Syair Sufi Menyejukkan Hati

(UINSGD.AC.ID)-Sastra sufistik melahirkan karya atau syair bersifat religi,  yang berujung pada kerinduan, cinta, dan kasih sayang. Ini akan memberikan jawaban tehadap masalah-masalah kekinian yang rawan distabilitas, disharmoni, pertentangan; akibat materi yang terlalu diperjuangkan sehingga ingkar terhadap hakikat kemanusian.

Hal itu diungkapkan oleh Dekan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN SGD Bandung, Dr H Setia Gumilar, M.Si saat membuka studium generale “Tradisi Kreatif Sastra Sufistik dalam Lintasan Sejarah” secara virtual, belum lama ini. Hadir dalam kesempatan itu Wakil Dekan I FAH Dr Dadan Rusmana, M.Ag, CHS;  juga dua narasumber: Afifah Ahmad (penulis buku “The Road to Persia” dan anggota Gusdurian Teheran) dan Dr Rizzaldy Satria Wiwaha, M.Hum (pakar Argumentology dan Sastra Arab, Alumni Institute Arab & Studies, Arab Language University, Cairo).

Di FAH UIN Bandung, mahasiswa tidak hanya mengkaji sastra secara umum, tetapi juga sastra yang bersifat transedental, atau dikenal sastra sufistik. “Nilai keruhanian dalam konsep tasawuf menjadi modal  bagi para sastrawan dalam mengkreasi dan menginovasi hasil karyanya.   Terlebih di UIN Bandung  yang memiiki tagline Wahyu Memandu Ilmu, sastra harus bernilai religi yang berujung pada kerinduan, cinta, dan kasih sayang,” jelasnya.

Berbagai tantangan dalam konteks kekinian, ujar Dekan, bisa diselesaikan oleh orang yang menekuni sastra, karena sastra itu refleksi sebuah kehidupan. “Bagaimana sastrawan memberikan kontribusi melalui karyanya untuk memberikan solusi berbagai aspek kehidupan?” Tanya Dekan, seraya mengapresiasi  kegiatan studium generale, sebagai ikhtiar untuk memahami sastra sufistik dalam melihat realitas kehidupan,  baik positif maupun negatif.

Syair Sufi yang Abadi

Afifah Ahmad memandang bahwa sastra itu menjadi filar peradaban. Sastra sufistik saat ibi sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern, termasuk masyarakat barat,  untuk menyeimbangkan kehidupan dari arus materialistik. “Kalau kita kaji secara mendalam, baik secara historis maupun filosofis terhadap naskah sastra klasik, ternyata sastra dan tasawuf bertemu pada ranah intuisi,” ujarnya.

Menurut pemahaman tasawuf, apa yang ada di alam ini adalah manifestasi keidahan dan kasih sayang Tuhan. Afifah, yang  “mengaji” karya sastra Jalaluddin al-Rumi, menemukan banyak inspirasi .  Syair Rumi banyak mengambil inspirasi dari kitab klasik keagamaan, terutama Quran dan Hadits, syair Rumi lahir dari pengalaman batin terdalam, dan syair Rumi mengusung nilai-nilai universal yang dibutuhkan setiap zaman (toleransi, lingkungan, kemanusiaan).

“Ngaji Rumi adalah sebuah ikhtiar untuk menggali pemikiran Rumi, juga mencoba mengumpulkan berbagai literatur klasik maupun populer tentang Rumi. Pemikirannya semakin dirasakan manfaatnya oleh berbagai kalangan,” jelasnya.

Narasumber lain, Dr Rizzaldy Satria Wiwaha, M.Hum menjelaskan, pelopor sastra sufistik yang membawa corak baru adalah Ali Ahmad Bakaseer, keturunan Arab yang lahir di Surabaya pada tahun 1910. Tokoh besar yang terkenal di tanah Arab ini memiliki andil besar dalam perjuanagn kemerdekaan Republik Indonesia. “Ia mampu menaikkan level sastra Arab, dari level kalsik ke level modern. Ia pun mendukung kemerdekaan RI dengan karya tulisnya,” ujar Rizzaldy.

Syair dalam lintasan sejarah sastra Arab memiliki peranan sangat penting dalam sosial budaya bangsa Arab. Tradisi bersyair diduga telah ada sebelum agama Islam lahir, dua abad sebelum hijriyah yang disebut syair jahili. Perkembangan Syair Sufi lalu memasuki lima fase, dalam rentang waktu mulai tahun 100 – 800 hijriah. Sastra mengalami babak baru pasca terjadinya penjajahan kolonial barat, sehingga lahir Sastra Sufistik Perjuangan.[nanang sungkawa]

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *