Mengarifi Budaya Cyber

[www.uinsgd.ac.id] Budaya cyber berpengaruh terhadap budaya Indonesia sehingga perlu upaya antisipasi agar budaya tersebut tidak berdampak negatif terhadap masyarakat Indonesia. Muncul pertanyaan apakah budaya cyber bisa mengantisipasi budaya korupsi di Indonesia. Pernyataan dan pertanyaan tersebut muncul saat diskusi buku ‘Komunikasi Antar Budaya di Era Budaya Siber’ di Aula Utama UIN pada Rabu (20/03/2013).

Bedah buku yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tersebut menghadirkan pembicara Rully Nasrullah sebagai penulis dan Dede Syarif sebagai pembanding yang dimoderatori oleh Aseh Sahid Gatara.

Menurut Rully, Budaya Siber adalah budaya yang hadir sebelum internet hadir. Ia mencontohkan ketika masa Play Station atau Dingdong, merupakan bagian dari budaya siber. Walaupun yang main jempol tapi badan ikut juga bergerak melalui halusinasi. Halusinasi inilah yang kita sebut sebagai budaya siber.

Baginya, kehadiran teknologi tidak bisa ditolak . “Karena kemunculan teknologi bukan hanya teknologi ansich tapi ada kepentingan sosial, politik, ekonomi, juga budaya. Coba tengok India, munculnya teknologi mobil di India karena ada kepentingan politik,”ujarnya.

Lantas bagaimana antisipasi budaya negatif dari duna siber. Bagi Rully, kita harus bijak menyikapi kehadiran teknologi.”Misalnya jika sedang mengerjakan tugas, maka kerjakanlah tugas, jangan sambil online. Kalo sudah online, biasanya kita ingin tulis status dan hal lainnya,”imbaunya.

“Apakah kita ikuti atau tidak tergantung pilihan kita. Bijaklah menggunakan teknologi dan yang penting gunakan akal, sehingga apapun yang kita lakukan berkaitan dengan teknologi harus rasional,”tegasnya/

Hal serupa disampaikan oleh Dede Syarif, “yang penting kita jaga ada jangan sampai diperalat oleh teknologi, tapi jadikanlah teknologi sebagai alat,”pungkasnya.***[Dudi, Ibn Ghifarie, Adeng M. Ghazaly]

 

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter