Membuktikan Kecurangan Pemilu

Ilustrasi KPU/ foto: detikNews

UINSGD.AC.ID (Kampus I) — Ada garis tipis antara kecurangan dan tekanan pemilu. Kecurangan pemilu didefinisikan sebagai penggunaan tindakan rahasia untuk mengubah hasil pemilu. Sementara itu, tekanan pemilu adalah tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu secara terbuka kepada target dalam rangka mempengaruhi hasil suara dalam sebuah pemilihan umum politik.

Contoh yang paling mencolok untuk membedakan antara kecurangan dan tekanan pemilu adalah apa yang dilakukan pemilik perusahaan. Ia tidak dikatakan bersalah ketika semua buruh dan karyawannya ditekan untuk memilih partai atau kandidat tertentu. Tindakan-tindakan ini bukanlah suatu kecurangan, meskipun tercela secara moral, kecuali jika ada undang-undang yang melarangnya. Sementara itu, ketika sang pemilik perusahaan tersebut mengubah hasil suara buruh dan karyawannya secara terselubung, maka ia melakukan tindakan kecurangan pemilu.

Akal sehat menunjukkan sifat curang suatu tindakan ketika orang yang melakukannya ingin dan berusaha menyembunyikannya dari pandangan banyak orang. Kriteria kecurangan dalam pemilihan umum tidak hanya sekadar tersembunyi, tapi juga dapat mempengaruhi hasil secara signifikan. Kecurangan terjadi ketika ada pelanggaran hukum yang dimanfaatkan dalam pemilihan untuk mengubah hasil yang seharusnya tidak bisa dicapai oleh pihak yang bersangkutan secara sah.

Penting untuk memahami arti kecurangan pemilu agar kita bisa menilai batas moral dan hukum yang membedakan tindakan politik yang dapat diterima dan yang tidak. Selain merupakan perbuatan yang terselubung dan dapat mempengaruhi hasil pemilu, dikatakan kecurangan jika terjadi pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum digunakan oleh pelaku dalam proses pemilu untuk mencuri hasil yang mereka yakini tidak mampu mereka menangkan dengan bersih.

Penting untuk disoroti perihal makna kecurangan dan tekanan pemilu, supaya memungkinkan kita untuk mengevaluasi di mana letak batas antara tindakan pemilu yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima. Selain itu, kita perlu menyandingkan apa yang dianggap tercela secara moral oleh warga negara dengan apa yang diperbolehkan secara hukum untuk memahami mengapa, di tempat dan waktu tertentu berbagai tindakan pemilu tidak lagi dianggap pantas sementara di tempat lainnya dianggap pantas.

Perlu Ada Survei

Untuk pembuktian ada atau tidaknya kecurangan pemilu perlu ada survei yang menanyakan kepada masyarakat apakah mereka benar ditawari manfaat sebagai imbalan atas hak pilih mereka. Perlu digunakan berbagai model statistik untuk menunjukkan bahwa operasi pihak tertentu adalah berhasil dalam memperoleh suara yang ditargetkannya melalui kecurangannya.

Kemudian, kita pun perlu melakukan pembuktian bahwa kecurangan, dalam berbagai bentuknya, terbukti efektif dan dapat dibuktikan faktual bahwa melalui prosentase tertentu yang signifikan masyarakat telah memberikan “hadiah” kepada mereka yang “menipunya”. Kita tidak bisa mengatakan terjadi kecurangan pemilu ketika data menunjukkan bahwa manfaat yang diharapkan dari pembelian suara tidaklah terjadi.

Cara lain untuk mengukur kecurangan adalah dengan melakukan koreksi terhadap dampak manipulasi suara terhadap total suara. Kita harus mampu dengan jelas dan terukur mengidentifikasi daerah atau wilayah di mana terdapat dugaan kecurangan atau manipulasi suara yang signifikan. Misalnya, daerah di mana terdapat laporan atau bukti kuat tentang intimidasi pemilih, pembelian suara, atau manipulasi hasil pemilihan.

Hal ini sudah barang tentu harus menggunakan metode analisis statistik untuk memperkirakan seberapa besar dampak kecurangan terhadap hasil pemilihan di daerah-daerah tersebut. Misalnya, kita dapat menggunakan teknik regresi atau perbandingan dengan daerah kontrol untuk mengidentifikasi pola atau perbedaan yang mencurigakan.

Kepentingan Ekonomi

Dari berbagai studi sejarah tentang kecurangan, kepentingan ekonomi merupakan motif terkuat melakukan kecurangan pemilihan. Dalam sejarah kasus kecurangan pemilihan di Jerman terungkap bagaimana kaum junkers (pemilik tambang batu bara dan pabrik) mengontrol petani dan karyawannya untuk memastikan kemenangan partai konservatif yang mereka dukung. Para tuan tanah di Jerman menggunakan kecurangan untuk memastikan bahwa anggota parlemen yang dipilih di daerah mereka mempertahankan kekuasaan kelas mereka.

Kecurangan pemilu politik tidak mudah dihindari, di mana para kontestan (partai dan/atau mesin politik) melakukan segala cara dan mengabaikan moralitas untuk mempertahankan atau mendapatkan kendali negara. Meskipun politik dipastikan akan sering kali kompleks dan penuh intrik, prinsip-prinsip etika dan integritas tetap harus dijunjung tinggi untuk menjaga keadilan, transparansi, dan kepercayaan dalam sistem politik. Selain itu, proses politik yang berpijak pada prinsip etika dan integritas memainkan peran positif dan penting dalam mengendalikan sosial.

Ija Suntana Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Sumber, kolom detiknews Jumat, 19 Apr 2024 16:00 WIB.

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *