BERANI HIDUP

Dalam sebulan terakhir ini marak kembali pemberitaan seputar terorisme. Lagi-lagi aksi terorisme itu dihubungkan dengan Islam yang diidentikkan sebagai jalan kekerasan, jihad, atau mati syahid. Tentu ini sangat memprihatinkan.

Kalau kita kaji makna teror, teroris, ataupun terorisme, berasal dari satu kata yang sama yakni terara, bermakna meresahkan. Teroris merupakan musuh kemanusiaan sehingga agama mana pun, apalagi Islam, tidak memperkenankan adanya upaya meresahkan kehidupan manusia. Bahkan, Islam menegaskan kalau kita membunuh seseorang, berarti telah membunuh kehidupan seluruhnya.

Lalu, apa sesungguhnya jihad? Apakah terorisme masuk dalam kategori jihad dan mati syahid? Jihad adalah perbendaharaan kata dalam Islam yang pada masa akhir-akhir ini menjadi teramat populer. Kata jihad berasal dari kata bahasa Arab yang berasal dari kata juhd atau jahd. Juhd berarti kemampuan atau mengeluarkan sepenuh tenaga dan kemampuan, sedangkan jahd berarti kesukaran sehingga untuk mengatasinya harus bersungguh-sungguh (dalam bekerja). Kata ijtihad yang dikenal dalam hukum Islam juga berasal dari akar kata yang sama dan berarti upaya sungguh-sungguh untuk menghasilkan hukum syara.

Jihad dalam Al-Qur’an lebih bersifat umum karena maknanya bersungguh-sungguh. Bahkan, banyak ayat yang memerintahkan jihad diawali dengan jihad melalui harta (wajahaduu biamwalikum) yang secara tidak langsung memerintahkan kaum Muslimin untuk menjadi kaum yang kuat secara ekonomi sehingga bisa melaksanakan zakat, infak, sedekah, ataupun santunan lain.

Dalam satu riwayat dikatakan, setelah Perang Badar yang terkenal itu, Nabi Muhammad SAW. mengatakan kepada para sahabatnya. Kita (kaum Muslimin) baru saja kembali dari jihad kecil kepada jihad besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu. Riwayat ini menunjukkan, jihad pada periode Madinah pun tidak selalu berarti perang menggunakan senjata.

Jihad jangan dimaknai sebatas untuk berani mati, tetapi harus lebih luas lagi, yaitu berani hidup menghadapi kenyataan kehidupan di dunia ini. Berani mati terkesan heroik, tetapi mudah pelaksanaannya. Namun, berani hidup membutuhkan keberanian luar biasa karena harus menghadapi berbagai tantangan, hambatan, permasalahan, ataupun ujian hidup.

Untuk menghadapi semua persoalan kehidupan tentu harus belajar hidup kepada Sang Pemberi Hidup, Allah SWT. Kita tak bisa sebatas menyandarkan hidup kepada manusia lain karena akan muncul kekecewaan. Minta petunjuk agar bisa berani hidup dan selamat hidup di dunia dan akhirat kepada Sang Pemberi Hidup itu sendiri.

Seorang manusia lahir ke dunia untuk hidup dan menghidupkan dunia ini. Dia sebagai khalifah dari Allah. Tak heran apabila Nabi Muhammad SAW. menyatakan, orang terbaik adalah ketika mampu menjalani kehidupan dan memberikan manfaat kepada sesama manusia (khairunnaas ‘anfauhum linnaas).

Untuk menjalani hidup, kita perlu belajar dan menghargai proses yang terjadi. Sementara untuk mati tidak perlu belajar. Kesalahan manusia saat ini adalah menjalani kehidupan dan ingin menjadi baik, tetapi tidak belajar kepada Sang Pemberi Hidup.

Akibatnya, kehidupan manusia menjadi sempit. Hidup menjadi susah. Hidup dihantui kemiskinan. Hidup tidak tenang, bahkan hidup terasa sempit selama manusia mengarungi kehidupan. Semua itu karena kita tidak belajar malah jauh dari aturan Sang Pemberi Hidup, Allah.

Banyak yang merasa putus asa dan ingin mengakhiri hidup ketika cobaan datang. Sesungguhnya, jika kita mau menenangkan diri dan mohon petunjuk Sang Maha Pemberi Kehidupan, jalan keluar ada di mana-mana. Kunci dalam memahami tugas hidup adalah pengenalan diri.

Hidup akan terasa berat dan tanpa arah tujuan yang pasti secara lahir batin karena kita sulit mengenal diri kita yang sejati. Kenalilah diri kita dengan baik karena dalam hadits disebutkan, “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhan-nya.”

Dari sinilah kunci kehidupan dan pengenalan untuk penyempurnaan tugas kehidupan. Kita diberikan kesempatan untuk menyempurnakan diri dengan menjalani ujian, cobaan, bahkan penderitaan yang harus dilalui dan diterima dengan keikhlasan, sabar, dan berserah diri secara total kepada Allah.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Inshirah: 5-6)

Beranilah untuk hidup dan jalani saja ketika ada persoalan atau hambatan yang menghadang. Kita harus yakin antara kesulitan dan kemudahan, antara suka dan duka, ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Ketika ada masalah, pasti ada solusinya. ***

H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi.

Sumber Pikiran Rakyat, 20 September 2012

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *