Kita memang berhutang pada Pencerahan. Karenanya kita memiliki harapan dan optimisme tentang sejarah dan masa depan. Karenanya, kita seperti diyakini Kant dibimbing keluar dari situasi “ketidakdewasaan” menuju “mundigkeit” (aqil baligh).

“Mission sacra” pencerahan sangat terang. Ia memapah manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya. Menuntun manusia bergerak menjauh dari pengapnya “The Dark Ages”. “Mundigkeit” adalah cara manusia menampik untuk dipermainkan dan tidak berdaya di hadapan petuah para pewarta agama, mitos dan takhayul.

Seumpama seorang ibu, pencerahan lalu melahirkan “manusia baru”: homo sapiens. Sosok makhluk yang ditahbis menjadi pusat dan epicentrum alam semesta. “Homo Sapiens”, begitu kata Yuval Noah Harari, “adalah kredo humanis, yang mengajarkan alam semesta berputar dengan manusia sebagai porosnya. Manusia adalah sumber inti dari segala makna dan otoritas.”

Kredo humanis seumpama “big bang” dalam riwayat hidup manusia. Ledakannya telah membawa revolusi besar-besaran dan tentu saja “menyelamatkan” hidup umat manusia itu sendiri. Bagaimana tidak, prestasi homo sapiens telah menyebabkan pengetahuan meningkat dengan kecepatan yang mencengangkan. Secara teoritis, manusia telah dituntun untuk sampai pada kemampuan memahami dunia secara lebih baik.

Nubuwat sejarah tak selalu berbanding lurus dengan harapan dan optimisme. Di titik tertentu, harapan dan optimisme itu malah jatuh menjadi “sinis” bahkan “pesimisme”. Homo sapiens dengan akalnya malah bergeser dan semakin terbatas hanya menjadi “akal instrumental” yang tertuju untuk “menaklukan” dunia bukan “membebaskan”. Jauh dari harapan pencerahan, homo sapiens lalu bersalin rupa menjadi “homo brutalis”.

Tengoklah, kekejaman perang dunia ke-1 dan 2. Panggung sejarah adalah deratan album berdebu dan kisah pilu peperangan, pembantaian, pembersihan etnis dan kemudian penderitaan. Jargon “homo homini lupus” juga “the hell is other” menjadi alasan dan dalil bagi sepak terjang yang dilakukan sang homo brutalis. Itulah dasar peringatan muram Nietzsche. Baginya ”Gott ist tott”. Manusia tak punya Tuhan baru/juga dalam bentuk akal budi.

Homo sapiens telah menjadi makhkluk yang berkontribusi besar pada kehancuran, kerusakan ekologis bahkan peradaban. Tingginya ilmu pengetahuan tidak serta merta berbanding lurus dengan kesejahteraan dan kebahagiaan sebagian besarnya malah penderitaan dan kesengsaraan. Homo sapiens dengan ilmu nya seumpama “sentuhan Raja Midas” yang merubah apapun yang disentuhnya menjadi emas tapi karena itu pula ia menjadi sengsara dan menderita.

Abad 21, keangkuhan homo sapiens betul-betul diuji. Capaian pengetahuan yang dimilikinya ditantang untuk dibuktikan kehebatannya. Abad 21, homo sapiens ternyata tak berdaya di hadapan wabah Corona. Di tengah ketidakberdayaan dan ancaman kematian yang bergelombang, nubuwat Immanuel Kant bahwa, “Coelum stellatum supra me, lex moralis intra me” adalah omong besar.

Allahu a’lam[]

28 April 2020

Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *