Merindu Hidup Normal

Pandemi Covid-19 telah menghimpit kehidupan banyak orang. Kendati bervisi penyelamatan, berbagai kebijakan Pemerintah dalam memutus rantai persebaran covid-19 terkadang dipersepsi sangat memberatkan, sehingga “perlawanan” pun terjadi di mana-mana: jalan raya, media massa, sampai unjuk rasa. Mereka paham dan bukan menampik kasih sayang Pemerintah, tetapi berontak dan prustasi atas situasi yang tidak juga pulih. Kita merindukan kembali pada kehidupan normal.

Oleh karena itu, ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan masyarakat Indonesia akan segera memasuki pase kehidupan new normal, muncul berbagai tanggapan dan tanda tanya besar di antara harap-harap cemas. Masyarakat berharap bisa hidup nyaman seperti dulu, tetapi cemas karena angka pasien terkonfirmasi positif terus merangkak naik. Bahkan pada akhir Mei 2020, kenaikan dalam sehari sempat menyentuh angka lebih dari seribu orang yang positif terpapar covid-19.


Jika kehidupan normal diterjemahkan kembali pada kehidupan dulu, sebelum adanya pandemi covid-19, nyaris tidak mungkin, bahkan tesis teori perubahan menegaskan, tidak mungkin. Teori siklus mengajarkan, perubahan sosial bagaikan roda berputar, perubahan zaman merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dan dikendalikan. Siapapun tidak akan mampu mencegah perubahan sosial karena sudah menjadi sifat alami yang dimiliki setiap lingkungan masyarakat.


Namun, ada perubahan sosial yang terjadi secara bertahap dan lambat dalam proses evolusi yang merangkak dari kehidupan sederhana ke kehidupan lebih kompleks, sehingga proses adaptasi berjalan damai. Masyarakat merasa tidak ada perubahan karena ketika perubahan terjadi generasi pun beralih. Perubahan pun ada yang cepat, sporadis, dan radikal akibat adanya konflik dan ketegangan dalam masyarakat, sehingga proses adaptasi pun “menyakitkan”, melalui perjuangan, penuh pengorbanan, bahkan tak jarang melalui peperangan yang menelan banyak korban.


Kehidupan New Normal
Pase kehidupan new normal yang “ditawarkan” Pemerintah dipastikan bukan kehidupan normal, apalagi kehidupan seperti dulu. Kehidapan new normal dan normal dipastikan juga berbeda sebagaimana analogi perubahan yang bertahap dan sporadis. Kehidupan new normal dapat diterjemahkan akan terjadi proses adaptasi sosial yang cepat, perlu perjuangan, penuh pengorbanan, bahkan perang yang menyakitkan. Proses perjuangan itu sudah dan sedang dijalani oleh masyarakat, entah sudah seperempat, separuh, atau sudah melewati batas akhir perjalanan.


Lebih tiga bulan, masyarakat perang melawan persebaran covid-19. Ada yang berjibaku di rumah sakit, baik sebagai tenaga medis maupun pasien positif. Mereka sama-sama pejuang dan banyak di antara mereka yang gugur sebagai pahlawan. Ada yang bertahan di rumah sembari terpaksa meninggalkan pekerjaan, bisnis dan perniagaan. Mereka bergelut dengan kesulitan ekonomi, bahkan kelaparan. Ada yang wara-wiri meliterasi kesadaran dan menegakkan aturan, kadang berhadapan dengan penghakiman, tudingan miring, dan konflik. Semua adalah perjuangan, semua adalah pengorbanan, dan terkadang menyakitkan.


Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmita mengkategorikan, new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal, tetapi ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan covid-19. Presiden Jokowi pun menginstruksikan, sosialisasi masif tentang new normal harus dilakukan agar masyarakat lebih memahami apa yang harus dilakukan saat beraktivitas di luar rumah. Bahkan, Pemerintah akan menempatkan personel TNI dan Polri di tempat-tempat umum untuk mengawasi kehidupan new normal.


Realitas itu makin menguatkan bahwa kehidupan new normal bukan normal, serta bukan kehidupan dulu sebelum pandemi covid-19. Hidup seperti dulu hanya akan jadi kenangan. Merindukan hidup normal pun entah kapan. Mau tidak mau dan tanpa pilihan, bahkan lebih tiga bulan sudah memulai, masyarakat harus siap memasuki perubahan yang cepat, sporadis, dan radikal dalam era new normal.


Optimis Menuju Normal
Teori Psikologi Lingkungan yang berakar dari Grand Theories Behavioristik mengajarkan, perubahan perilaku manusia dapat disebabkan oleh tiga faktor: Faktor deterministik (dari dalam), lingkungan atau proses belajar, dan interaksi manusia dengan lingkungan. Teori ini menghidupkan optimistik bagi masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia, bahwa sekejam apapun covid-19 dan sesulit apapun menemukan anti-virusnya, manusia tetap akan menjadi pemenang.


Kekuatan daya adaptif manusia yang merupakan anugerah Allah Swt. dan sudah teruji dalam bentangan jaman, berbagai rintangan, tantangan, halangan, dan cobaan, insya Allah akan dapat berdamai dengan covid-19. Yang menjadi persoalan, dapatkah kita melawan waktu. Makin cepat dapat beradaptasi, makin cepat menjadi pemenang, makin sedikit yang menjadi korban. Semua bergantung dari pencepatan masyarakat dalam mengubah pola perilaku mengarungi new normal.


Masyarakat Indonesia memiliki potensi besar untuk menguatkan ketiga faktor Psikologi Lingkungan dalam percepatan perubahan perilaku. Faktor deterministik dapat dipercepat melalui penguatan kesadaran individu untuk mengikuti protokol kesehatan: bermasker, cuci tangan, jaga jarak, hindari kerumunan. Proses belajar pun dapat dipercepat dengan spirit literasi normatif melalui kebijakan Pemerintah yang argumentatif, persuasif, bahkan represif. Kedua hal itu akan membangun pola interaksi masyarakat dengan lingkungan yang selalu terkendali dan waspada: menempatkan perilaku dalam posisi yang tepat.


Jika proses kesadaran, pembelajaran, dan pengendalian lingkungan berjalan cepat, maka masyarakat pun akan cepat melenggang memasuki arena kehidupan new normal yang besok-lusa akan menjadi normal setelah melintasi batas kehidupan masa lalu, masa pandemi covid-19. Semua perjuangan dan pengorbanan lebih tiga bulan lalu dan masa new normal ke depan akan menjadi kenangan indah dalam ketercapaian kerinduan kembali pada kehidupan normal. Aamiin ya Robbal ‘Aalamiin. ***

Mahi M. Hikmat, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Dewan Pakar ICMI Jawa Barat

Sumber, Pikiran Rakyat 2 Juni 2020

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter