Umrah, Puasa dan Budi Pekerti

(UINSGD.AC.ID)-Dalam sebuah kesempatan menunggu ifthar di masjid Nabawi, bersama semua jemaah laki-laki, kami mengikuti kajian intensif dengan salah seorang murabbi di Majid Nabawi. Saat itu sang murabbi, melemparkan sebuah pertanyaan, “Mengapa Allah mensyariatkan pelaksanaan ibadah ritual selalu beruang-ulang?. Sholat di ulang lima kali dalam sehari, puasa ramadhan dan zakat fitrah diulang dalam setiap tahun, begitupun ibadah ritual lainnya”. Sang murobbi, menegaskan jawabannya, “itu semua Allah perintahkan sebagai medium riyadhah (latihan) yang bertujuan untuk membangun kekuatan spiritual dan integritas moral atau budi pekerti”.

Selaras dengan hal itu, syekh Muhammad Al-Ghazali dalam kitab Khuluqul Muslim (1983:5) menegaskah, setiap ibadah ritual tidak bisa dipisahkan dari akhlaq. Bahkan visi dan orientasi ibadah ritual adalah untuk mengkonstruksi akhlak terpuji. Karena itu, dalam beragama, seorang muslim tidak boleh berhenti pada praktik ritual semata tetapi harus masuk, menusuk, pada jantung spiritual dan moral. Sebab itu, misi profetik baginda Nabi diutus kebumi, adalah menyempurnakan budi pekerti ummat manusia.

Mari kita kaji secara seksama, diantara visi dan orientasi ibadah haji dan umarh misalnya, adalah menggapai kualitas mabrur. Kata Imam Nawawi , kata mabrur berasal dari kata birr yang bermakna ketaatan atau kebaikan. Jadi haji mabrur adalah haji yang ditandai dengan ketaatan kepada Allah, baik pada saat melaksanakan ibadah haji maupun ibadah yang lainnya. Haji mabrur adalah haji yang produktif berbuat baik, baik ketika ia melaksanakan ibadah haji mapun ketika ia menjalani tugas hidup yang lainnya. Dengan meningkatnya ketaatan dan produktif dalam kebaikan, maka haji mabrur disimpulkan Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam kitab Fathul Bari, adalah haji yang maqbul.

Sementara itu, ketika membahas tentang indikasi dari haji mabrur atau umrah yang maqbul, dari berbagai penjelasan Rasul SAW sangat kontras terkait dengan integritas moral dan keluhuran budi pekerti. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, “Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa haji mabrur itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Memberikan makanan dan menebarkan kedamaian.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Rasulullah SAW ditanya tentang haji mabrur. Rasulullah kemudian berkata, “Memberikan makanan dan santun dalam bertutur kata.”(HR. Bukhori Musim).

Berikutnya ibadah puasa, yang dalam metafor para ulama disebut sebagai tugas utama dari ramadhan sebagai ajmalul madrasati, sekolah terindah. Visi dan oreintasinya ditegaskan Qs. Al-Baqarah ayat 183, untuk mengkonstruk manusia bertaqwa. Sementara itu, indikasi orang yang bertaqwa, sebagaimana dirinci dalam Qs. Ali Imran ayat 134; (1). menafkahkan (hartanya), baik ketika lapang maupun sempit, (2) pandai menahan amarahnya dan (3) memaafkan (kesalahan) orang.

Dalam hal puasa, Rasulullah bahkan pernah menegaskan “Siapa saja yang tidak meninggalkan perkataana az-zuur, yakni perkataan dusta malah ia mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar, haus dan dahaga yang ia tahan melalui puasa.” (HR. Bukhari, no. 1903). Imam As Suyuthi mengatakan bahwa az zuur adalah berkata dusta dan buhtan, yakni gemar menuduh orang lain dan melakukan kebohongan publik. Sangat jelas, bahwa seluruh indikasi orang yang bertaqwa dan orang yang berpuasa begitu kontras dengan spirit integritas moral atau budi pekerti.

Ibadah lainnya, zakat fitrah misalnya, diorientasikan untuk membersihkan ragam kotoran jiwa, sebagai inner energi bagi budi pekerti, (Qs. At-taubah: 103). Berikutnya sholat lima waktu, sebagai induk semua ibadah, lagi-lagi Allah tegaskan bahwa visi dan orientasinya adalah untuk mencegah ragam perilaku keji dan munkar (Qs Al-Ankabut ayat 45).

Kembali ke awal, budi pekerti adalah persoalan pokok dalam beragama. Dalam metafor para ulama, ia laksana buah bagi pohon. Buah adalah asa sekaligus simbol bahagia bagi sang penanam. Tanpa kehadiran buah, wujud pohon bagi para penanam menjadi tidak sempurna. Begitupun dalam beragama, bila kehilangan budi pekerti, perilaku beragama nyaris tidak sempurna untuk tidak dibilang sia-sia. Semoga setiap ibadah ritual yang kita jaga bisa berbuah budi pekerti mulia. Barakallah.

Aang Ridwan, Pembimbing Haji Plus dan Umroh Khalifah Tour dan Dosen FDK UIN Bandung

Sumber, Pikiran Rakyat 27 April 2021

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *