ILMU KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI TEOLOGI PRAKSIS PENDIDIKAN ISLAM

(UINSGD.AC.ID)-Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah satu mazhab pemikiran dan pembelajaran Islam yang membangun Jemaah atau ummat melalui pelaksanaan dan pemeliharaan Tradisi (Sunnah). Sunnah dan syariat menjadi pusat dalam pengajaran Islam mazhab Ahl Sunnah Wal- Jamaah ini.

Dari sunnah (tidak hanya Hadits) dalam arti yang lebih luas sebagai tradisi keagamaan Isalam yang terpelihara dari guru ke murid dan tersambung sampai Rasulullah ini jamaah disatukan. Berdasarkan sunnah ini juga otoritas dibangun, bahwa seorang ulama atau Kyai yang dapat menjadi rujukan keislaman adalah mereka yang melaksanakan sunnah (tradisi keagamaan) secara baik.

Itulah yang menjadi “kebijakan pendidikan Islam” di Indonesia, asalnya bukan dari pemerintah, namun dari pemegang otoritas keagamaan. Itu juga yang terus-menerus menjadi sumber praksis pendidikan Islam di Indonesia sampai saat ini, paling tidak di pesantren. Maka kebijakan pendidikan bukanlah hanya “whatever governments choose to do or not to do” sebagaimana dikemukakan Thomas R. Dye (2014), namun Tarik-menarik dengan pemegang otoritas keagamaan.

Pada titik ini pemikiran Easton (1965:21) dapat menjadi pertimbangan bahwa kebijakan merupakan “the authoritative allocation of values for the whole society”. Jadi Kebijakan publik terkait dengan pengalokasian nilai yang otoritatif untuk seluruh masyarakat tanpa harus terkait dengan pemerintahan. Peran pemerintah sebagai produser kebijakan dapat diganti dengan pemilik autoritas, seperti kyai, orang tua, atau masyarakat.

Di sini “whatever governments choose to do or not to do” berhadapan dengan “whatever religious authority choose to do or not to do”. Pemerintah boleh memilih satu aturan main tertentu untuk praktek pendidikan Islam, namun mayorita masyarakat lebih besar merujuk pada “kebijakan pemegang otoritas”.

Jika pemerintah memaksakan kebijakannya tanpa konsultasi atau negosiasi dengan kebijakan Kyai, akan teradi konflik berkepanjangan. Mungkin takada perlawanan terbuka, hanya pengingkaran diam-diam, namun itu artinya kebijakan yang diterapkan pemerintah tidak efektif. Pada sisi lain, pemerintah dapat menyebut pengingkaran ini sebagai pembangkangan, namun argument pengingkaran ini cukup rasional bahwa yang memahami agama adalah kyai, bukan pemerintah.

Prof. Dr. H. Bambang Qomaruzzaman, M.Ag., Guru Besar Bidang Ilmu Kebijakan Pendidikan Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Untuk membaca selengkapnya Orasi Ilmiah Pengukuhan 14 Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung Jilid II dapat diunduh pada laman ini

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *