Wartawan dan Demokrasi

Tidak hanya artis yang menjadi bi­dikan partai politik untuk men­dong­krak popularitas politik di ne­ge­ri ini, tetapi juga wartawan. Sejauh ini banyak pos politik strategis tidak hanya diisi oleh wajah-wajah artis populer, tetapi juga wajah-wajah wartawan. Bahkan war­tawan dari media televisi dan pernah menjadi presenter dinilai memiliki popularitas lebih di mata pemilih mengingat seringnya mereka tampil di layar kaca.

Pada era Orde Lama dan Orde Baru, ada sederet wartawan yang menjadi “politi­kus”. Baharuddin Mohammad (BM), Diah, dan Harmoko pernah menjadi anggota DPR selain menjadi pejabat eksekutif. Harmoko yang pernah menjadi ketua PWI Pusat menduduki jabatan menteri penerangan dan menjadi ketua umum Golkar pada era Orde Baru. Adam Malik pernah menjadi wakil presiden.

Memasuki era Reformasi (1998–sekarang), para wartawan juga mewarnai dunia politik. Syaifullah Yusuf, misalnya, adalah mantan wartawan Detik yang kemudian menjadi Wagub di Jatim pada Pemilu 2009, sebelumnya ia menjadi le­gislator PDIP. Bambang Soesatyo, anggota DPR dari Golkar, dulu wartawan Suara Karya, dan HAM Ruslan yang juga dari Golkar, dulunya adalah wartawan Pikiran Rakyat Ja­wa Barat. Effendi Choirie mantan wartawan harian Surya Surabaya yang kemudian men­jadi anggota DPR dari PKB. Ramadhan Pohan, anggota DPR dari Demokrat, adalah mantan jurnalis Jawa Pos di Washington DC.

Beberapa tokoh pers nasional juga ikut mendirikan partai politik. Misalnya, Erros Djarot (eks wartawan Detik) mendirikan Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK), Goenawan Mohamad (Tempo) ikut mendirikan PAN, Surya Paloh (Media Indonesia/­Metro TV) mem­bidani Partai Nasdem. Di luar tiga nama itu, masih ada Dahlan Iskan, tokoh pers nasional, pendiri Grup Jawa Pos, dan sekarang menjabat menteri BUMN.

Memang tidak ada undang-undang yang melarang wartawan masuk politik. UU Nomor 40/1999 tentang Pers, misalnya, hanya menjelaskan “pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini publik, ha­rus mendapatkan perlindungan hukum, bebas dari campur tangan dan paksaan pihak manapun”.

Secara substansial, partai politik dan pers sama-sama memiliki peluang untuk memperkuat demokrasi. Meskipun begitu, pers dan partai politik memiliki perbedaan dalam soal rekrutmen, watak-ideologi, dan dalam cara melayani kepentingan publik. Apalagi pers memiliki kode etik jurnalistik (KEJ) sebagai panduan profesionalitas.

Sistem rekrutmen partai politik bersifat terbuka, sukarela, dan amatir (tidak dibayar) meskipun praktiknya seorang caleg harus menyiapkan “amunisi” untuk “membeli” kursi yang diminatinya. Dalam re­krut­men parpol, siapa pun orangnya, asal bisa jadi vote-getter, terlebih punya “amunisi” cukup, jadilah dia. Sementara sistem rekrutmen jurnalis dilakukan tertutup dan harus melewati seleksi kompetensi khusus jurnalisme.

Ideologi partai politik, apa pun, pada ujungnya ialah kekuasaan. Partai po­litik menginginkan berku­a­sa untuk mengelola masya­rakat sesuai dengan ideologi mereka. Se­dangkan ujung profesi wartawan adalah melayani masyarakat dengan informasi yang jujur dan independen atau singkatnya memenuhi kaidah jurnalistik untuk me­ning­katkan harkat kemanusiaan.

Dalam hal loyalitas, anggota parpol wajib mengikuti garis kebijakan partai dan tunduk kepada keputusan pimpinan partai. Sedangkan jurnalis bebas menganut ideologi apa pun. Ia tak punya kewajiban tunduk pada garis ideologi atau pilihan politik bos pemilik media. Secara etik, setiap jurnalis bahkan dituntut bersikap nonpartisan (tidak berpihak) dan menjaga independensinya dari intervensi atau kooptasi di luar tujuan jurnalistik. Inilah alasan profesi wartawan dan politisi harus dipi­sahkan.

Dalam perkembangan demokrasi di Indonesia, pers tumbuh menjadi pilar keempat di luar kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif (trias politica). Karena itu, secara etika politik, tidak boleh ada rangkap jabatan atau rangkap fungsi karena bisa mengarah pada kekuasaan yang absolut. Jika pers berperan sebagai kontrol terha­dap kekuasaan eksekutif, legislatif, yudika­tif, semestinya orang pers tidak boleh me­rangkap menjadi salah satu atau lebih pilar lain kekuasaan tersebut.

Artinya, wartawan yang terjun ke politik, apakah menjadi anggota legislatif atau pejabat eksekutif, harus keluar dari ruang re­daksi untuk menghindari konflik kepentingan. Pada masa Orde Baru, media dan or­ga­nisasi wartawan pernah dikooptasi ke­kuasaan, bahkan disalahgunakan oleh pejabat negara sebagai corong propaganda penguasa. Tapi, jurnalis profesional hanya memproduksi berita yang akurat, berimbang, dan independen. Intinya, profesi wartawan tidak bisa dirangkap dengan pekerjaan sebagai politisi.

Sayangnya, tidak ada aturan tertulis soal rangkap jabatan ini kecuali dalam peraturan organisasi wartawan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam salah satu pasal Anggaran Rumah Tangga (ART) AJI tertu­lis: anggota AJI bukan pegawai negeri dan tidak boleh jadi pengurus partai politik. Ar­tinya, seorang jurnalis bisa menjadi simpatisan atau anggota parpol, tapi tidak boleh men­­­jadi pengurus partai. Termasuk tidak boleh merangkap sebagai anggota legislatif atau pejabat negara atau pengurus organi­sasi lain yang bertentangan dengan marwah AJI.

Kaum pewarta adalah bagian integral dari jaring-jaring demokrasi yang akan menyehatkan dan menguatkan perpolitikan negeri ini jika peran mereka ditempatkan pada wilayah dan kapasitasnya secara proporsional.[]

Penulis, Kolumnis, Pengurus Himpunan Dosen Agama Islam Jawa Barat dan Dosen UIN SGD Bandung.

Sumber, Galamedia 13 Mei 2013

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter