UINSGD.AC.ID (Humas) — Ketika telah ikrar ihram, labbaik allohumma ‘umratan, Ya Allah aku penuhi panggilanmu untuk berumrah. Setiap Jemaah diwajibkan untuk menjaga larangan ihram. Diantaranya tidak boleh rafast, fusuk dan jidal. Ketiga larangan ini berbasis dari keharusan jemaah menjaga lisan dengan diam dan atau berhenti berbicara yang tidak patut. Pada posisi ini Rasulullah saw bersabda “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam” (HR. Bukhori No 6018 dan Muslim No.47).
Dalam khazanah filsafat Barat klasik, diam menjadi objek fikir para filsuf. Sokrates berkata, “Diam adalah puncak tertinggi dari kebijaksanaan. Karena dengan diam siapapun bisa mendengar dan memahami segalanya dengan baik”. Dalam The Republic, Plato menyipulkan, “dengan diam sangat memungkinkan bisa mendengar suara hati dan memahami kebenaran yang lebih tinggi”. Sementara Aristoteles dalam Nikomachean Ethics-nya berpendapat, “diam adalah tanda kebijaksanaan dan kesabaran”.
Mengikuti jejak Para filsuf klasik, para filusuf Barat Modern pun mengkaji dengan seksama esensi dan urgensi diam. Immanuel Kant dalam Critique of Practicial Reason, berkata “diam adalah betuk penghormatan terhadap diri sendiri dan orang lain. Karena dengan diam siapapun bisa mempertahanan martabat dirinya”. Sementara Jean-Jacques Rousseau dalam Discourse on the Origin of Inequality menegaskan, “diam memungkinkan siapapun bisa mendengar suara alam dan memahami kebenaran yang lebih murni”.
Dalam telaah teoritis kaum Poststrukturalis, kehadiran media sosial telah memberi efek bagi lahirnya kebisingan kehidupan sosial. Banjir bandang informasi yang diproduksi, direproduksi dan disebarkan secara masiv melalui ragam platform dan kanal media sosial, menjadi pemantik bisingnya realitas kini.
Pada kutub ini, meminjam analisis Martin Heidegger, diam bisa menjadi opsi eksistensial, yakni pilihan untuk memberi kesempatan kepada diri guna melakukan inner journey (perjalan ke dalam) untuk mengukuhkan dan mengokohkan eksistensi diri. Ada postulat menarik dari Heidegger, “Dalam diam ada kebaikan. Dengan diam kita tidak perlu meminta maaf. Aku tak pernah sekalipun menyesali diamku, tapi berkali-kali aku menyesal karena bicaraku”.
Kembali ke awal, diam yang dipesankan dalam ihram, tentu saja diam dalam nuansa yang situasional. Bukan permanen dalam segala situasi. Ada setidaknya tiga situasi yang menuntut kita diam. Pertama, diam dalam situasi ritual, seperti; saat sholat, berdoa, saat mendengarkan ragam khutbah, saat kumandangan adzan, dan saat dibacakan Al-Qur’an.
Saat sholat misalnya, terutama ketiga sholat berjamaah. Sebagai makmum, siapapun harus diam. Bahkan demi alasan khusuk sekalipun, makmum tidak dibenarkan taswis, yakni menyaringkan bacaan sholat hingga bising di telinga jamaah lain. Bagiamana mungkin mengejar khusuk dengan menganggu ke-khusuk-an orang lain.
Kedua, siapapun harus diam ketika dihadapkan pada situasi social-professional. Misalnya, dalam keseluruhan rangkaian upacara bendera. Seluruh peserta upacara tidak boleh berisik. Pada forum rapat, forum ilmiah, ketika menerima instruksi dari atasan, dll. Diam dalam ragam sitausi sosial-professional adalah ekspresi kongkrit dari martabat seseorang (Imanuel Kant).
Ketiga, pilihan diam harus diambil dalam sitausi emosional. Dalam riwayat Imam Ahmad, Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian marah, diamlah.” Kenapa harus diam?. Sebab mengumbar amarah adalah kunci dari segala keburukan. Dan Rosulpun menegaskan, “Janganlah marah, maka surga bagimu.” (HR. Thabrani). Semoga.
Aang Ridwan, Pembimbing Haji Plus dan Umroh Khalifah Tour dan Dosen FDK UIN Bandung