Sang Kembang Peradaban

Ilustrasi Islam/ foto: freepik

UINSGD.AC.ID (Kampus I) — Diantara esensi Ibadah haji dan umrah adalah rihlah al-tarikhiyah, yakni perjalan untuk mengkoneksikan segenap potensi diri dengan sejumlah situs bersejarah yang dimiliki Haramain.

Dalam perjalanan itu, setiap Jemaah akan dipertemukan dengan sejumlah nilai adiluhung yang terkandung pada situs bersejarah sebagai inspirasi untuk melakukan refleksi sekaligus aksi konstruktif dan inovatif untuk mensolusi ragam problema hidup.

Ketika rihlah ke padang arafah, tatapan mata dimanjakan oleh deretan bukit bebatuan yang nampak terjal, kokoh nan tangguh. Diantara terjalnya bukit bebatuan itu, terbentang tembok berwarna abu-abu yang terlihat sudah sangat kusam. Tembok itu dikenal dengan Ain Zubaidah.

Ain Zubaidah adalah mata air dan saluran air yang bermula dari air mata seorang perempuan berhati mulia ketika menyaksikan banyak Jemaah haji di padang arafah wafat karena kepanasan dan kehausan. Perempuan itu adalah Zubaidah binti Ja’far al-Akbar bin Abi Ja’far al-Mansyur isteri Harun Al-Rasyid, seorang khalifah legendaris di zaman Daulah Abbasiyah.

Sebagai maha karya yang inovatif di zamannya. Ain Zubaidah terbentang sejauh ribuan kilometer yang melintas dari Kufah di Irak, disalurkan menuju Rafha (sebuah wilayah yang berbatasan dengan Saudi). Kemudian disalurkan kembali menuju Fida (120 KM disebelah tenggara Rafha).

Dari Fida disalurkan kembali menuju Ar-Rabdzah (lokasi yang terletak 190 KM di arah timur Madinah). Dari lokasi terakhir ini kemudian disalurkan menuju Mekah dan berakhir di Mina setelah melalui Muzdalifah dengan melintasi padang pasir, bukit bebatuan dan pegunungan nan menjulang tinggi.

Mahakarya inovatif ini dibangun sekitar tahun 791 Masehi atau bertepatan dengan tahun 174 H. Bermula dari memobilisir semua potensi yang dimiliki Daulah Bani Abbasiyah saat itu. Zubaidah kemudian mengumpulkan para insinyur sipil dan para pakar lainnya yang terkait dengan proyek itu. Untuk pendanaan, beliau pun menginisiasi langkah mulia dengan menyerahkan seluruh perhiasan yang dimilikinya yang kemudian diikuti oleh kaum perempuan di waktu itu hingga terkumpul ribuan ton emas.

Konon karena belum adanya energi listrik yang bisa digunakan sebagai pembangkit air. Seluruh SDM yang dimiliki dikerahkan untuk membuka jalan, mendirikan waduk, mengebor sumur, membangun perumahan dan rest area di sepanjang jalur perjalanan air. Kemudian dibangun pula beberapa telaga raksasa. Hal yang menakjubkan, saluran air Zubaidah ini diangkut menggunakan tenaga kuda.

Buah dari maha karya seorang perempuan mulia itu, Cristian Snouck Hugronje, dalam Tulisan-tulisan Tentang Islam di Hindia Belanda, mengungkap bahwa di waktu biasa sumber-sumber air tersebut memasok air lebih dari cukup untuk kebutuhan jamaah haji bahkan penduduk Mekah. Persediaan air yang berasal dari Ain Zubaidah, ujar snouck, tidak berkurang walau tidak turun hujan.

Setelah pemerintah Arab saudi menemukan teknologi modern penyulingan air dari laut Zedah, Ain Zubaidah tidak lagi dipergunakan untuk melayani kebutuhan air para tamu Allah. Meski demikian, ia dicatat sebagai ‘keajaiban’ yang pernah dimiliki sejarah Islam.

Zubaidah adalah sosok kembang peradaban yang layak menjadi teladan. Kehadirannya bukan sekedar inspirasi melainkan solusi. Ibarat bunga mekar di bawah sinar mentari, semangat Zubaidah sejatinya terus hidup tanpa redup di setiap relung hati muslimah yang pernah menjadi tamu Allah. dimana dari kelembutannya terbangun kekuatan dan dari kemuliaannya terbangun peradaban.

Aang Ridwan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *