terhadap apa yang diajarkan olehmu (Islam), tetapi aku juga cinta minuman keras, perzinahan dan mencuri. Bolehkan saya masuk Islam ya Rasulallah?”
Rasulullah menjawab : “boleh asal satu saja saya minta untuk engkau perhatikan”, Apa itu wahai Rasulullah?” Tanya orang Badui´itu. “Tinggalkanlah berbohong” sabda Rasulullah. Orang “Badui” pun menyetujuinya, karena meninggalkan berbohong dianggapnya ringan.
Lama kelamaan barulah “Orang Badui” tadi menyadari bahwa, antara khamar dengan tidak berbohong susah untuk disatukan. Khamar dapat mengakibatkan kemabukan, dan mabuk menjadi salah satu biang berbagai kejahatan, sementara tak berdusta ialah berbuat jujur dan kejujuran ialah lambang kebaikan. Karenanya tak mungkin kejahatan dan sekaligus kebaikan dilaksanakan dalam satu waktu, yang berarti harus terjadi pengaturan kesempatan.
Pada kali berikutnya, barulah rasulullah menjelaskan: “dalam khamer itu, ada manfaatnya tetapi lebih besar madaratnya”, penjelasan ini membuat orang tadi kembali berfikir. Dan pada saat berikutnya turun ayat yang membatasi kesempatan untuk mabuk, yang artinya kurang lebih:”Hei orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (Q.S. 4:43).
Hingga akhirnya sampailah pada maksud utama diturunkanya aturan, yakni pelarangan untuk minum-minuman keras, dengan ayatnya: “Hei orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minuman) khamer berjudi dan (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan” (Q.S. 5:90).
Sebenarnya tidak hanya aturan yang berkaitan dengan minuman keras yang dapat membawa hikmah keberuntungan, hampir semua aturan yang bijak berharap orang yang menaatinya akan memperoleh kelancaran, kebahagiaan, kedamaian dan keberuntungan terlebih lagi aturan Islam.
Sebagaimana karakter aturan yang bijak yang tidak hanya larangan melainkan ada alternatif, Islam adalah aturan yang mengatur setiap Muslim mulai mengatur tata keimanan, tata kehidupan dan pengaturan mana yang salah dan yang benar.
Seperti cerita anak gadis yang bertanya kepada bapaknya, “Ayah boleh engga pacaran menurut Islam? “Ayahnya menjawab: “ Boleh asal pacarannya di tempat terang, ditemani oleh muhrim dan tidak saling bersentuhan bila terjadi diluar itu maka bahaya dan Islam melarangnya.
Pada saat yang lain anak gadis itu mulai bertanya: “Ayahnya dengan bijak kembali menjawab: “Boleh saja dan tak ada salahnya, asal ia sedang berada di rumah dan dirumah itu hanya ada muhrim yang diperbolehkan melihatnya, bahkan dihadapan suamimu engkau bebas berpakaian sekehendakmu. Di luar itu bahaya “.
Tatkala anak gadis itu mendengar berita tentang hasil penelitian berpuluh persen anak gadis di Bandung dan di Surabaya pernah melakukan hubungan intim dengan lawan jenis, kembali anak gadis yang manis itu bertanya kepada ayahnya kiai, dan ayahnya pun menjawab: ”boleh saja anak gadis dan jejaka melakukan intim, asalkan mereka terlebih dahulu menikah, dan diluar itu akan berbahaya. “seraya kemudian sang ayah memanggil anaknya untuk mendekat dan berkata: “anakku sayang, harap engkau ketahui Islam itu adalah aturan untuk manusia yang datang dari penciptanya yang sesuai dengan karakter kemanusiaannya.
Bila saja manusia merasa berat atas sebuah aturan, maka laksanakanlah sekemampuannya, sesungguhnya Dia tidak membebankan sebuah aturan kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Sesungguhnya Dia Yang Membuat Aturan tidaklah kejam. Dia menghendaki agar yang berdisiplin pada aturan-Nya akan terhindar dari bahaya yang dapat merugikannya dan mengantarkan kepada keselamatan yang akan membawa keberuntungan dan kesuksesan, tidak saja ketika di dunia tetapi di akhirat kelak.
Demikianlah hikmah orang yang hidup teratur.”Tutup penjelasan sang ayah yang bijak, yang dijawab oleh anggukan anak gadisnya yang manis tanda mengerti. Seraya ia pun lebih bersemangat lagi menjalani Ibadah di Bulan Ramadhan dengan penuh keteraturan dan kedisiplinan, yang dijadikanna sebagai ajang latihan untuk hidup lebih maju di masa depan.” Wallahu A’lam.
Aep Kusnawan, Kepal Pusat Pengabdian kepada Masyarakat UIN Sunan Gunung Djati Bandung