Pendidikan Islam Anti Terorisme & Radikalisme

Apa yang dapat dilakukan oleh para insan pendidikan Islam untuk menjauhkan murid-murid dari tindakan yang berpotensi mengarah pada terorisme atau penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan atau kepentingan tertentu (pada orang dewasa terutama tujuan politik)? Bagaimana memanaj pendidikan Islam agar keimanan dan keislaman para murid tidak berkembang biak menjadi aksi teror? Apa pula yang harus dilakukan para orang tua muslimin wa al muslimat agar doktrin tindakan kekerasan dari kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama Islam, yang saat ini sangat mudah diakses oleh murid-murid bisa diawasi, dikurangi atau bahkan dihilangkan? Pendeknya, mekanisme pengasuhan seperti apa yang harus dikerjakan oleh para guru dan orang tua agar murid-murid terhindar dari perilaku yang mengarah pada terorisme?

Mengkaji fenomena mutakhir mengapa terorisme telah diidentikkan dengan kaum muslimin dan semua tindakannya seolah-olah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran Islam perlu diupayakan secara lebih serius, sistematis dan argumentatif lagi. Dalam konteks pendidikan Islam mutakhir, perlu diteliti sumber-sumber pengajaran agama Islam yang selama ini digunakan, misalnya otoritas para ulama yang dirujuk, tradisi yang ditetapkan dan sumber-sumber tulisan yang dibaca.

Sebagian besar murid, mustami, dan jamaah pengajian pada umumnya, memahami agama Islam dan praktik keberagamaan Islamnya cenderung kurang menyejarah/ahistoris. Para murid, mustami dan jamaah pengajian pada umumnya terlalu bergantung pada pemahaman dan ajaran para guru ngaji, ustadz, dan penceramah tanpa mengecek ulang sumber-sumber primer yang digunakan dan dirujuk oleh mereka. Padahal para guru ngaji, ustadz dan penceramah dalam memilih sumber bacaan, kitab dan buku dipengaruhi juga oleh kapasitas pengetahuan, perspektif, kecenderungan bahkan tidak menutup kemungkinan adanya kepentingan tertentu yang secara sadar atau tidak nempel di dalam dirinya. Karena terlalu bergantung pada gurunya, para murid, mustami dan jamaah pengajian kurang memiliki kesempatan untuk melakukan cross ceck dengan sumber bacaan, ilmu dan guru agama Islam lainnya. Kebergantungan ini semakin kuat saat metode hapalan dan pendekatan tabligh akbar begitu mendominasi dalam setiap dakwah, ceramah dan pembelajaran Islam. Maka wajar jika ajaran Islam cenderung diterima oleh para murid, mustami dan jamaah sebagai sesuatu yang absolut.

Jika menengok kepada sejarah tradisi pendidikan Islam Indonesia, tidak sepenuhnya seperti apa yang digambarkan di atas. Dalam tradisi pendidikan Islam klasik, ada yang disebut dengan “lingkaran pemahaman keagamaan” di antara kitab suci, hadis, ulama penulis kitab kuning, kyai dan ajengan sebagai subjek dan objek yang saling berdialektika. Oleh karena itu, ada klasifikasi subjek-subjek pelajaran dan ajaran agama Islam diantaranya pertama: Ulūm al-din; yakni suatu disiplin yang didalmnya terdapat sejumlah ajaran agama yang “sudah dimasak” terlebih dahulu oleh para ulama. Kedua, Ulūm al-alat, yakni suatu disiplin yang di dalamnya terdapat sejumlah alat dan resep untuk “memasak” ilmu-ilmu agama Islam yang akan diajarkan kepada murid.

Ulūm al-din terdiri atas teologi/ilmu kalam/ilmu akidah, ilmu akhlak, ilmu fikih yang meruang dan mewaktu, banyak aliran dan mazhabnya. Ulūm al-alat, di dalamnya terdapat linguistik/ilmu bahasa terutama bahasa Arab, mantiq/logika, dan al hikmah/filsafat. Ilmu-ilmu merupakan alat untuk memproduksi dan menerapkan ilmu-ilmu agama dalam kehidupan. Sering juga ilmu ini digunakan sebagai alat untuk mengkritisi, mengubah dan sedemikian rupa menyesuaikan produk-produk ilmu agama jika secara kontekstual (menurut kondisi dan situasi tertentu) diperlukan. Di sini ilmu alat berperan mengkritisi, menguji dan mendialogkan pelbagai ilmu agama dengan keniscayaan kontektual. Dengan alat tersebut, para murid bukan hanya dituntut bisa mempraktikan bagaimana proses ilmu-ilmu agama itu diproduksi menjadi kitab/buku tetapi juga diajari secara simultan bagaimana menguji pendapat dirinya dan para penulisnya lalu mempertanyakan secara kritis ajaran-jaran agama Islam supaya dapat dipahami secara lebih baik. Proses ini kemudian diterapkan dalam metode muzakarah (debat tentang isu agama, ayat-ayat Qur’an yang dikutip dengan menggunakan mantiq dan ilmu tafsir).

Secara pedagogis, tingkat penguasaan/kompetensi penggunaan ilmu alat yang dimiliki baik oleh guru maupun muridnya dapat menentukan tingkat kritisisme ajaran agama Islam yang dipahaminya dan diyakininya. Ketika ada ajaran, informasi dan ilmu baru para murid dan guru dapat “memasaknya” atau “mengolahnya” dengan kritis. Inilah akar pendidikan Islam Indonesia yaitu pendidikan Islam yang kritis, toleran dengan ilmu yang berbeda dan rasional.

Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si, Rektor UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *