Pentingnya Peta Dakwah

[www.uinsgd.ac.id] Jawa Barat dan Kota Bandung belum memiliki Peta Dakwah. Ibarat Pizza yang bergizi tapi dimakan oleh orang yang terbiasa makan jagung, maka akan mencret. Oleh karena itu kita harus punya peta Dakwah. Contohnya misalnya, Arifin ilham bagus menurut orang-orang tetapi belum tentu cocok untuk kalangan masyarakat kampong. Jika dipotret, sebetulnya dunia ini penuh dengan ceramah, tapi anehnya masyarakat semakin amburadul.

 

 

Hal tersebut dikatakan oleh Guru besar Komunikasi, sekaligus peneliti di Bidang Dakwah, Prof. Dr. H. Asep Saeful Muhtadi, MA saat menyampaikan materi tentang peta Dakwah di Kota Bandung pada kegiatan pembinaan Kader Da’i di Aula Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lantai 4 pada Selasa (03/07/2012).

 

“Zaman dulu tidak ada anak berani menampar orang tua, tapi sekarang banyak. Pada bulan ramadhan dulu tidak pernah ada ceramah atau anak yang harus mencatat kegiatan ramadhan, sekarang di setiap mesjid yang melaksanakan tarawih, selalu ada ceramah dan anak-anak mencatatnya. Tetapi justeru sekarang anak-anak remaja makin berani bobogohan secara terbuka. Dulu itu malu, kalo remaja ketahuan bobogohan,”ujarnya.

Pak Samuh—panggilan akrab Guru Besar Pertama bidang Komunikasi tersebut menegaskan bahwa fakta di atas menunjukan tidak efektifnya Dakwah, apalagi jika tujuannya memperbaiki. “Kenapa?” tanyanya. Ia menjelaskan karena hal tersebut tidak berdasarkan analisis masalah. Maka solusinya, menurutnya adalah harus ada perbaikan pada metode dan lainnya, tetapi yang harus digarisbawahi adalah bahwa dakwah harus berangkat dari peta masalah Dakwah.

 

Berkaitan dengan masalah-masalah Dakwah yang ada di Kota Bandung, ia menjelaskan bahwa menurut pengamatannya, berangkat dari pengalamannya sebagai Pembimbing Jema’ah Haji, hampir 50 % jamaah haji di Kota Bandung tidak mampu membaca do’a dengan hurup Arab.

 

“Lebih dari 50 % jamaah haji Kota Bandung yang saya bombing membaca do’a pake latin,”ujarnya.

 

“Bahkan sangat banyak jamaah haji yang memerlukan bimbingan ibadah praktis, seperti tayamum, shalat jama, termasuk bacaan-bacaan shalat wajib,”lanjutnya.

 

Ia menceritakan pengalamannya mengenai jemaah haji bimbingannyanya yang tidak bisa bacaan sholat, bahkan pengalamannya saat melakukan test terhadap 30 PNS yang akan diberangkakan ke tanah suci, hanya sekitar 3 orang yang bisa mempraktikan ibadah ritual.

Ia memprediksikan, jika tidak ada pemetaan terhadap masalah dakwah, maka sampai 40 tahun yang akan datang, kondisi keberagamaan di Kota Bandung akan sama, karena pada dasarnya pembinaan praktik keagamaan dilakukan saat usia anak-anak.

 

“Saat ini tidak kurang dari 10 % anak-anak di Kota Bandung yang belajar Agama, sementara yang 90 % tidak pernah tersentuh. Hal ini berdasarkan data jumlah Madrasah, TKQ/TPQ, Pondok Pesantren serta Sekolah Diniah yang berada di Kota Bandung dan dibandingkan dengan sekolah umum,”jelasnya.

 

Ia  menegaskan melalui power pointnnya bahwa agenda mendesak yang harus dilakukan oleh para Da’i adalah Pertama: intensifikasi lembaga-lembaga pendidikan agama, khususnya berbasis Al-Qur’an, baik melalui pendekatan cultural maupun structural. Kedua, Perlu segera dirumuskan standar minimal kemampuan beragama masyarakat muslin dengan komitmen menerapkannya.

 

Berdasarkan fakta-fakta, bagaimana seharusnya seorang Da’i  memfungsikan Dakwah untuk menyadarkan. “Ini tugas kita, agar semua orang tua menyuruh anak-anaknya agar mau belajar Al-Qur’an,”harapnya***[dudi]

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter