Kebenaran & Kepercayaan

(UINSGD.AC.ID)-Problem maha urgen, dari kebijakan perang covid-19, bukan hanya harus berganti-ganti nama dari lockdown ke PSBB, PPKM, PPKM Makro-Mikro, PPKM Darurat, PPKM Level 1, 2, 3, 4 atau panjang-pendeknya masa berlakunya, sehingga terus diperpanjang dan diperpanjang   atau tegasnya penegakan dan beratnya sanksi. Yang maha penting dari semua itu adalah menumbuhkan trust warga terhadap kebijakan tersebut. Trust akan mendorong warga tahu, paham, dan sadar bahwa kebijakan itu untuk keselamatan dirinya, keluarganya, dan seluruh bangsa ini, sehingga insya Allah mereka akan sami’na wa atho’na.  

Untuk menumbuhkan trust memang bukan perkara mudah karena terkait dengan seluruh eksistensi manusia. Sebagai ahsanut taqwiem (mahluk terbaik), manusia difitrahkan untuk mencari kebenaran (Qs,30:30), sehingga apapun yang bernilai truth, cenderung menumbuhkan trust. Sebagai homo sapiens (mahluk berpikir), takaran truth pertama manusia adalah berterima dan sesuai alur pikir akal sehat (KBBI, 2021). Segala sesuatu harus logis. Filsuf Mohammed Arkoun menyebutnya, aqliah yang dijadikan sandaran modernisasi pemikiran Barat. Sebagian masyarakat Barat menganalogikannya akal sebagai “Tuhan” karena bernilai kebenaran empirikal, dapat menjawab banyak persoalan, dan memberi solusi kehidupan.

Dalam situasi rentan dan kritis, seperti Pandemi Covid-19 ini, setiap kebijakan publik sejatinyya bernilai truth dengan berterima logika. Cara berpikir logical fallacy (kerancuan berpikir) sebisa mungkin harus dihindarkan kendati problem yang dihadapi teramat rumit, kompleks, dikotomis, dan dilematis, bahkan kental nuansa politis.

Logika Identitas

Salah satu ajaran logika kontekstual dalam situasi pandemic covid-19 adalah pemikiran logika klasik Aristoteles adalah hukum logika identitas (low of identity) yang mengajarkan, sesuatu hal adalah hal itu sendiri. Secara ringkas, logika ini mengajarkan pengambilan kebijakan harus berkerangka pikir kontekstual. Kebijakan harus dipecahkan berdasarkan problemnya sendiri, bukan dari problem lain  apalagi melalui meta-problem. Pengambilan keputusan harus fokus terhadap protret hasil mapping problem.

Melalui metode observasi sederhana, potret masalah dominan pandemi covid-19 adalah gangguan kesehatan. Hal itu merealitas melalui informasi penemuan medis, yang dapat diresumekan, virus corona menyerang masif saluran pernapasan yang mengakibat orang terinfeksi jatuh sakit. Sebagian korban menemui kematian karena terganggungnya sistem pernapasan yang mengakibatkan kekurangan oksigen.

Corona menular person to person melalui droplet, kontak fisik, sentuhan benda terkontaminasi, ventilasi buruk, dan kerumunan. Oleh karena itu, problem berkembang ke sektor ekonomi karena perlawanan penularasan corona harus melalui social distancing, lockdown atau PSBB dan PPKM yang menghentikan sebagian besar kegiatan dan mengharuskan warga tinggal di rumah, tidak bekerja. Padahal kebutuhan hidup tetap harus terpenuhi.

Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah pun cenderung fokus pada dua problem tersebut. Pertama menyiapkan RS, ruang perawatan, paramedis, obat, dan vaksinasi, bahkan pemakaman. Kedua refokusing anggaran, stimulus listrik, insentif pajak, penurunan suku bunga, hingga bantuan sosial, bantuan langsung tunai, dan program padat karya. Sejatinya, fokus kebijakan tersebut “bulat” menjadi visi semua pihak, termasuk seluruh warga.

Logika Alasan

Kendati kebijakan Pemerintah fokus pada dua sektor utama, kesehatan dan ekonomi, tetapi implementasinya tidak seperti itu. Pemerintah dilelahkan, bahkan kadang dibelokan dengan persoalan-persoalan pelik dan viral. Adanya mis-koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; Adanya warga yang tidak mendukung, memprotes, bahkan melanggar; Adanya oknum petugas yang nakal, un-disiplin, dan bertindak berlebihan; Adanya sektor tertentu yang juga minta diperhatikan karena menganggap urgen untuk diselamatkan, serta persoalan-persoalan lainnya yang silih berganti.

Realitas itulah yang kadang menggeser logika identitas ke logika alasan yang mengajarkan, setiap peristiwa dan rentetan kejadian yang mengikutinya memerlukan cukup alasan. Oleh karena itu, yang terjadi banyak diskusi ketimbang aksi; banyak berdebat daripada berbuat, banyak menghakimi dibanding mawas diri. Alasan itu ibarat candu, ketika satu kali beralasan dan berbantah akan mencari alasan lainnya, sehingga setiap alasan akan menuntut alasan-alasan pembenar lainnya hingga tak terhingga.

Masalah itulah yang membuat kebijakan Pemerintah sulit membumi. Persebaran virus corona tidak terkendali, berpesta nomaden dan bereproduksi dari satu tubuh ke tubuh lain. Angka warga yang terpapar pun terus membengkak nyaris merangsek ke angka seratus ribu per hari. Korban jiwa pun terus bergelimpangan nyaris taktermakami.

Logika alasan kadang terlalu longgar, truth yang lahir pun cenderung subjektif karena  acapkali bercampur dengan personal interest, sehingga tidak cukup untuk menumbuhkan trust  publik. Memang, sebagaimana ditulis Filsuf Herman Suwardi, kebenaran berdasarkan kecerdasan otak dan ketajaman akal terdapat kecacatan karena tidak dapat meneropong masa depan.  

Aqliah memang dapat menemukan kebenaran, tetapi akan lebih hebat jika dipandu naqliah: nash-nash firman Allah. Konsepsi naqliah memandu aqliah menjadi kawin serasi dunia pemikiran kebenaran menuju kesempurnaan  truth.

Kebijakan perang covid-19 merupakan produk aqliah manusia, tetapi belum cukup, Nash al-Qur.an mengidentifikasi hal itu baru setingkat ikhtiar yang belum memadai untuk mencapai keberhasilan. Masih perlu berdo’a dan bertawakal, sehingga dalam ajaran Islam ikhtiar, berdo’a, dan tawakal menjadi kunci sukses hidup dunia akhirat.

Oleh karena itu, Pemerintah pun harus mengkaji kembali “penon-aktifan” tempat-tempat yang mustajab untuk berdo’a berjamaah, seperti masjid dan sejenisnya. Bahkan, harus menggalakan do’a bersama dengan tetap berikhtiar menerapkan protokol kesehatan. Karena kita yakin, tidak ada yang dapat memusnahkan coroba, selain Allah Swt. Lahaula Walakuata Illabillah. Wallahu “Alam Bishawab

Mahi M. Hikmat, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Dewan Pakar ICMI Jawa Barat

Sumber, Pikiran Rakyat 4 Agustus 2021

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *