Malam Penuh Rindu

Ilustrasi Ramadan/freepik

UINSGD.AC.ID (Kampus I) — Tidak dapat dipungkiri bagi siapapun yang pernah menunaikan haji atau umrah, akan merasakan suasana malam hari berbeda dengan siang hari. Pada malam hari ruhani rasanya lebih syahdu penuh rindu memenuhi qalbu. Saat di masjidil haram Mekkah penuh rindu menatap ka’bah dan saat di masjidil haram nabawi Madinah rindu shalat di raudhah dan berziarah ke maqbarah Rasulullah Saw.

Terlebih pada bulan Ramadhan, umat Islam melaksanakan qiyamu ramadhan identik dengan i’tikaf di masjid pada malam hari. Tentu saja diduga kuat terdapat hikmah dan rahasia waktu malam sehingga rela untuk menunggu secara jasmani dan menjemput secara ruhani.

Menunggu atau penantian secara jasmani pada malam-malam di bulan Ramadhan dengan berbagai aktifitas ibadah dan menghindari tidur merupakan bentuk keseriusan dan kesungguhan cinta dan rindu pada komitmen spiritualitas dihadapan Allah SWT. Sedangkan secara ruhani, qiyamu Ramadhan pada malam hari merupakan cara menjemput takdir untuk meraih anugerah kualitas ibadah satu malam yang setara dengan ibadah seribu bulan atau 83 tahun.

Di dalam Al-Quran pun terdapat nama surat Al-lail yaitu surat ke 92, walaupun pada ayat keduanya disebut pula waktu siang. Prof. Quraish Shihab menyebut al-lail secara Bahasa berarti hitam dan mempadankan dengan rambut yang hitam. Kata al-lail disebut 92 kali sementara an-nahar atau siang disebut 57 kali. Dengan demikian, malam hari lebih banyak disebut daripada siang.

Hal ini selaras dengan informasi bahwa Al-Quran diturunkan pada malam qadar (Q.S. Al-Qadar:1) atau disebut juga malam yang penuh keberkahan (Q.S. Ad-Dukhan: 3). Para ulama memaknai berkah dengan ziyadatul khair yang memiliki arti bertambah kebaikan.

Dengan kata lain lailatul qadar merupakan malam kemuliaan yang berkualitas. Pada malam tersebut para malaikat dan ruh-ruh suci turun ke langit dunia dan berdampak pada fenomena kedamaian semesta hingga waktu fajar.

Bagi sebagian umat Islam, setiap malam di bulan Ramadhan dimakmurkan dengan dengan aktifitas ibadah dengan meningkatkan kualitas ruhani untuk menjemput lailatul qadar. Adapun pertanyaan pada malam yang mana dan tanggal berapa lailatul qadar turun? Wallahu a’lam (Hanya Allah yang Maha Tahu). Suka-suka Allah kapan lailatul qadar itu terjadi.

Dalam berbagai tafsir terdapat perbedaan pendapat walaupun yang populer menyampaikan ada di sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Namun Ibnu Abbas dalam tafsir Ibnu Katsir menjelaskan kepada Umar bin Khathab bahwa lailatul qadar bisa turun di tujuh hari pertama dan tujuh hari terakhir bulan Ramadhan.

Syekh Muhammad Ali as-Shabuni dalam Shafwatut Tafasir mengutip pernyataan Al-Khazin dalam Tafsir Al-Khazin (4/275): Ini adalah pengagungan terhadap malam Qadar dan menciptakan kerinduan terhadap beritanya seolah Allah mengatakan: Apa yang kamu ketahui tentang kelebihan dan kemuliaan Laila-ul-Qadar.

Maka bagi para perindu malam kemuliaan, setiap malam di bulan Ramadhan diposisikan sebagai momentum untuk memupuk spiritualitas. Dengan begitu, setiap malam dan siang di bulan Ramadhan bagi umat Islam adalah masa-masa romantis untuk menjemput takdir baik menjadi manusia terpilih yang ruhaninya hadir bercengkrama dengan makhluk ruhani lainnya pada lailatul qadar dalam rangkaian ibadah ritual.
Lebih spesial lagi suasana ini dinikmati oleh umat Islam yang Allah takdirkan dapat melewati setiap detiknya beribadah di masjidil haram dengan pemandangan indah menatap ka’bah sembari melepas rindu. Semoga kita termasuk yang dirindukan lailatul qadar.

Rohmanur Aziz, Pembimbing Tours & Travel Mumtaz Bandung dan Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (Islamic Community Development) FDK UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 2 April 2024.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *