Berpolitik Secara “Ihsan”

Praktik politik kebangsaan yang tengah berlangsung sungguh menyedihkan. Sikap “buas” menyerang lawan, membuka aib, seolah dihalalkan. Kesantunan menjadi barang langka, karena demi kemenangan, menghancurkan lawan menjadi opsi utama. Apakah ini salah satu karakter sebagian anak bangsa? Atau karena haus kekuasaan, menonjolkan kenistaan menjadi pilihan?

Periode kampanye itu hanya beberapa bulan saja, sementara kehidupan berbangsa harus dirajut hingga ratusan bahkan mungkin ribuan tahun ke depan. Terlalu mahal rasanya, imaji kebangsaan yang telah tercipta, harus dicemari oleh kebencian yang ditebarkan, mengoyak ikatan kebangsaan. Kampanye hitammerupakan penodaan proses berdemokrasi.

Kampanye hitam merupakan propaganda dengan cara menimbulkan ‘ketakutan’ pada masyarakat agar bereaksi dengan cara yang diharapkan si pembuat kampanye. Direkayasalah kisah menakutkan yang banyak di antaranya fiktif meski dengan  rujukan, seolah-olah benar. Pada saat yang sama, diciptakan pula musuh bersama yang didemonisasi, dicitrakan sebagai setan yang melahirkan ancaman bagi kepentingan bersama.

Apabila praktik berdemokrasi bangsa Indonesia masih seperti ini, kita akan terus berada dalam bayang kegelapan, jauh dari kemajuan. Program prioritas tidak lagi menjadi bahan perdebatan. Porsi perdebatan program masing-masing kandidat jauh dari kongkrit, belum menjadi wacana dominan. Media massa dan masyarakat calon pemilih tidak mendorong ke arah pertanyaan program nyata setiap kandidat, yang ada masih jauh, sulit terealisasi. Memilih karena orangnya, bukan karena program besar, keterukuran program dan kemungkinan implementasinya. Semua itu tentu perlu akal sehat dan sikap kritis, melampaui citra yang tengah ditebarkan.  
 
Masyarakat Kritis
Politik kebangsaan harus menjadi embrio dalam melahirkan masyarakat kritis dan santun. Akal sehat, sikap kritis, ilmu pengetahuan dan moralitas menjadi nilai dasar bersama dalam keseharian. Jikapun ada peristiwa politik tahunan, itu merupakan wahana berlomba dalam kebaikan, bekerjasama dalam kebangsaan, menjaga hubungan baik antara pemimpin dan warga, memelihara kepentingan publik, hidup berdampingan dengan baik dan damai, serta berpegang teguh kepada prinsip-prinsip yang baik (ihsan) sehingga tercipta sebuah kondisi kesatuan dan persatuan (ishlah).

Kampanye adalah ikhtiar untuk menyampaikan kebaikan, tanpa harus membuka aib lawan. Boleh jadi, apatisme masih menyeruak dan menuding gagasan seperti ini mimpi, tapi jika anak bangsa ini mau memulai, segalanya menjadi mungkin. Peran besar itu ada pada masing-masing anak bangsa dalam perannya menolak fitnah disebarkan lebih luas di media sosial. Ibarat mengipas api di tengah padang ilalang, makin disebarkan, makin meluas. Namun jika sikap diam dipilih, fitnah di media sosial itu akan hilang dengan sendirinya.

Peran besar lainnya ada di redaksi media massa, isu-isu yang berisi fitnah, disaring, di-tabayyun-kan, sehingga terang benderang duduk persoalannya. Tentu saja, yang paling penting adalah peran  tim sukses dan pendukung masing-masing kandidat, harus mawas diri, tidak menjadikan fitnah sebagai alat menistakan. Bawaslu dan aparat hukum harus tegas menghukum setiap bentuk kampanye hitam, bukan karena merugikan proses politik, tapi jelas-jelas akan merusak semangat kebangsaan. Jika luka telah tertoreh, persatuan dan kesatuan akan menjadi benang basah yang sulit ditegakkan.

Masyarakat santun dibangun oleh kesalehan warganya. Semua agama mengajarkan kesalehan secara individual maupun sosial. Islam mengajarkan kesatupaduan antara kesalehan individual dan sosial. Di dalam surah al-Mu’minun [23], ayat 1-9, dijelaskan bahwa seorang mukmin, selain khusyu dan menjaga shalatnya (kesalehan individual), mereka juga menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tak berguna, menunaikan zakat, menjaga kehormatan, dan memelihara amanat dan janjinya (kesalehan sosial).

Agama memberikan petunjuk kepada  manusia untuk mencontoh sifat atau akhlak Tuhan sesuai kapasitas kemanusiaannya. Konsep agama tersebut mengandung implikasi ajaran yang lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia adalah untuk beribadah, mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang menjadi pegangan utama manusia.

Agama tidak hanya berdimensi ritual-vertikal, melainkan juga mencakup dimensi sosial-horizontal. Agama tidak hanya mengurusi persoalan ibadah-ritual (iman) untuk pembentukan kesalehan individual, namun yang terpenting dari itu adalah perwujudan iman itu dalam pembentukan moral sosial. Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang beriman (mukmin) adalah orang yang memberikan keamanan kepada sesama manusia, dan seorang muslim adalah orang yang memberikan keselamatan dengan lisan dan tangannya (diplomasi dan kekuasaannya).” (HR. Ahmad).

Bagi umat Islam yang terjun di dunia politik praktis, mesti memahami prinsip kebaikan (ihsan) tatkala menjalani aktivitas perpolitikan. Berpolitik itu harus ditegakkan secara santun, sejujur-jujurnya, yakni dengan menunaikan amanah dan tidak boleh mengkhianati amanat, menegakkan keadilan dan hukum.

Karena itu, kampanye yang dilakukan setiap tim pemenangan Capres-Cawapres mesti menjunjung tinggi kebenaran, mementingkan persaudaraan, menghormati kebebasan, menjauhi fitnah dan kerusakan. Dalam perspektif kesalehan sosial, berpolitik dilakukan demi kepentingan umat dan bangsa sebagai wujud ibadah kepada Allah dan berbuat ihsan kepada sesama.  Inilah yang disebut dengan berpolitik secara ihsan!

Sebagai sebuah bangsa, kita harus terus belajar mengejakan kehidupan politik yang penuh kebaikan. Bukan mustahil, karena itu keinginan bersama. Setelah hirukpikuk kampanye, memilih dan ditetapkan pemenangnya, selanjutnya kita menginginkan perubahan sebagaimana yang telah dijanjikan. Pembangunan manusia Indonesia harus dilanjutkan sekuat tenaga.

Bayangkan, betapa kecewanya setelah mendukung sepenuh hati, calon yang jadipemenang mengingkari janji. Karena itu, tak harus terjadi bentrokan antar pendukung danpermusuhan tercipta hanya karena berbeda pilihan. Tetap gunakan akal sehat dan semangat kebersamaan, karena Indonesia ini milik bersama, bukan milik Prabowo-Hatta dan timnya, ataupun Jokowi-JK dan timnya, namun untuk dibangun bersama. Jadilah pendukung kritis, jauhighibah, tetap tebar kebaikan dan kebermanfaatan kepada sesama. Wallâhu’alam.

Dadang Kahmad, Guru Besar Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Direktur Program Pascasarjana UIN SGD Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 17 Juni 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *