K.H. Anwar Musaddad, Ulama Zuhud dan Wara’

Ada dua nabi yang mendapatkan gelar istimewa dari Allah, yaitu Nabi Ibrahim al-Hanif  dan Nabi Muhammad al-Amin Shallallahu ‘Alayhima as-Salaam. Gelar istimewa yang dimaksud adalah uswatun hasanah, teladan yang baik.

Sungguh, ada suri teladan yang baik bagimu pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya ketika mereka berkata kepada kaumnya: “Sungguh, kami berlepas diri darimu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Kami ingkari kekafiranmu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja”. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sungguh, aku akan memohonkan ampunan bagimu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun darimu siksaan Allah”. Ibrahim berkata: “Ya Rabbana, hanya kepada-Mu kami bertawakal dan hanya kepada-Mu kami bertobat dan hanya kepada-Mu kami kembali” (QS al-Mumtahanah, 4).

Sungguh, pada diri Rasulullah itu ada suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (QS al-Ahzab, 21).

Sebagai uswatun hasanah, kedua rasul mulia ini adalah cermin kepribadian yang telah teruji bagi umatnya. Itulah sebabnya, orang-orang yang mengikuti jejak langkah dan kepribadian para rasul tersebut disebut shalihin, orang-orang shaleh. Allah memberi jaminan kepada mereka seperti dalam firman-Nya. “Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama-sama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Itulah teman yang sebaik-baiknya” (QS an-Nisa, 69).

Jauh sebelum kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘Alayhis Salaam, Nabi Ibrahim al-Hanif Shallallahu ‘Alayhis Salaam pernah bermohon  kepada Allah Azza wa Jalla agar Dia berkenan untuk memberinya keturunan yang shaleh dan menjadi penerus kenabiannya. Doanya adalah “Ya Rabbana, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan mengajarkan kepada mereka Alquran dan Hikmah, serta mensucikan mereka. Sungguh, Engkaulah yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana” (QS al-Baqarah, 129).

Permohonan beliau ini terkabul. Terbukti, banyak dari keturunan Ibrahim al-Hanif Shallallahu ‘Alayhis Salaam yang diangkat menjadi nabi. Salah satunya adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhis Salaam yang kemudian menjadi nabi terakhir. Itulah sebabnya, Ibrahim al-Hanif Shallallahu ‘Alayhis Salaam disebut pula sebagai abaa-a al-anbiya, para nabi.

Sebuah hadist menyatakan bahwa al-‘ulamaa-u waratsatul anbiyaa-a. Ulama adalah pewaris para nabi. Lalu, apa yang diwarisi oleh ulama dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhis Salaam? Sangat banyak. Tirkah (peninggalan) dari para nabi kepada ulama bukan hanya proses transferring ilmu, melainkan juga karakter istimewa yang dimiliki oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhis Salaam. Kita tahu, dan semua umat Islam sudah sangat paham, bahwa ada empat karakter istimewa yang melekat kuat pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhis Salaam, yaitu FAST: fathonah, amanah, shiddiq, dan tabligh. Empat  sifat dan karakkter istimewa yang dimiliki nabi itulah yang kemudian menjadi alat pencelup kepribadian ulama sesudahnya.

Lalu, lahirlah para mujaddid dan ulama yang brilian. Mereka semua melahirkan karya-karya besar dengan tulisan yang melintas-batas disiplin ilmu. Nama-nama besar seperti Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Hanbali, Imam al-Ghazali, Syekh Ibn Taimiyah, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang tidak bisa disebutkan di sini. Mereka berkarya dan terus berkarya untuk menjabarkan firman-firman Allah dengan kualitas hati dan akalnya. Beberapa nama ulama yang disebutkan itu sudah mendunia internasional. Mereka inilah yang disebut oleh Allah sebagai bagian dari “orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah” (QS an-Nisa, 69).

Di tingkat lokal-nasional, ada pula ulama yang memiliki nama besar karena karya dan perjuangannya. Mereka lahir di bumi pertiwi ini. Dari kalangan “Salaf”, ada nama Imam Nawawi al-Bantani; Syekh Ahmad Khatib al-Padangi; Syekh Abdurrauf as-Singkili; dan Syekh Yusuf al-Makassari. Dari kalangan “Khalaf”, sebut saja nama-nama ulama yang sudah cukup dikenal, seperti K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, Buya Hamka, dan Dr. Moh. Natsir. Itulah beberapa di antara sekian banyak nama ulama dan cerdik pandai negeri ini. Kelahiran ulama itu diawali oleh kehadiran para wali penyebar Islam di tanah Nusantara ini yang dalam sejarah biasa disebut Wali Songo.

Dari mereka, lahirlah ulama kenamaan—baik karena kepribadiannya yang zuhud maupun karena ilmunya yang luas—yang menjadi pelanjut perjuangannya, baik di pulau Jawa maupun Sumatera, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, atau Sulawesi. Mereka semua memiliki kekhususan tersendiri sesuai dengan disiplin ilmu yang menjadi bidang kajiannya. Mereka memiliki kharismatik yang sangat besar yang oleh Max Weber (dalam Johnson, 1988) disebut sebagai salah satu penopang kepemimpinan. Kharismatik ini muncul karena upaya mereka dalam taqarrub dan praktek ruhaninya yang sangat ketat kepada Allah.

Ulama, seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alayhis Salaam melalui sebuah hadis (as-Sayuthi, Darul Fikr, t.t.: 69), adalah mashalih al-ardhi wakhulafa’ al-anbiya’ wawaratsati wa warasatu al-anbiya’, pelita untuk bumi, pengganti para nabi, pewarisku dan pewaris para nabi. Sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhis Salaam, ulamalah yang menjadi pelita. Dengan ilmu yang ”diwarisi” dari para nabi itu, mereka menerangi seluruh penduduk bumi dan segala isinya. Mereka bertugas untuk menggantikan fungsi para nabi dalam memelihara dan menyebarluaskan ajaran Allah. Itulah sebabnya, mereka disebut waratsaat al-anbiyaa, pewaris para nabi.

Sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhis Salaam, banyak ulama yang lahir belakangan—yang sejak dulu hingga kini dan mendatang—bertugas untuk terus mewarisi dan menyebar-luaskan ilmunya. Dalam konteks ini, pewarisan yang dimaksud mengandung konotasi bahwa ulama berkewajiban untuk memahami, mendalami, mengamalkan, mengajarkan, mengembangkan, dan menyiarkan Islam yang “diwarisinya” dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhis Salaam. Ulama berkewajiban memimpin umat Islam untuk menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah. Mereka, jika dalam kondisi tertentu menghendaki, bahkan wajib memimpin umat untuk berjuang mengangkat senjata secara bersama-sama untuk menghadapi musuh Allah. Mereka juga harus rela mengorbankan harta dan jiwanya untuk memelihara keberadaan dan kemurnian aplikasi ajaran Islam dalam kehidupan diri dan umatnya di bumi ini.

Imam Abu Hamid al-Ghazali, dalam buku monumentalnya—Ihya ‘Ulumuddin (t.p., t.t., I: 6) yang karena kesungguhanya membela Islam mendapatkan gelar hujjatul Islam—menjelaskan:

Ulama adalah waratsatu al-anbiya’, pewaris para nabi. Sebagai pewaris nabi, merekalah yang harus bersungguh-sungguh memahami hakikat ajaran Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhis Salaam kepada mereka dan umat manusia yang sezaman dengannya. Karena itu, mereka pulalah yang paling mantap dalam hal-hal memberi makna, menetapkan arah dan menggariskan langkah-langkah perjuangan untuk menegakkan Islam, baik dalam upaya pelestarian maupun pengalamannya untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Alquran memberi informasi bahwa orang yang paling takut kepada Allah dari sekian banyak hamba-Nya di permukaan bumi ini hanyalah ulama. Sesungguhnya, orang yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (QS Fathir, 28). Tetapi, karena ajaran dan risalah Allah itu disampaikan oleh Rasul-Nya, mereka mendapat perintah untuk mematuhi Rasul-Nya juga. Taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan ulil amri di antaramu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian (QS an-Nisa: 59). Ketaatan mereka kepada rasul itu, dengan demikian, menduduki rangking kedua setelah ketaatan kepada Allah.

Tokoh Ibarat Cermin bagi Umatnya

Setiap zaman memiliki karakternya sendiri. Setiap zaman juga memiliki pemimpinnya sendiri. Karakter pemimpin itu disesuaikan dengan zaman yang dihadapinya. Tidak ada zaman kecuali ada pemimpin yang Allah tentukan untuk menjadi leader factor bagi zaman itu. Pemimpin atau tokoh yang dituakan selalu tampil di garis depan. Ia menjadi pelita saat umatnya kegelapan. Ia menjadi pencerah batin saat umatnya digelayuti oleh rasa bimbang dan gelisah.

Seorang tokoh ibarat sebuah cermin. Cermin itu memantulkan bayang-bayang wajah kita. Cermin yang bersih adalah cermin yang jujur. Karena itu, ketika memandang seorang tokoh yang ditamsilkan sebagai cermin, semestinya kita mengedepankan kearifan dan kebijksanaan (wisdom). Ada banyak sisi yang dapat menjadi nasihat dan ilmu dari sang tokoh, terlepas dari kelebihan dan kekurangan tokoh itu. Kita bisa belajar dan menyelami makna yang sangat dalam dari perjalanan hidupnya. Penelusuran tentang riwayat hidupnya dan perenungan pengabdian seorang tokoh menjadi pintu gerbang untuk bersikap arif dan lebih cerdas. Pemahaman tentang kehidupan seseorang menjadi sangat berarti yang dengannya memberi kemampuan untuk melanjutkan kehidupan secara stabil dan seimbang.

Salah seorang tokoh dan ulama kharismatis yang menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia, umumnya; dan masyarakat Garut, khususnya, pada zamannya adalah Prof. K.H. Anwar Musaddad. Beliau adalah seorang ulama, guru besar, dan mubalig terkenal di dalam dan luar negeri (Timur Tengah dan Asia Tenggara). Beliaulah pendiri dan rektor pertama IAIN Sunan Gunung Djati Bandung yang kini telah berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Beliau juga termasuk orang yang oleh Allah diberkati umur panjang, tepatnya 90 tahun (pada 3 April 1999) dan wafat pada usia 91 tahun.

Beliau adalah orang yang selama hidupnya selalu menebar senyum optimisme. Beliau dikenal sebagai ulama yang mengedepankan gaya hidup wara, zuhud, dan tawadhu—sebuah proses yang menjadi bagian dari dunia sufi. Beliau sangat suka untuk memperpanjang dan melakukan silaturahim. Beliau menerapkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alayhis Salaam: ”Barangsiapa yang ingin dijembarluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia memperbanyak silaturahim”. Inilah rahasia hidup yang beliau terapkan; dan gaya hidup seperti ini pula yang seharusnya menjadi ibrah dan uswah bagi generasi pelanjutnya; kita semua.

Ada banyak hal yang menonjol dan keistimewaan pada diri beliau. Bahkan, kini, dapat dikatakan bahwa ”keistimewaan” itu merupakan sesuatu yang langka. Di usianya yang lanjut,  secara fisik, beliau masih tampak segar-bugar. Tatapan dan sorot matanya sangat tajam. Raut muka yang penuh wibawanya tidak mengurangi kelemah-lembutannya terhadap siapa pun. Secara alami, beliau tidak mengidap penyakit tua (pikun). Padahal, tidak sedikit orang yang satu angkatan atau seusia dengannya tampak lebih ringkih dan tampak tidak bergairah karena pikun (ardzal al-’umur). Memang, kepikunan merupakan salah satu takdir Allah yang bagi manusia tidak mungkin dapat menghindarinya.

Sungguh, Kami telah menjadikanmu dari tanah, lalu dari setetes mani, dari segumpal darah, dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna agar Kami menjelaskan kepadamu dan Kami tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan. Kemudian, Kami keluarkan kamu sebagai bayi, lalu dengan berangsur-angsur sampailah kamu kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan ada pula yang dipanjangkan umurnya sampai pikun supaya ia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dulunya telah diketahuinya” (QS al-Hajj, 5).

”Kelangkaan” lain yang dimilikinya adalah gagasan dan ide brilian yang mengalir deras darinya. Beliau banyak melahirkan gagasan-gagasan besar (the graet ideas) yang melintasi ruang dan waktu pada zamannya. Gagasan itu mencakup berbagai hal; dari mulai masalah kebangsaan hingga pengembangan Islam di Indonesia. Beberapa karya beliau sudah banyak disebarkan di seluruh persada Indonesia, bahkan di berbagai kawasan dunia Islam. Murid-muridnya pun tidak melulu dari Indonesia, tetapi juga dari negara-negara Asia Tenggara.

Salah satu gagasan besarnya yang hingga kini masih bertengger adalah lembaga tempat pengaderan ulama dan cendekiawan yang  bernama Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Namun, boleh jadi, banyak di antara generasi muda IAIN yang kini menjadi UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini belum pernah melihat wajahnya. Mereka hanya mengenal nama dan jasa-jasanya yang telah menjadi nafas hidup bagi sebagian orang. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan buah karya-karya tulisnya dan berusaha mengamalkan muatannya setelah berusaha mempelajarinya.

Tidak sedikit pula yang mengenal beliau sebagai ulama penyabar dan mubalig piawai dengan gambar-gambar yang ditayangkan melalui overhead projector. Pemaknaan simbolik dari gambar-gambar tersebut memiliki sarat nilai dan nasihat yang bisa ditangkap oleh para pengamat. Tutur katanya “santai”, tetapi bernas dan cerdas. Nasihat yang disampaikannya selalu merujuk kembali kepada ayat-ayat Alquran dan Hadis yang memang sangat dibutuhkan sebagai syifa’ batin (psikoterapi) manusia modern.

Ada sejumlah orang yang mengenalnya sebagai penasihat spiritual. Mengapa? Karena beliau banyak memberi jalan keluar dan solusi dari sejumlah permasalahan yang tidak bisa diselesaikan oleh akal modern. Beliau memberikan “makhrajan“, jalan keluar, dengan izin Allah, dengan memperkaya nasihat melalui petuah dan amalan doa. Tidak terhitung orang yang mengenalnya sebagai kyai politik yang mampu membagi rasa (the spirit of sharing) ketika pengambilan keputusan tentang sesuatu yang sangat sulit dan dilematis. Kepekaan batin beliau ini menjadi bukti bahwa beliau adalah orang dengan talenta ruhani yang sangat dalam. Beliau memiliki deep thinking tentang sesuatu. Inilah yang harus menjadi trigger bagi kita, generasi pelanjut.

Oleh para koleganya, K.H. Anwar Musaddad, adalah seorang yang dikenal sebagai seorang kreatif, dan periang. Keseriusannya dalam mengkaji ilmu tidak menghilangkan sikap periangnya karena terbukti beliau dikenal pula sebagai orang yang suka melucu dan membuat orang tertawa, serta gemar bercerita. Dengan pengetahuannya yang sangat luas dan dalam tentang tanggung jawab pendidikan seorang ayah, beliau membangunkan anak-anaknya ketika waktu fajar tiba untuk bersama-sama ke mesjid, atau berjamaah sholat shubuh. Semua  anak-anaknya dididik dengan disiplin tinggi, cinta kasih, dan tingkat kehati-hatian yang tinggi pula tentang penerapan ajaran Islam. Sedemikian lembutnya, beliau bahkan tidak sungkan  membuatkan nasi goreng sendiri untuk kemudian disuapkan kepada  anak-anaknya ketika sarapan pagi dengan penuh kasih sayang. Beliau juga tidak segan untuk bermain bersama anak-anak; seperti main “kuda-kudaan” atau main “petak umpet”. Kedekatan batin inilah yang sudah hilang di sebagian hati seorang ayah modern—karena tuntutan pekerjaan yang sedemikian ketat.

Menurut para ahli pendidikan, tempat kelahiran dan orang-orang yang ada di sekitarnya sangat berpengaruh terhadap bentuk dan perkembangan kepribadian seseorang. Demikian pula sistem pendidikan yang dibangun oleh orang tua Kyai Anwar di rumahnya. Kepribadian orang tua pun sangat menentukan kepribadian keturunannya. Tepatlah apa yang dikatakan oleh pepatah Inggris kuno: like son like father. Jelas sekali, kepribadian anak sangat banyak dipengaruhi oleh kepribadian orang tuanya. Dari orangtualah seorang anak bisa meniru berbagai hal; baik dan buruk. Jelas sekali bahwa pertumbuhan jiwa dan mental anak akan baik jika lingkungannya pun dibentuk sedemikian baik. Dalam Alquran, fakta empiris tentang kepribadian anak yang baik ini dikisahkan lewat Maryam. Disebutkan, “Allah mendidik Maryam dengan pendidikan yang baik, dan—untuk tujuan itu—Allah menjadikan Zakaria sebagai pemeliharanya” (QS Ali Imran, 38).

Bagi K.H. Anwar Musaddad, daerah kelahiran dan tempat petualangan ilmu sangat berpengaruh pada formatisasi sikap, perilaku dan karakteristik pribadinya kelak. Beliau lahir di Garut, salah satu daerah kabupaten di Jawa Barat yang berhawa sejuk. Dengan lekukan pegunungan yang melingkari daerah itu. Sekarang, daerah Garut dikenal sebagai kota yang bermoto “INTAN”. Sejak dulu hingga kini, Garut dikenal sebagai daerah yang memiliki dunia spiritulitas keislaman yang sangat baik. Tidak sedikit pondok pesantren dengan santri dan ajengannya yang memainkan kiprah sangat penting dan menentukan di negeri ini, khususnya di saat perebutan kemerdekaan RI.

Meskipun Garut kini sudah cukup ramai, namun, suasana alam pedesaan yang asri, elok, dan permai dengan pemandangannya yang indah masih terlihat jelas. Garut dengan keindahannya itu merupakan tempat berhawa dingin yang tenang, sejuk, dan segar. Ia seakan-akan menjadi potret kedamaian bagi penghuninya yang penuh keramahan dan sikap saling menghormati. Kini, tantangan terberat yang dihadapi oleh jajaran birokrasi dan seluruh warga masyarakat Garut, sebagaimana daerah lainnya, adalah tingkat kemiskinan yang masih tinggi. Tingkat pendidikannya masih tergolong rendah. Jumlah penggangguran pun terus bertambah yang jika tidak segera diatasi akan menjadi api dalam sekam bagi persoalan sosial di kemudian hari.

Di daerah berhawa sejuk itulah K.H. Anwar Musaddad dibesarkan oleh kedua orang tuanya. Bagi K.H. Anwar Musaddad, pengaruh orang tua dan sikapnya terhadap anak-anak berperan besar dalam kehidupan keluarga. Bagaimanapun, peran orang tua berpengaruh kuat terhadap proses pembentukan pribadi anak-anaknya. Apa yang diajarkan oleh orang tuanya sejak kecil itulah yang kemudian menjadi dasar bagi perkembangan kepribadiannya. Kondisi inilah yang menjadi salah satu peringatan Allah kepada setiap orang tua. “Hendaknya takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Karena itu, hendaknya mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar” (QS an-Nisa, 9).

Ayat tersebut menjadi “tadzkirah” bagi setiap orang tua. Sejak kecil, beliau diasuh oleh seorang ibu yang lemah lembut. Beliau juga sangat saat kepada dan mencintai Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam. Ketaatan dan kecintaannya dibuktikan oleh disiplin tinggi dalam hal ibadah makhdah, seperti shalat. Bahkan, Ibunda K.H. Anwar Musaddad dikenal sebagai ibu yang selalu menjadikan shalat istikharah sebagai jalan konsultasi kepada Allah ketika ia menghadapi persoalan. Dengan batin yang selalu tersambung dengan Allah itu, beliau melakukan pengasuhan kepada anak-anaknya. Khususnya, kepada K.H. Anwar Musaddad muda. Pengasuhan ini hanya dilakukan seorang diri karena suaminya meninggal. Tidak lama setelah itu, ibundanya tercinta menikah kembali. Ayah tiri beliau juga termasuk orang yang sangat sayang kepadanya. Memang, kedua orang tua beliau termasuk orang yang taat kepada Allah. Ketaatan ini termanifestasikan dalam pergaulannya dengan anak-anaknya.

Kendatipun bukan ayah kandung yang mendidik, merawat, dan membimbing beliau—karena meninggal ketika beliau masih kecil; tetapi ayah tiri ini memiliki kepribadian yang sangat baik. Memang, K.H. Anwar Musaddad tidak dibesarkan di lingkungan keluarga yang biasa mengarahkan anaknya ke pondok pesantren. Tetapi, karena pendekatan cinta dan kasih sayang dalam pendidikan anak, beliau berkembang menjadi anak yang mandiri. Bahwa beliau masih keturunan dari garis Sunan Gunung Jati, itu benar adanya. Garis keturunan wali ini pula yang agaknya memberi pengaruh positif bagi perkembangan kepribadiannya.

Tetapi, orang yang sangat berperan dalam perkembangan karakter dan kepribadiannya adalah ibundanya. Wanita shalehah yang berhati bersih, dan ahli ibadah inilah yang menjadi pencelup jiwanya yang berkarakter. Sebagai wanita yang ahli ibadah, ibunda dari K.H. Anwar Musaddad selalu menjadikan shalat istikharah untuk mendoakan anak-anaknya. Karena jiwa dan hatinya dengan Allah, doanya pun makbul. Doa permohonan itu biasanya diminta, salah satunya, lewat istikharah.

Dengan cinta kasih kedua orang tuanya, K.H. Anwar Musaddad dididik dan dibangun kepribadiannya oleh nilai-nilai kasih sayang yang sangat kental. Namun, kedua orang tua beliau bukanlah orang yang berlatar belakang pendidikan kepesantrenan—seperti halnya para kyai pada umumnya. Dengan kata lain, K.H. Anwar Musaddad tidak berasal dari keluarga kyai yang memiliki pondok pesantren besar. Meskipun demikian, mereka semua adalah orang-orang yang menjunjung tinggi makna perjuangan dalam hidup. Hasilnya, lahirlah gambaran sosok Anwar Musaddad yang bermental tegar. Hal ini menjadi bukti yang jelas sekali bahwa sewaktu kecil beliau banyak dipengaruhi oleh kepribadian kedua orang tuanya. Selain orang tua, lingkungan keluarga pun sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan mental dan kepribadiannya.

Pencarian dan Pengembangan Ilmu

Sulit dipungkiri bahwa kehebatan seseorang dalam keilmuan dan kepribadian diawali oleh sistem pendidikan yang baik yang pernah diterimanya. Pendidikan merupakan awal yang baik bagi pengembangan kepribadian yang baik. Kepribadian yang baik menjadi awal yang baik pula bagi pembangunan peradaban yang konstruktif. Kalangan pendidik berkeyakinan bahwa seorang anak akan memiliki kepribadian yang positif jika hatinya sering disentuh oleh kasih sayang yang tulus dan kelemah-lembutan.

Sentuhan seperti itulah yang pernah dirasakan oleh K.H. Anwar Musaddad sewaktu kecil, meskipun ia harus dirawat dan dibesarkan bersama seorang ayah tiri. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa kedua orang tua K.H. Anwar Musaddad bukanlah orang yang berlatar-belakang pesantren, meskipun darahnya masih bersambungan dengan Syekh Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati Cirebon. Itulah sebabnya, kedua orang tua beliau tidak membekali secara langsung K.H. Anwar Musaddad dengan ilmu agama Islam. Beliau hanya diarahkan oleh orang tuanya dalam hal kebaikan secara umum; terutama ibundanya.

Bahwa, kelak di kemudian hari K.H. Anwar Musaddad bersemangat melanglang buana untuk mencari ilmu, bahkan hingga sampai di Makkah al-Mukarramah, itu karena semangatnya yang sangat besar. Semagat pencarian ilmu agama yang dilakukan K.H. Anwar Musaddad hingga ke Makkah itu tidak lama setelah ia keluar dari sekolah Belanda.beliau yakin bahwa, dengan pengembaraan ini, jatidiri dan identitas diri akan ikut terbentuk sebagai seorang the adventure ilmu. Singkatnya, K.H. Anwar Musaddad ingin menjadi petualng ilmu sebanyak yang mampu diraihnya. Kepada orang-orang yang bermental pengembara ilmu itu, Allah memberi kabar gembira: “Bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. Mereka adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah” (QS at-Taubah, 111-112).

Dalam hal ini, K.H. Anwar Musaddad muda berusaha keras menjadi as-saaihuun, orang yang melakukan lawatan. Apakah yang dimaksud as-saaihuun, orang yang melawat itu? Salah satu makna dari kata ini adalah orang yang melawat untuk mencari ilmu atau berjihad. Tetapi, ada pula yang menafsirkannya dengan arti orang yang berpuasa. ”Hukum melawat” dan mencari ilmu inilah yang menjadi pendorong pribadi K.H. Anwar Musaddad untuk menemukan kebenaran hakiki lewat pengembaran ilmunya.

Terbukti, sesudah selesai menempuh pendidikan di HIS (Holands Inlandes School) di Garut, MULO (Meer Uitgebried Lager Onderwys) di Sukabumi , dan AMS di Jakarta, beliau  melanjutkan pendalaman agama dengan bermukim  di Mekah. Disana, beliau mendalami berbagai cabang  ilmu agama Islam , sekaligus bergaul dengan kebiasaan penduduk bumi para nabi. Beliau juga banyak bergaul dengan tokoh dan ulama dari berbagai belahan dunia, dengan lintas bahasa. Karena kondisi lingkungan yang sangat kondusif bagi pengembangan ilmu, prestasi yang dicapai oleh K.H. Anwar Musaddad pun prestasi yang cemerlang.

Namun, sesuatu hal yang menarik, pada masa mudanya, K.H. Anwar Musaddad justru tidak pernah dikenalkan oleh orang tuanya dengan pondok pesantren. Ini terjadi karena kedua orangtunya bukanlah orang yang berlatar-belakang pesantren, meskipun mereka sangat peduli terhadap pendidikan. Semangatnya ke Makkah dalam pengembaraannya untuk mencari ilmu itu semata-mata karena kehausan dirinya tentang ilmu agama Allah. Di Tanah Suci itu, K.H. Anwar Musaddad terus bersemangat mendalami berbagai ilmu agama Islam. Beliau otodidak dalam mengembangkan kemampuan berbahasa. Beliau mendisiplinkan diri dalam berbagai kegiatan sehari-hari. Agaknya, disiplin yang ketat dan pemikiran rasionalnya yang baik itu tidak bisa dilepaskan dari pendidikan yang pernah ditempuhnya di HIS (Holands Inlandes School), MULO (Meer Uitgebried Lager Onderwys), dan AMS di Jakarta.

Semangatnya mencari ilmu mengantarkan dirinya pada kemauan kuat untuk mendalami dan mempelajari bahasa pengantar ilmu saat itu; terutama bahasa Belanda. Perkenalannya kemudian dengan bahasa Arab karena beliau pun bertekad untuk mendalami sumber-sumber ajaran Islam. Terbukti kemudian, K.H. Anwar Musaddad mengukir prestasi cemerlang (achievement of excellent), termasuk dalam penguasaan bahasa asing itu. Dari penguasaan bahasa asing itulah yang kemudian menentukan keberhasilan belajarnya di Makka al-Mukarramah,Saudi   Arabia.

Prestasi gemilang (the achievement) tersebut beliau capai dengan tetap tekun, rajin, dan berkemauan keras. Beliau bukan tipe orang yang berharap hasil, tanpa beramal. Karena hal itu merupakan watak seorang pengkhayal. Beliau juga bukan tipe orang pengamal yang hanya berharap kepada amalnya. Karena hal itu watak orang yang sombong. Beliau adalah orang yang cerdas dalam beramal, dan berharap hanya kepada Allah atas apa saja yang sedang dan akan diamalkannya.

Dengan semangat demikian, beliau layak disebut sebagai raajiin, orang yang selalu berharap kepada Allah. Orang yang raajiin adalah orang yang memahami luasnya rahmat Allah. Orang yang raajiin adalah orang yang meyakini luasnya kasih-sayang Allah. Orang yang raajiin adalah orang yang amalnya ahsanu ’amalan. ”Apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah” (QS Ali Imran, 159); ”Kamu mengharapkan sesuatu dari Allah apa yang tidak mereka harapkan” (QS an-Nisa, 104). Nas Alquran itulah yang menjadi sumber semangat beliau. Ya, tetap berharap kepada Allah semestinya menjadi nafas kegiatan seluruh langkah seorang muslim. Seorang diplomat Jerman yang akhirnya menjadi Muslim yang taat, Murad Wilfried Hoffman pernah berujar: “Setiap Muslim semestinya bersikap optimis dan menatap hari esok dengan lebih baik” (Hoffman, 2009).

Dengan semangat berharap kepada Allah yang sangat kuat seperti itu, ternyata, beliau berhasil menguasai beberapa bahasa asing, terutama bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Belanda. Kemampuan menguasai bahasa asing yang diraih dari berbagai jenjang pendidikan tersebut, pada akhirnya, memberi kontribusi yang sangat besar bagi keberhasilan belajarnya kemudian tatkala beliau bermukim (tinggal untuk belajar) di Saudi Arabia.

Selama hidupnya, beliau adalah orang yang berjuang keras untuk menanamkan makna dan pengertian pandangan hidup Muslim yang benar menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Beliau memahami benar tentang semakin melebarnya kesenjangan pendidikan umat Islam, perselisihan antarsesama golongan dalam agama (Islam) dan agama lainnya. Seluruh persoalan ini menjadi fokus perhatiannya. Bahkan, beliau berusaha menjadikan masalah itu sebagai lahan jihad dan bentuk pengorbanan nyata yang tinggi untuk segera menuntaskannya.

Karena kecintaannya terhadap ilmu, beliau juga sangat peduli terhadap kehidupan Perguruan Tinggi Islam, Pondok Pesantren, Masjid, dan massa rakyat—umat Islam. Kepeduliannya (caring) itu dibuktikan dengan semangat dan usahanya yang sekuat tenaga, juga dengan pikirannya selama hidupnya, untuk mencerdaskan bangsa. Bagi beliau, kualitas sumber daya manusia yang maju akan menjadi penentu bagi kemajuan bangsa. Atas dasar itu, beliau merasa perlu adanya sebuah lembaga yang menagani secara khusus untuk menjawab kelangkaan sumber daya manusia yang berkualitas.

Dalam pengamatan beliau, sejak zaman Belanda, Jepang, hingga zaman kemerdekaan, masalah toleransi beragama terus menjadi masalah utama hubungan antarumat beragama. Kondisi ini terus berlangsung pada masa Orde Lama, Orde Baru, bahkan Orde Reformasi. Bahkan, hingga kini pun toleransi umat beragama masih terus dipertanyakan. Keadaan inilah yang sejak dulu menjadi perhatian beliau. Beliau terus melakukan berbagai upaya perbaikan. Beliau juga berusaha keras untuk dapat mempromosikan dan menyosialisasikan bahwa konsep Pancasila yang ideal masih harus terus disosialisasikan ke segenap masyarakat.

Asal-usul keturunan dan riwayata hidup Anwar Musaddad—yang sebagiannya sudah dipaparkan pada ulasan sebelumnya, sesungguhnya, dapat disimak dari berbagai tulisan yang berceceran. Sumber utamanya adalah cerita yang disampaikan sendiri oleh keluarga besarnya. Banyak yang telah dituliskan, namun tidak sedikit pula belum terungkap secara utuh tentang kehidupan pribadinya. Itulah sebabnya, riwayat hidup beliau ini harus dilengkapi oleh cerita-cerita dari orang-orang yang dekat dengannya. Dari cerita keluarga terungkap bahwa, ternyata, Bung Karno, salah seorang mantan Presiden RI I, sempat menjadi murid dan mendapat bimbingan keagamaan dari K.H. Anwar Musaddad. Beliau juga menjadi pembimbing khusus bagi hajinya Bung Karno. Inilah salah satu kisah yang pernah dipublikasikan kepada khalayak.

Berdasarkan catatan keluarga, K.H. Anwar Musaddad dikaruniai oleh Allah putra-putri yang banyak. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang berhasil. Dari mereka, banyak informasi yang dapat digali, bahkan dikembangkan lebih jauh. Sebagaimana masa kecilnya yang dididik dengan disiplin dan cinta, beliau pun menerapkannya kepada anak-anak beliau. Hal ini diutarakan sendiri oleh putra-putri beliau bahwa ayah (baca: Anwar Musaddad) menerapkan pendidikan yang disiplin, ketat, dan penuh cinta. Segala sesuatunya dipantau dan diawasi secara berkelanjutan, dengan dasar cinta-kasih-sayang dan kehangatan yang sangat kuat.

Disiplin dalam hal ketetapan waktu. Ketat dalam hal ketaatan terhadap aturan Allah dan Rasul-Nya. Cinta dalam hal interaksi antara ayah dan anak. Itu semua dirasakan sedemikian kuat oleh seluruh anak-anaknya. Simaklah sebuah kisah yang sangat menarik tentang sikap beliau terhadap anaknya yang tegas; khususnya yang terkait dengan ajaran Islam.

Anak  perempuan pertamanya, Yies Sa’diyah, berniat unutk kuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1962. Sebenarnya, sebagai orang yang menjunjung tinggi demokrasi, K.H. Anwar Musaddad sudah memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengambil keputusan sendiri. Tetapi, ada satu alasan syar’i yang dijunjung tinggi, yaitu masalah menutup aurat bagi anak perempuan.

Lalu, beliau meyakinkan anak pertamanya itu untuk mengambil kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Setidaknya, kuliah di kampus yang lingkungannya lebih kondusif dalam hal berpakaian akan lebih aman dan lebih baik daripada kuliah di kampus yang tidak jelas status penutupan auratnya. Penjelasan ini, agaknya, diterima olehYies Sa’diyah, dan jadilah Yies Sa’diyah kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sebagai anak pejabat di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yies Sa’diyah mendapatkan fasilitas antarjemput mobil. Di kampus, Yies Sa’diyah adalah seorang aktivis yang sangat aktif. Dia mempunyai banyak kawan, baik lelaki maupun perempuan. Salah satu teman akrabnya adalah lelaki yang sekarang menjadi suaminya, Maksum Zaeladry. Mengapa Ibu Yies Sya’diyah harus menikah dengan suaminya sekarang?

Dituturkan bahwa beliau pernah melihat anak perempuannya, Yies Sya’diyah, sering tampak akrab dengan seorang teman lelakinya yang satu kampus dan satu aktivis. Kejadian ini akhirnya mendorong K.H. Anwar Musaddad untuk segera memanggil dan mengajak Maksum Zaeladry guna melakukan perbincangan ringan. Di dalam perbincangan itu, K.H. Anwar Musaddad ingin berkenalan dengan orang tua Maksum Zaeladry, dan kebetulan waktu itu pamannya, Haji Asnawi, sedang berkunjung ke Yogyakarta untuk menengok anak-anaknya yang bersekolah di sana.

Esok harinya, pamannyalah yang datang menghadap K.H. Anwar Musaddad. Di hadapan tamunya, beliau meminta kesepakatan untuk menikahkan Maksum dengan putrinya tersebut, sekalipun keduanya masih sangat muda. Pernikahan ini harus dilakukan untuk menghindari fitnah dan menjaga nama baik keluarga. Akhirnya, terjadilah kesepakatan, dan pernikahan dilangsungkan besok paginya. Ketika beliau mendapatkan protes dari anak perempuannya, beliau menjelaskan bahwa jalan itulah yang akan menyelamatkan sebuah keluarga dari fitnah dan menjaga nama baik  keluarga. Sementara itu, sekalipun sudah menikah mereka tetap dapat melanjutkan kuliah sampai selesai dan kehormatan keluarga tetap terjaga.

Sikap seperti ini merupakan cerminan kehati-hatian dalam upaya memproteksi anak perempuan dari kesalahan jalan hidup. Sikap seperti inilah yang semestinya diterapkan oleh orang tua zaman modern ketika pergaulan bebas sudah sedemikian terbuka lebar untuk menghindari perbuatan yang diharamkan oleh ajaran agama. Demikianlah  sikap  ketegasan dan kehati-hatian yang diberlakukan untuk semua putra-putrinya dalam hal menerapkan ajaran Islam dari seorang kyai yang tawadhu dan wara’ ini.

Dalam pandangan relasi dan kolega, kepribadian K.H. Anwar Musaddad juga dikenal sebagai orang yang sangat konsisten terhadap ide yang diyakininya. Beliau juga sangat komitmen pada tugas-tugas yang menjadi tanggung-jawabnya. Beliau sangat kuat dalam memegang prinsip, baik dalam urusan keluarga maupun masyarakat. Selain sebagai seorang pekerja keras, beliau juga tampak sebagai orang yang tidak pernah lelah untuk menjalankan tugas-tugasnya, terutama tugas yang berkaitan dengan keulamaan dan tablig Islam.

Bagi beliau, sikap aktif dan dinamis merupakan sebuah keharusan. Beliau ingin menjadi bagian dari “rabbaniyyun”—generasi yang merefleksikan sifat dan nama Tuhan dalam perjuangan hidupnya. Karakter ideal para pemuda “rabbaniyyun” digambarkan oleh Alquran sebagai “orang yang tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak pernah lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh” (QS Ali Imran, 146).

Beliau ingin menjadi bagian dari mujahidin—orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam penegakan kebenaran dan pemberian manfaat kepada semesta alam. Beliau yakin bahwa Allah telah dan pasti membedakan derajat antara mujahidin dan qaa’idin seperti firman-Nya di dalam Alquran.”Tidaklah sama antara mukmin yang duduk, qaa’idiin, yang tidak ikut berjuang, yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad, mujaahidiin, di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk, qaa’idiin, satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik surga dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang dudukdengan pahala yang besar” (QS an-Nisa, 95).

Selain mobilitas yang tinggi, beliau diikenal juga sebagai orang yang selalu menjauhi dan menghindari barang haram. Inilah karakter seorang yang sangat wara’, berhati-hati. Beliau juga tidak suka membicarakan orang lain (ghibah); atau membuka aib atau kejelekan orang lain (tajassus). Beliau selalu istiqamah dalam praktek kehidupan. Dengan pengalaman ruhaninya yang “seabreg” itu, beliau layak menjadi suri teladan generasi pelanjutnya. Bagi beliau, bersikap wara’,  menjauhi ghibah, menepiskan tajassus, dan bersikap istiqamah merupakan keharusan dalam kehidupan seorang muslim. Tindakan itulah yang mencerahkan dan menjernihkan hatinya. Itulah karakter ’ibaadurrahman. Siapakah dia? “Orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS al-Furqan, 72).

Sebagai intelektual dan ulil-albab yang spiritualis, K.H. Anwar Musaddad juga selalu tertarik dan tidak segan untuk menjadi pendengar setia atas keluhan atau pendapat orang lain. Beliau adalah seorang pendengar yang sangat baik. Beliau juga sangat antusias dan peduli untuk mendiskusikan berbagai macam persoalan informasi yang ada, meskipun dari muridnya sendiri. Inilah bukti ketawadhuannya. Beliau selalu bertanya tentang banyak hal, terutama segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan, perguruan tinggi, dan pondok pesantren. Keinginan ini tidak lepas dari pemikiran beliau yang terus diperjuangkannya dengan sangat gigih. Semua keputusan yang diambilnya acapkali diawali oleh semangat bermusyawarah untuk bermufakat. Lalu, berdasarkan hasil musyawarah itu, beliau mengambil keputusan dengan bertumpu pada sikap bijaksana yang demokratis.

Berkat kegigihan dan pergulatannya dalam menggelindingkan gagasan besarnya tentang perlunya wadah bagi kaderisasi ulama dan ilmuwan-cendekiawan, lahirlah sebuah institut agama bernama IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sejatinya, lembaga dakwah ini dikhususkan sebagai ”kawah candradimuka” untuk mencetak kader ulama-intelektual, dan intelektual-ulama. Kepada generasi pelanjut ini, beliau sanat berharap dapat melanjutkan estafeta pengembangan Islam agar lebih membumi; khususnya di wilayah Jawa Barat. Untuk tujuan itu, beliau dikukuhkan sebagai orang pertama yang membidani perguruan tinggi ini, sekaligus rektor pertamanya. Kendatipun menjadi orang nomor satu di IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, tidak ada sama sekali semangat feodalisme; yang terjadi justru sebaliknya, atensi dan sikap pedulinya semakin ditonjolkan kepada para dosen muda dan mahasiswanya.

Walaupun beliau pada akhirnya pensiun dari dinas kepegawaian, termasuk melepaskan  jabatan sebagai Rektor IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, namun, sepanjang hidupnya, beliau tidak pernah pensiun, khususnya dalam hal pengembangan dunia pendidikan agama Islam. Ini dibuktikan oleh semangatnya untuk membangun Perguruan Tinggi dan Pondok Pesantren di tempat asal kelahirannya, Garut. Dari gagasan ini, lahirlah Yayasan al-Musaddadiyah. Hingga kini, Yayasan al-Musaddadiyah berdiri kokoh melayani kebutuhan pendidikan dan pengajaran agama bagi wilayah Garut dan sekitarnya.

Sudah bisa dimaklumi oleh orang kebanyakan bahwa K.H. Anwar Musaddad adalah seorang pendidik yang mumpuni. Beliau juga dikenal sebagai ahli bidang pendidikan Islam. Selain sebagai seorang ulama dan pendidik, beliau juga dianggap seorang pemikir cemerlang karena banyak menguasai teori-teori dan sistem pendidikan tradisional dan modern—sebuah racikan yang sangat indah. Penguasaan teori ini, boleh jadi, karena beliau pernah terdidik di dunia pendidikan Belanda dengan aneka budaya dan latar belakangnya yang berseberangan dengan akidah muslim. Dari sistem pendidikan ala Belanda, beliau sengat mengedepankan kedisiplinan waktu; konsistensi janji; penghargaan dalam perbedaan. Bahkan, dalam hal berpakaian pun beliau selalu rapi dan modern.

Dari aspek pemahaman Islam, beliau banyak berkenalan kitab-kitab klasik. Pemahaman ini didukung oleh penguasaan beliau tentang bahasa Arab—bahasa pengantar kitab-kitab klasik yang menjadi sumber ajaran Islam. Beliau juga mempunyai wawasan keilmuan Islam yang cukup luas di luar spesialisnya, seperti tafsir, hadis, fiqh, akidah, sejarah, filsafat Islam, sosial, politik, perbandingan agama, tasawuf, dan disiplin ilmu agama lainnya. Beliau juga menguasai pengetahuan umum dan bahasa asing.

Keluasan wawasan beliau sudah teruji dalam kenyataan. Seorang tamu datang untuk bersilaturahim kepada beliau. Sang tamu itu berpersepsi bahwa ia akan dikhotbahi dan ditanya tentang berbagai urusan agama. Faktanya, persepsi itu meleset jauh. Mengapa? Beliau justru mengajak berdiskusi dan berdebat dengan tamu tentang khasiat obat-obat kuat bagi kesejatan raga—sesuatu yang barangkali “aneh” dan “mahiwal”. Ini menjadi bukti bahwa beliau juga ternyata mengetahui seluk beluk obat-obatan. Tamu lain yang datang kepada beliau memiliki persepsi yang sama. Tamu-tamu itu ada yang berlatar belakang dokter, ekonom, politisi, atau pendidik. Uniknya, beliau menyajikan materi pembicaraan yang disesuaikan dengan profesi tamunya. Kejadian ini menunjukkan bahwa sebelum menemui tamunya, beliau sepertinya telah mengetahui lebih dulu kapasitas tamu yang datang itu. Beliau ingin menggunakan ”bahasa kaum” tamu yang datang.

Sebagai politisi senior yang berakhlak, beliau juga memiliki pandangan yang sangat demokratis, dan memahami benar peta jagad perpolitikan yang menjadi trend saat itu. Lalu, beliau menggelar peta politik itu ke pentas nasional. Pengalaman hidup berpolitik yang piawai itu wajar saja dimiliki karena beliau mengalami hidup beberapa zaman, tepatnya sejak zaman perjuangan politik prakemerdekaan, dan masa perjuangan pada masa pembenahan negara dan rakyat hendak diwujudkan hingga masa mengisi kemerdekaan. Keinginan beliau yang utama adalah terwujudnya negara dan rakyat yang kesejahteraannya paripurna. Beliau sangat sadar, pekerjaan untuk mewujudkan cita-cita itu sangat berat. Namun, sebagai politisi berakhlak mulia dan berpandangan kuat bahwa hal itu akan terwujud. Beliau juga sadar, sungguhpun sebagai ulama dan mubalig, beliau tetap merasa bahwa pandangan manusia—sepintar apa pun—tetaplah relatif dan nisbi karena kemutlakan hanya ada di sisi Allah.

Sikapnya yang konsisten dalam kebenaran, dan dikemas oleh kelemah-lembutan yang sangat jelas menjadikan posisi beliau laksana magnet penarik. Pendirian beliau yang konsisten itu selalu dapat diterima oleh semua pihak. Dengan perpaduan antara komitmen dan kemasan akhlak seperti inilah, seorang politisi modern seharusnya meniru gaya berpolitik beliau yang santun dan berprinsip. Ketika zaman reformasi tengah bergulir sosok figur yang seperti beliau inilah yang sangat dibutuhkan.

Di lingkungan IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, beliau diakui sebagai perintis dan pendirinya. Sejak 1967, dalam suasana yang sangat sederhana yang diiringi oleh kesulitan dan rintangan saat perintisan dan pendiriannya, beliau tetap komitmen dan konsisten untuk terus mewujudkan lembaga kaderisasi ulama dan cendekiawan ini. Kini, kondisi yang berbeda sudah dapat dirasakan. Setelah lebih dari tiga puluh satu tahun, berbagai kemajuan sudah berhasil diraih. Dalam hal ini, beliau telah meletakkan dasar cita-cita Islam yang sangat jelas yang terwujud dalam sebuah institusi pendidikan. Institusi ini diharapkan dapat mewujudkan amalan Islam dalam pola pikir masyarakat Jawa Barat yang maju. Melalui peran sentral yang dimainkan oleh lembaga ini, warga masyarakat juga diharapkan mulai berani menegakkan kebenaran, siap untuk berbeda pendapat, dan siap pula untuk bersikap terbuka terhadap dunia luar bagi kemajuan bersama.

K.H. Anwar Musaddad berhasil meletakkan fundamen Islam yang menjadi visi-misi IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pada awalnya, perintisan pun mengalami berbagai kendala, hambatan, tantangan, dan kekurangan. Namun, gagasan beliau dilanjutkan oleh generasi penerus. Secara umum, cikal bakal perkembangan kelembagaan UIN Sunan Gunung Djati berawal dari PTAIN pada 1951-1960; yang biasa disebut periode perintisan. Pendirian PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) merupakan pengembangan—atau lebih tepatnya Penegerian Fakultas Agama UII—yang diatur oleh Peraturan Presiden No. 34 1950 tertanggal 14 Agustus 1950. Peresmian PTAIN ini dilaksanakan pada 26 September 1951

Pada periode ini terjadi peleburan PTAIN (didirikan berdasarkan Peraturan Presiden No. 34/1950) dan ADIA (didirikan berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 1/1957) seiring dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 11/1960, tertanggal 9 Mei 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dengan nama al-Jami’ah al-Islamiyah al-Hukumiyah).

Pada periode Pembangunan Landasan Kelembagaan (1960-1972), ada dua IAIN yang secara resmi mulai digunakan pada  24 Agustus 1960. Dalam hal ini, ada dua IAIN yang berdiri, pertama berpusat di Yogyakarta, dan kedua berpusat di Jakarta berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 49/1963, tertanggal 25 Pebruari 1963. IAIN yang berpusat di Yogyakarta diberi nama “Sunan Kalijaga”; sedangkan IAIN berpusat di Jakarta diberi nama “Syarif Hidayatullah”. Pada mulanya, K.H.Anwar Musaddad aktif mengajar dan mentransfer ilmu di IAIN “Sunan Kalijaga” Yogyakarta.

Di sisi lain, jiwa kesundaannya telah mendorongnya untuk membangun IAIN yang sama di Jawa Barat. Berkat perjuangannya yang tidak mengenal lelah, akhirnya, IAIN yang berpusat di Bandung pun mulai digagas untuk didirikan. Kegigihan K.H. Anwar Musaddad pun mendapat jawaban simpatik dari Menteri Agama RI dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Agama No. 57/1968 tertanggal 28 Maret 1968. Dengan keputusan ini pula IAIN di Bandung resmi berdiri dengan nama “IAIN Sunan Gunung Djati” Bandung.

Pada periode ini, IAIN Sunan Gunung Djati dipimpin secara berturut-turut sejak masa awal pendiriannya adalah K.H.Anwar Musaddad (1968-1972), Kolonel Abjan Sulaiman (1972-1973), Drs. H. Shalahuddin Sanusi (1973-1977), Drs. H.O. Djauharuddin AR (1977-1986), Prof. Dr. H.Rachmat Djatnika (dua periode 1986-1995), dan Prof. Dr. H. Endang Soetari AD, MS (1995-2003). Kini, UIN Sunan Gunung Djati Bandung sudah dan sedang mengalami banyak perubahan karena sudah menjadi lembaga pendidikan tinggi dan ilmiah yang tangguh, dan sederajat dengan lembaga pendidikan dan ilmiah terkemuka lainnya sesuai dengan harapan umat.

Sebagai ulama dan guru besar yang banyak terlibat dalam dunia pendidikan tinggi, K.H. Anwar Musaddad ikut pula membuka era baru, yaitu upaya integrasi model perguruan tinggi dan pondok pesantren. Integrasi ini dianggap sangat penting karena sistem pendidikan dan kelembagaannya merupakan mekanisme alokasi posisional yang sangat menentukan bagi peningkatan kualitas sumber daya umat. Pendirian Yayasan al-Musadaddiyah pun tidak lepas dari idealisme itu. Sistem pendidikan dan kelembagaan itu ternyata mendapatkan kepercayaan penuh dari masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang menyalurkan anak-anaknya ke lembaga tersebut dan bangga menjadi bagian dari keluarga besar al-Musaddadiyah Garut.

Di usia senja saat mendirikan Yayasan al-Musadaddiyah itu bukanlah penghalang yang berarti bagi beliau. Sungguhpun usia beliau mulai senja, beliau tetap bersemangat membakar jiwa juang generasi muda melalui lembaga yang didirikannya. Agaknya, beliau disemangati oleh ayat Alquran: ”Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan, jika ada seratus orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu orang kafir” (QS al-Anfal, 65).

Gagasan beliau tentang integrasi tersebut relevan dengan kenyataan pendidikan yang kini dirasakan oleh masyarakat luas. Dalam hal ini, Perguruan Tinggi Islam Musaddadiyah hendak diposisikan sebagai perintis konsep integrasi itu. Realitas ini menunjukkan beberapa hal berikut.

  1. Sistem pendidikan dan kelembagaan yang digagas dan ditancapkan itu merupakan cerminan keadaan masyarakat. Keadaan masyarakat yang berlapis-lapis memantul dalam kenyataan bahwa pendidikan perguruan tinggi dan pondok pesantren harus merupakan satu-kesatuan. Kini, jalur institusional itu sudah berjalan dan mendapatkan kepercayaan publik. Setiap tahun ajaran baru, sebagian masyarakat mengantarkan putra-putrinya untuk masuk lembaga Pendidikan dari PAUD hingga Perguruan Tinggi Musaddadiyah.
  2. Lembaga Sekolah,  Perguruan Tinggi dan Pondok Pesantren Musaddadiyah yang berkemampuan besar untuk menyalurkan lulusannya sesuai dengan harapan masyarakat. Keberadaan dan kehadirannya sangat kuat. Alokasi sistem yang dicanangkan K.H. Anwar Musaddad ini merujuk pada dalil: semakin besar sekolah, perguruan tinggi dan pondok pesantren mengantarkan peserta didik (mahasiswa) menduduki posisi kemasyarakatan yang terpandang, semakin besar pula arus peserta didik memasuki sekolah, perguruan tinggi dan pesantren itu.
  3. Orientasi alokasi posisional itu berdampak pada munculnya dorongan kuat di kalangan anggota masyarakat untuk memperoleh  tingkat pendidikan setinggi-tingginya. Terbukti pula bahwa Universitas Garut (Uniga) telah menampakkan hubungan sinergi dengan cita-ideal sistem pendidikan yang digagas oleh K.H. Anwar Musaddad. Ini terjadi karena Perguruan Tinggi Musaddadiyah sudah mulai memasuki lembaga sosial ekonomi. Orientasi alokasi posisional itu juga mendorong masyarakat untuk mendudukkan sekolah, perguruan tinggi dan pesantren atas dasar taraf dan kualitas sistem pendidikannya. Jadi, tolok ukur masyarakat terhadap sekolah, perguruan tinggi, dan pesantern adalah kualitas output yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan.

Bertolak dari kenyataan sistem pendidikan yang dirintis oleh K.H. Anwar Musaddad itu, posisi dan peran lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi Musaddadiyah sudah diakui oleh berbagai kalangan masyarakat. Keberadaan dan kehadiran K.H. Anwar Musaddad di bidang pendidikan Islam dalam bentuk pondok pesantren-madrasah-sekolah dan perguruan tinggi yang terintegrasi dalam satu kompleks (boarding school) hampir mendekati harapan umat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Perguruan Tinggi Musaddadiyah digambarkan sebagai model dan kiblat pembaharuan sistem pendidikan a la Timur Tengah, Eropa, Amerika, dan Asia. Perpaduan itu sedikit demi sedikit mulai terpola dengan jelas. Penyesuaian itu tidak sekadar program perubahan dan kebijaksanaan, tetapi juga kecenderungan yang terjadi dan cepat direspon dengan baik.

Kecepatan merespon kecenderungan itu semakin membuktikan bahwa ajaran Islam yang sarat nilai pendidikan keilmuan harus diaktualisasikan dalam praktek formal dan nonformal sesegera mungkin, tidak boleh berlambat-lambat; don’t delay thing that we can do it now. Dalam hal ini, di dalam setiap kesempatan, K.H. Anwar Musaddad selalu dan terus menyandarkan langkahnya pada sebuah Hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam: ”Barangsiapa yang menghendaki dunia, ia harus berilmu. Barangsiapa yang menghendaki akhirat, ia harus berilmu. Barangsiapa yang menghendaki keduanya, ia harus menggunakan ilmunya”. Matan Hadis ini, oleh K.H. Anwar Musaddad, dijadikan sebagai tema sentral dalam praktek sistem pendidikannya. Kedalaman makna Hadis itu telah mendorong K.H. Anwar Musaddad untuk mempublikasikannya agar umat dapat memimpin dan mengendalikan percaturan dan perubahan dunia dengan ilmu dan iman.

Setelah resmi menjabat sebagai Rektor IAIN Sunan Gunung Djati (1967-1972), banyak terobosan baru yang dilakukan oleh K.H. Anwar Musaddad di Perguruan Tinggi. Jujur saja, upaya seriusnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan madrasah, pondok pesantren, dan perguruan tinggi Islam waktu itu belum dipahami sebagai model alternatif. Padahal, arah sistem yang digagasnya sudah cukup jelas, yaitu menempatkan sistem pendidikan madrasah dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Memang, waktu yang dibutuhkan untuk memantapkan sistem pendidikan integrasi itu sangat lama. Biasanya, setelah output yang dihasilkannya sangat jelas, masyarakat pun mulai merespons sehingga banyak peserta didik yang dapat menimba ilmu di lingkungan madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi yang dibinanya meneruskan pelajarannya ke jenjang tinggi, baik IAIN maupun perguruan tinggi umum. Model inilah yang kini lazim disebut dengan istilah boarding school. Sekolah berasrama yang kini semakin dibutuhkan oleh umat Islam.

Di bidang dakwah, beliau juga sering menganjurkan kepada para dai agar terus mengup-grade diri dengan menambah berbagai macam ilmu, dan keterampilan. Lingkungan madrasah dan pondok pesantren harus mulai diciptakan suasana keilmuan yang kondusif. Setiap santri tidak boleh hanya menguasai satu bahasa. Bahasa Arab, misalnya. Tetapi, ia juga harus mengusai satu atau dua atau lebih bahasa lainnya. Pun, semangat meneliti dan mencari ilmu bagi kecapakan hidup (lifeskill) setiap santri di lingkungan kampus yang digagasnya harus terus ditumbuh-kembangkan.

Di bidang pendidikan, K.H. Anwar Musaddad menjadikan dialog antara Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam dan Mu’adz bin Jalal sebagai teladan. Beliau adalah seorang guru besar yang tetap belajar sendiri secara otodidak. Baginya, belajar itu harus sepanjang hayat (longlife education). Ternyata, beliau ia berhasil dengan sangat gemilang. Memang, masalah ini jarang terjadi, sungguhpun bukan sesuatu yang mustahil. Secara umum, manusia belajar melalui jenjang pendidikan formal. Tidak sedikit orang yang berhenti belajar hanya karena ia telah lulus dari sekolah formalnya. Tidak sedikit pula, seseorang yang meraih gelar akademik lantas berhenti belajar. Bahkan, tidak sedikit orang yang ingin meraih gelar profesor, tetapi setelah itu, ia berhenti berkarya. Profesor ini laksana orang yang duduk di menara gading, dan tidak pernah turun menangani permasalahan yang dihadapi oleh  umatnya. Persoalan ini pula yang menjadi perhatian beliau.

Hal lain yang menjadi perhatiannya berkenaan dengan dunia pendidikan adalah kualitas pendidikan yang masih jauh dari harapan. Keprihatinan ini wajar mengingat beliau sangat memahami dunia pendidikan karena kariernya di bidang pendidikan dimulai dari titik nol. Sejak muda hingga menjelang wafatnya, beliau tetap sangat peduli terhadap dunia pendidikan. Beliau mengisi karier pada usia senjanya dengan membenahi lembaga yang ada di bawah naungan Yayasan al-Musaddadiyah. Dengan semangatnya, beliau mengembangkann yayasan ini dengan membangun berbagai sarana pendidikan yang cukup memadai di kota kelahirannya, Garut.

Salah satu keprihatinan yang menjadi perhatian utama K.H. Anwar Musaddad di bidang pendidikan adalah keberagaman kualitas mahasiswa yang notabene beragama Islam. Menurut pengamatan K.H. Anwar Musaddad, hampir separuh mahasiswa barunya belum biasa dan belum bisa mendirikan shalat dan belum bisa membaca Alquran dengan sempurna (tartil). Menghadapi realitas ini, apa yang harus diajarkan oleh perguruan tinggi terhadap mahasiswa dengan kualitas seperti ini? Materi yang diajarkan tentu harus sesuai dengan tingkat usia mahasiswa. Bagaimana dengan pelajaran shalat dan membaca Alquran?

Dua pelajaran itu harus sudah diselesaikan di tingkat pendidikan dasar. Jadi, menurut tingkatannya, pelajaran itu tidak cocok lagi bila diajarkan di perguruan tinggi karena materi yang dibutuhkan oleh mahasiswa adalah pengembangan, pengertian, dan wawasan (world view) pengetahuan dalam disiplin ilmu yang dipelajarinya. Realitas ini acapkali menimbulkan kesenjangan di kalangan intelektual tentang pengetahuan umum dan agama. Tingkat pengetahuan umum level mahasiswa memang cukup memadai di dalam disiplin ilmunya. Tetapi, pengetahuan agama, bahkan level ibtidaiyah pun masih belum tuntas. Realitas inilah yang mendapat sorotan tajam dari K.H. Anwar Musaddad. Menurut beliau, para mahasiswa muslim tidak mampu menafaskan agama dengan disiplin ilmu atau pengetahuan lain di luar ilmu agama. Lebih parah lagi, mahasiswa umum pun tidak sedikit terjebak dalam melihat pengetahuan umum dan agama secara dikhotomis. Menurut K.H. Anwar Musaddad, cara pandang seperti inilah yang menjadi penyebab umat Islam selalu terbelakang. Berkaitan dengan itu, perlu pemikiran utuh tentang upaya pengembangan pendidikan informal dan nonformal secara terpadu karena pendidikanlah yang menjadi pemegang peranan penting. Salah satunya adalah kajian Alquran yang intensif. Karena itu, menurutnya, setiap anggota keluarga harus diseru untuk belajar Alquran dan mendalami muatannya secara terus menerus tanpa henti.

Gagasan lain yang sangat brilian adalah tentang peranan mahasiswa muslim. Menurut beliau, sebelum diberi gelar dan berpredikat sarjana, setiap mahasiswa harus melakukan tugas KKN (kuliah kerja nyata) atau semacamnya. Mereka harus terjun ke lapangan sosial atau dunia empiris untuk membuktikan bahwa mereka adalah pejuang muslim yang tangguh. Mereka harus dapat mengislamkan orang Islam, bahkan mengislamkan nonmuslim sekalipun. Setelah kemampuan itu terbukti, ia dapat dilantik sebagai sarjana muslim. Dengan demikian, mahasiswa lulusan perguruan tinggi Islam lebih dari sekadar kualitas pendidikan mahasiswa. Pola integrasi antara ilmu teoretis dan praktis ini disampaikan oleh K.H. Anwar Musaddad dalam Seminar Hukum Islam dan Pengembangan Masyarakat pada 1987.

Bagi beliau, aktif dan bergelut secara langsung dalam kegiatan pendidikan merupakan sesuatu yang sangat nikmat karena semanga itu sudah menjadi panggilan jiwanya. Itulah sebabnya, tugasnya sebagai seorang pendidik memberi kebahagiaan tersendiri. Namun, diakuinya, puncak kebahagiaan yang dirasakannya adalah ketika gagasan tentang pendirian Perguruan Tinggi Islam al-Musaddadiyah berhasil didirikan olehnya bersama anak-anaknya. Beliau berharap, seluruh lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan al-Musaddadiyah itu menjadi lembaga pendidikan terbaik dengan menghilangkan dikhotomi antara ilmu umum dan agama. Secara khusus, beliau berharap, Perguruan Tinggi al-Musaddadiyah menjadi universitas yang memiliki kualifikasi, kekhasan dan keistimewaan yang patut dibanggakan.

Melalui Yayasan Pendidikan al-Musaddadiyah ini, beliau mengamanatkan banyak hal untuk mewujudkan cita-cita terwujudnya universitas yang memiliki kualifikasi, kekhasan dan keistimewaan yang patut dibanggakan itu. Beliau segera memerintahkan kepada seluruh keluarga besar yayasan untuk berupaya meningkatkan ruhul Islam, status sekolah, jumlah fakultas dan jurusan, serta meningkatkan kampus dan kesejahteraan karyawan.

Tindakan nyata yang dilakukannya adalah membenahi sistem dan sarana pendidikan, khusunya di lingkungan Pondok Pesantren al-Musaddadiyah. Sarana itu, antara lain, membangun kampus yang meliputi ruang kuliah, perpustakaan, tempat ibadah dan perkantoran. Pembangunan ini didahulukan karena ketersediaan sarana sangat membantu kelancaran perkuliahan. Suasana kehidupan kampus yang mampu mendorong semangat belajar mahasiswa pun akan tercipta. Pembangunan ini berhasil diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat, tepatnya selama K.H. Anwar Musaddad tinggal di Garut.

Banyak donator dari umat Islam nasional dan Brunei Darussalam yang memberikan bantuan. Penyelesaian bangunan kampus yang menjadi hardware Perguruan Pondok Pesantren al-Musaddadiyah menjadi perhatian khusus K.H. Anwar Musaddad. Setelah mempersiapkan segala sesuatu secara seimbang, perhatian beliau diarahkan kepada kualitas dosen pengajar. Untuk itu, beliau segera merancang gagasan tentang pengiriman dosen untuk kuliah lagi. Sebanyak mungkin dosen dikirim ke pendidikan pascasarjana untuk dapat meningkatkan kualitas keilmuwaannya. Mereka didorong untuk mengikuti berbagai penataran penulisan dan kegiatan lain yang searah dengan pengembangan ilmu.

Gagasan lain yang digelindingkannya adalah pembukaan fakultas pascasarjana di Pondok Pesantren al-Musaddadiyah sebagai bagian dari pendidikan pascasarjana dari konsorsium perguruan tinggi swasta. Para mahasiswa semua jurusan harus mendapatkan pendidikan sains dan filsafat. Berbagai persiapan untuk meningkatkan kualitas software terus dilakukan. Jelas sekali, dasar-dasar kebijakan untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan (software) ideal ini telah diletakkan oleh K.H. Anwar Musaddad pada periode pertama. Kini, perkembangan dan kemajuan al-Musaddadiyah sudah mulai tampak ke permukaan. Posisi dan peran Pondok Pesantren al-Musaddadiyah di dunia pendidikan secara bertahap juga telah memperoleh pengakuan positif dari umat. Ini terlihat dari semakin banyak peminat kalangan generasi muda yang menuntut ilmu di Perguruan Tinggi al-Musaddadiyah dari berbagai kota di Jawa Barat. Selain itu, status akreditasi Program Studi yang dibina oleh Perguruan Tinggi Musaddadiyah terus meningkat pula. Kini, STAI Musaddadiyah sudah memperoleh status akreditasi B. Demikian juga STTG juga telah memperoleh status Akreditasi B. Itu semua menjadi bukti optimisme yang menjadi dasar perjuangan K.H. Anwar Musaddad. Kemajuan yang dicapai oleh Lembaga Pendidikan dan  Pondok Pesantren al-Musaddadiyah menjadi bukti akumulasi dari hasil kiprah dan kerja keras seluruh keluarga besar Yayasan Pendidikan al-Musaddadiyah dengan K.H. Anwar Musaddad menjadi figur sentralnya.

Berbagai kemajuan dan hasil yang dicapai itu menumbuhkan motivasi yang sangat kuat, sekaligus tanggung jawab yang berat. Disadari sepenuhnya bahwa semua hasil tersebut tidak diperoleh secara instant. Perolehannya memerlukan kekuatan hati dan ketangguhan jiwa dengan sikap optimis yang selalu hadir di dalam hati para pelakunya. Dalam hal ini, kekuatan optimis itu terletak pada keyakinannya bahwa Allah pasti memberi jalan kemudahan baginya. ”Kalian berharap kepada Allah apa yang tidak mereka harapkan” (QS an-Nisa, 104).

Agar prestasi yang ditorehkan itu terus berlanjut, upaya mempertahankan dan melakukan perbaikan kualitas terus dilakukan. Semangat inilah yang menjadi ikon dalam diri K.H. Anwar Musaddad dan bagi Yayasan Pendidikan al-Musaddadiyah. Disadari sepenuhnya pula bahwa keberhasilan yang mereka capai tidak dalam waktu yang terlalu lama. Ini menjadi prestasi tersendiri. Bagi K.H. Anwar Musaddad, lulusan IAIN dan Perguruan al-Musaddadiyah harus dapat memelihara pergaulan dan interaksi dengan dunia luar. Pola interaksi itu harus diikat oleh kesamaan akidah sehingga mereka menjadi satu keluarga yang kokoh dalam suka dan duka. Beliau bertekad, semua lulusan IAIN dan Perguruan Tinggi Musaddadiyah harus mampu memberantas masalah besar yang dihadapi umat: kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan umat, serta pengangguran. Itulah prioritas utama program pendidikan yang digagasnya.

Tekad itu timbul karena rasa tanggungjawabnya yang sangat besar. Ia menjadi bagian yang tak  terpisahkan dari umat yang telah memperoleh kesempatan pendidikan tinggi. Perlu disadari, pendidikan di Pondok Pesanten al-Musaddadiyah dapat terlaksana dengan kesuksesan yang membanggakan karena dukungan umat, baik bantuan dana maupun daya. Karena itu, beliau memberi semangat kepada setiap muridnya, berbuatlah sebanyak-banyaknya untuk dan demi kepentingan umat dan bangsa. Beliau juga mengingatkan kepada setiap sarjana—baik dari Perguruan Tinggi al-Musaddadiyah maupun IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan perguruan tinggi lainnya—untuk tidak menambah beban masyarakat yang sedang dipersulit oleh keadaan ekonomi. Sebaliknya, mereka harus terus mengembangkan kreativitas dan inovasi atas dasar kesadaran bahwa sarjana diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya. Itulah keinginan utama beliau yang disampaikan dalam berbagai kesempatan.

Sebagai bagian dari Keluarga Besar IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, K.H. Anwar Musaddad terus menumbuhkan rasa setia kawan kepada sesama civitas academica. Beliau selalu menjungjung tinggi citra almamater. Beliau juga memiliki semangat bekerja sama yang sangat baik untuk meraih sukses, bahkan memajukan lembaga pendidikan umat itu. Beliau berharap, rasa setiakawan dapat terus dipelihara dengan lebih baik melalui berbagai media silaturahim yang sehat dan dinamis. Menurut beliau, kesibukan pribadi setiap anggota keluarga besar IAIN SGD Bandung tidak boleh menjadi alasan bagi menurunnya semangat bersilaturahim antar mantan rektor, kecuali untuk sesuatu kegiatan yang bersifat resmi.

Hal lain yang menjadi teladan dari seorang bernama K.H. Anwar Musaddad adalah kebiasaan beliau yang terus menggeluti ilmu. Semangat ini telah membentuk sikap mental yang selalu berorientasi jauh ke depan. Dalam bahasa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam, beliau termasuk orang dengan kategori al-kayyis. Seorang sahabat bertanya, apakah al-kayyis itu? Rasulullah Saw. menjawab: ”Al-kayyis itu adalah orang yang mengetahui kekurangan diri, dan selalu beramal untuk kehidupan setelah mati”.

Dengan semangat bervisi, K.H. Anwar Musaddad terus berikhtiar untuk memotivasi generasi mahasiswa agar membekali diri dengan perbendaharan ilmu yang memadai. Mereka harus terus melakukan upgrade atas diri, ilmu dan kepribadiannya. Apa yang dilakukan beliau menjadi bukti bahwa beliau adalah seorang guru besar yang sangat dekat dengan muridnya. Beliau tidak pernah lelah untuk memacu dan membakar semangat anak-didiknya. Konsep ini mirip dengan konsep yang pernah dikembangkan oleh CEO General Electric, Jack Welch, sekian tahun kemudian: ”Spark your spirit”. Beliau selalu mengingatkan siapa pun yang dekat dengannya untuk terus mengisi dan menjawab tantangan hari depan dengan penuh optimisme.

Sungguh, tugas seorang pemimpin dan mubalig memang menguras tenaga, waktu, dan pikiran. Tanpa terasa, usia K.H. Anwar Musaddad semakin menuju ketuaan yang sempurna. Secara umum, orang seusianya harus sudah beristirahat dan menikmati sisa-sisa umurnya dengan tugas pekerjaan yang ringan. Di sisi lain, kegiatan keumatan terus menyita waktu dan menguras tenaganya. Waktu pun terus berjalan. Usia pun terus beranjak hingga menjelang 90 tahun. Bagi orang lain, usia sesepuh ini tentu menjadi beban yang bertambah berat. Tetapi, dengan izin Allah, subhanallah, pada usia sepuh, seorang K.H. Anwar Musaddad tidak tampak merasakan beban berat. Bahkan, keadaan yang tampak ringan-ringan saja. Kondisi keceriaan wajah (wujuuhun na’imah) ini terjadi, agaknya, karena kenikmatan ruhani beliau dalam berhubungan dengan Allah.

Beliau sangat komitmen terhadap pengembangan dan peningkatan kualitas umat Islam. Komitmennya sulit diukur. Hampir seluruh kehidupan K.H. Anwar Musaddad diamalbaktikan bagi kehidupan umat. Memang, beliau pernah berperan aktif di legislatif dan pemerintahan. Tetapi, sepertinya, panggilan keumatan ini tidak pernah terpisahkan dari kehidupannya. Bahkan, ia menyatu dalam seluruh kegiatannya. Boleh jadi, kita merasa kesulitan untuk menilai pribadinya, apakah kelebihan itu ada pada pribadinya, sebagai birokrat, aktivis kemasyarakatan ataukah karena kepemimpinannya.

Setiap tahun, jadwal menjadi khatib Idul Fitri atau Idul Adha terus dilakoninya, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, khususnya kota Bandung, Jawa Barat. Beliau juga mendapat undangan rutin untuk berdakwah di beberapa negara Asia Tenggara, khususnya Brunei Darussalam dan Malaysia. Banyak masyarakat yang merindukan kehadirannya agar dapat  meraih nasihat-nasihatnya lewat kuliah Subuh. Permintaan ceramah selalu dipenuhinya dengan tulus ikhlas. Tidak ada beban yang mengganjal di hati. Tidak ada pula harapan (vested interest) yang terselip di kalbu. Semuanya dilakukan semata-mata karena Allah. Baginya, “wajah Allah” adalah target utama perjuangannya. Subhanallah.

Semua tugas dilaksanakannya dengan performa terbaik. Baginya, itu semua merupakan kewajiban untuk dapat melayani umat manusia. Beliau ingin menunaikan tugas kekhalifahan di bumi ini sebaik mungkin. Beliau ingin mendapatkan gelar sebagai khalifatullah fil ardh dari Allah. Pelaksanan tugas kekhalifahan itulah yang tampaknya menjadi bagian esensial dan substansial dalam kehidupan K.H. Anwar Musaddad. Hidupnya berpegang teguh dan berlandaskan pada kerangka rujukan (term of reference) yang sudah digariskan Allah dalam Alquran dan Assunnah.

Menurut K.H. Anwar Musaddad, manusia tidak dapat melepaskan diri dari tugasnya sebagai makhluk mulia (ahsanu taqwim). Dakwah yang menjadi tugas semua muslim akan membentangkan tentang sesuatu yang jelas-benar dan sesuatu yang jelas-salah di mata umat. Tanpa dakwah, kehidupan yang gelap tidak akan bisa diubah menjadi terang. Kehidupan fi azh-zhulumaat akan terus dominan jika semangat berdakwah sudah mati dari hati umat Islam. Sebuah hadis menyebutkan, orang yang seumur hidupnya tidak berjuang atau tidak pernah ada bersitan hati untuk berjuang demi Islam, kematiannya memiliki sebagian munafik.

Manifestasi dan komitmennya terhadap dakwah tidak hanya dibuktikan oleh K.H. Anwar Musaddad lewat ceramah dan khotbah yang disampaikannya di berbagai tempat. Baginya, menerima atau menyampaikan ilmu merupakan dua kewajiban generasi rabbany. Itulah sebabnya, dengan penuh kerendahan hati, K.H. Anwar Musaddad selalu siap selalu menerima ceramah dan khotbah orang lain, tanpa merasa risih sedikit pun. ”Generasi rabbany karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan tetap mempelajarinya” (QS Ali Imran, 79).

Beliau sadar, setiap manusia pasti memiliki kekurangan atau kekhilafan dan kelebihan. Kekurangan dan kelebihan inilah yang selalu dihayati oleh K.H. Anwar Musaddad. Baginya, kekurangan dan kelebihan itu mutlak adanya pada diri manusia. Kebenaran mutlak itu hanya di sisi Allah, Rabbul ’Alamiin. ”Al-haqq min rabbik, kebenaran itu dari Allah” kata Alquran (QS al-Kahf, 29). Atas dasar itu, K.H. Anwar Musaddad tidak segan-segan untuk belajar kepada siapa pun atau apa pun. K.H. Anwar Musaddad selalu menyempatkan hadir untuk mendengarkan ceramah atau taklim di lingkungan pondoknya. Aktivitas menyerap ilmu ini lebih intensif dilakukan pada akhir usia senjanya.

Sikap tawadhu inilah yang menjadi daya pemikat umatnya. Terbukti, kehadiran K.H. Anwar Musaddad di tengah-tengah umat selalu diharapkan dan ditunggu. Umat merasa kehangatan dan ketenangan jika K.H. Anwar Musaddad berada di tengah-tengah mereka. Terbukti, hampir di setiap acara, formal atau nonformal, kehadirannya selalu ditunggu. Acara taklim tidak mantap, jika beliau tidak membacakan doa. Doa yang dipanjatkannya adalah doa seorang hamba Allah yang berhati bersih. Lafal doa itu menjadi pemantap batin, pengisi kekosongan jiwa. Realitas ini bukan hanya karena beliau ulama senior, atau menyandang predikat guru besar, atau mantan rektor sebagai jabatan akademik-terpenting yang pernah didudukinya, tetapi karena akhlak, kharisma, integritas, dan komitmennya terhadap kebangkitan umat.

Bagi beliau, boleh jadi, sesuatu yang dialami terasa pahit. Tetapi, untuk kepentingan umat dan tegaknya kebenaran, sesuatu yang terasa pahit itu akan tetap dilaksanakannya. Beliau tidak pernah mundur sejengkal pun untuk melakukannya. Sebaliknya, sesuatu yang menurut bahasa lahir terasa baik dan nikmat, tetapi nurani meyakini bahwa sesuatu itu salah, karena merugikan umat, beliau tidak segan-segan untuk menjauhinya. Tindakan ini beliau lakukan untuk menjaga hal-ihwal ruhaninya agar tetap mantap bersama Allah.

Amal-amal nyata yang terbaik inilah yang menjadi credit point bagi para muridnya. Itulah sebabnya, tidaklah pujian yang berlebihan jika kemudian ada salah seorang murid akrabnya yang pernah berkata bahwa K.H. Anwar Musaddad adalah ulama dan pemimpin yang teguh dan konsisten dengan pendiriannya. Disebut teguh dan konsisten karena beliau selalu berpihak pada kebenaran. Beliau tidak pernah peduli dengan setumpuk penawaran materi yang menggiurkan hatinya. Baginya, semua tawaran yang tidak diridhai Allah pasti merugikan dan mencelakakan diri dan umat. Baginya, amal apa pun yang dilakukan, di mana pun, untuk apa pun, dan kapan pun harus dalam rangka ibadah kepada Allah.

Dakwah yang efektif adalah dakwah teladan, termasuk dalam berkeluarga. Itulah sebabnya, K.H. Anwar Musaddad berprinsip bahwa keluarga harus dimantapkan lebih dulu. Mengapa? Karena dakwah tidak bisa dilepaskan dengan umat yang paling dekat bernama keluarga. Keluarga merupakan objek dakwah (mad’u) pertama yang harus didahulukan daripada selainnya. Beliau merujuk pada nash Alquran: ”Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” (QS asy-Syu’ara, 214). Sulit dipungkiri pula bahwa keluarga yang hancur dan berantakan akan sangat berpengaruh kepada pelaksanaan tugas-tugas dakwah. Karena itu, beliau selalu memulai dari lingkungan keluarganya sendiri. ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahrim, 6).

Meskipun kesibukan dan jadwal kegiatannya penuh, beliau tetap mengajar putra-putrinya untuk belajar Alquran, Hadis, dan Fiqh secara langsung. Beliau bahkan menjelaskan pemahaman kandungannya. Semangat belajar selalu ditumbuhkan kepada batin putra-putirnya. Suasana damai dan harmonis pun betul-betul terasa di dalam keluarga K.H. Anwar Musaddad. Semua persoalan yang muncul selalu diselesaikannya dengan baik dan penuh pengertian. Tak seorang pun anak-anaknya yang menyakitinya, dan disakiti olehnya. Semua putra-putirnya merasa puas dan lega hati sedemikian nyaman. Bagi beliau, keharmonisan keluarga merupakan kunci utama bagi keharmonisan diri dan kesuksesan dakwah. Inilah prinsip yang selalu dipegangnya. Beliau bercermin dan belajar dari keluarga Ibrahim al-Hanif Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam yang oleh Allah disebut sebagai imam bagi manusia.

Bagi beliau, kesejalanan ide, keselerasan pikiran, dan kesatuan hati antara ayah, ibu dan anak merupakan pendukung utama kesuksesan dakwah. Prinsip ini menjadi kunci utama dan doktrin perjalanan hidup K.H. Anwar Musaddad, dan beliau telah berhasil membuktikannya. Beliau sadar benar bahwa, seorang nabi sekalipun, ketika dakwahnya tidak didukung oleh istri dan anak-anaknya, ia pasti menemui kegagalan. Apa yang dialami oleh Nabi Nuh ‘Alayhis Salam dan Nabi Luth ‘Alayhis Salam merupakan sebuah pelajaran berharga tentang masalah itu.

Konsep tasamuh dan tawasuth pun menjadi “ruhul hayat” bagi K.H. Anwar Musaddad. Konsep ini tercermin dalam perilaku beliau. Perilaku ini berperan penting dalam segala aktivitas kehidupan beliau. Terbukti, ketika para pengurus NU merasakan keresah-gelisahan karena ada banyak tantangan yang menghadang di depan mata, yakni ketika ada upaya mengorganisasikan diri dan mencari solusi terbaik atas perbedaan pandangan, beliau menjadi air penyejuk perbedaan itu. Jelas sekali, K.H. Anwar Musaddad berhasil menjadi pemersatu berbagai perbedaan di dalam tubuh organisasi NU. Kelembutan sikap dalam memberi nasifat, tetapi ketegasan dalam menentang kemungkaran menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi siapa pun yang pernah bertemu dengannya.

Perjalanan hidup K.H. Anwar Musaddad adalah perwujudan dan sosok yang relatif utuh dan komprehensif. Beliau seorang figur ulama yang tawadhu, zuhud, dan wara’; sekaligus seorang intelektual. Beliau tampil dan berperan aktif ketika umat menghadapi keadaan dan masa yang sangat kritis. Dalam keadaan normal, beliau menjadi seorang penghibur orang yang sedang susah dan gundah-gulana laksana seorang nabi sebagai al-mubasysyir. Jiwanya yang tulus-ikhlas dalam melakukan setiap perbuatan menjadi mata-air penyejuk kegersangan umat yang diterpa berbagai masalah. Baginya, setiap perbuatan di jalan Allah adalah ibadah. Semangat inilah yang menjadikan beliau selalu merasa aman bersama Allah, amanahum min khauf, Allahlah yang memberi mereka rasa aman. Dapatkah kita menjejaki perjalanan panjang ulama-intelektual ini?

Sumber, www.jejakkebaikan.wordpress.com

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter