(UINSGD.AC.ID) — Hobbes punya gambaran muram tentang manusia. Menurutnya manusia adalah makluk “brutal”, suka berkonflik dan bisa menjadi Srigala “pemangsa atas sesamanya” (homo homini lupus). Di tepi lain, Rouseau punya anggapan berbeda. Menurutnya manusia adalah makhluk yang secara alamiah baik. Kebrutalan dan potensi menjadi Srigala tidak akan terwujud jika manusia membuat semacam “kontral sosial” (social contract).

Kontrak sosial dalam kacamata Rouseau adalah siasat untuk menundukkan sekaligus mengendalikan potensi Srigala dalam diri manusia menjadi jinak. Mungkin semacam tehnik pendisiplinan diri dalam bayangan Foucault, bahwa individu mesti diawasi dan dikendalikan supaya tidak liar. Kontrak sosial adalah aturan, undang-undang juga norma yang disepakati sekaligus mengembalikan manusia pada “fitrahnya” sebagai “homo socius” bukan “homo brutalis“.

Dalam bentuknya yang paling matang, “kontrak sosial” menjelma dalam prinsip-prinsip demokrasi. Kebebasan untuk tetap “menjadi” Srigala tetap ada tetapi kebebasan itu tidak boleh bersalin rupa menjadi tindakan-tindakan membahayakan yang mencabik-cabik kehidupan bersama. Berpendapat, berkumpul, berserikat dibolehkan atas nama kebebasan tapi ketiganya tidak diarahkan menjadi potensi dan ancaman bagi yang lainnya.

Prinsip spesifik yang mengatur penghargaan dan penghormatan terhadap sesama yang beda itulah disebut dengan toleransi. Toleransi adalah sikap diri atau kesadaran bahwa realitas kehidupan ini dihuni oleh aneka keberbedaan, kebermacaman dan ketaksamaan. Maka sikap yang benar adalah menghormati dan menghargai kepada ketiganya.

Faktanya realitas memang beragam. Tidak hanya ada Aku yang mendiami kehidupan, tetapi juga ada Dia, Mereka dan Kamu (iyaa… kamuuu). Keberagaman, inilah faktisitas kehidupan, bahwa ada “Yang-Lain” (liyan) di sekitar kita yang memiliki hak sama untuk mengada. Dalam kerangka ini, toleransi sekali lagi adalah pengakuan dan penerimaan terhadap keberagaman itu.

Sekadar pengakuan dan penerimaan saja rasanya belum cukup. Toleransi harus bermetamorfosa menjadi tindakan nyata, menjadi kerja-kerja kongkrit sebagai buhul pengikat keberagaman. Menurut Fuad Hasan inilah “Kita” bukan “Kami”.

16 November 2023 disebut sebagai hari toleransi sedunia. Maka, merayakan hari toleransi adalah meneguhkan ulang bahwa penghargaan, penghormatan dan kerja bersama dengan yang “tak sama” dan “yang beda” adalah penting. Dengan itu kita sudah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Allahu a’lam[]

Dr. Radea Juli A. Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *