Bagaimana Hukum Berkurban di Luar Daerah Domisili? Ini Penjelasannya

Ilustrasi kurban / Foto NU Online

UINSGD.AC.ID (Humas) — Dalam Islam, berkurban termasuk amalan yang memiliki keutamaan besar. Pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah, Rasulullah saw bersabda bahwa tidak ada amalan yang lebih dicintai oleh Allah pada hari Idul Adha selain dari mengalirkan darah hewan kurban.

Amalan ini memiliki keutamaan besar, di mana hewan kurban tersebut akan datang pada hari kiamat dengan membawa seluruh bagian tubuhnya seperti tanduk, bulu, dan kuku sebagai bukti ibadah yang dilakukan oleh orang yang berkurban. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya ibadah kurban dalam pandangan Islam.

Rasulullah menegaskan bahwa darah hewan kurban itu akan sampai kepada Allah sebelum jatuh ke bumi, menunjukkan bahwa Allah sangat menghargai dan menerima ibadah kurban tersebut dengan cepat. Oleh karena itu, umat Islam yang melaksanakan kurban dianjurkan untuk mengikhlaskan niat dan hati dalam berkurban, karena keikhlasan merupakan salah satu kunci diterimanya ibadah oleh Allah.

“Dari Aisyah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada amalan yang dilakukan oleh anak Adam pada hari kurban yang lebih dicintai Allah selain dari mengalirkan darah. Sesungguhnya hewan kurban itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kukunya. Dan sesungguhnya darah kurban itu akan sampai kepada Allah sebelum jatuh ke bumi. Maka ikhlaskanlah dirimu dalam berkurban.”

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana hukum berkurban di daerah lain yang bukan tempat tinggal orang yang berkurban? Misalnya, Ahmad tinggal di Jakarta, kemudian dia berkurban di kampung halaman ibunya di Brebes, Jawa Tengah? Apakah praktik ini diperbolehkan dalam Islam?

Dilansir dari laman Arina, Syekh Zakariya al-Anshari dalam kitab, Asnal Mathalib, Jilid 1, halaman 547 mengatakan bahwa hukum berkurban di daerah lain atau di luar domisili orang yang berkurban pada dasarnya boleh dilakukan. Artinya, orang Jakarta yang ingin melaksanakan kurban di Jawa Tengah atau Jawa Timur, hukumnya adalah diperbolehkan.

Meskipun ada pendapat sebagian ulama, yang dikemukakan dalam kitab “Al-Muhimmat” menyatakan bahwa lebih diutamakan untuk tidak memindahkan hewan kurban dari tempat penyembelihannya ke daerah lain. Hal ini beranggapan bahwa memindahkan hewan kurban dapat mengurangi manfaat kurban bagi masyarakat di sekitar tempat penyembelihan.

Akan tetapi, menurut Syekh Zakaria, pendapat yang lebih kuat adalah yang membolehkan memindahkan hewan kurban ke luar domisili. Pendapat ini didasarkan pada kesamaan hewan kurban dengan zakat, di mana zakat boleh dipindahkan ke tempat lain. Simak penjelasan berikut;

“(Dan memindahkannya dari satu negeri) yaitu negeri tempat penyembelihan hewan kurban ke negeri lain (seperti memindahkan zakat). Dikatakan dalam kitab “Al-Muhimmat” bahwa hal ini menunjukkan lebih diutamakannya melarang pemindahan hewan kurban. Tetapi yang benar adalah boleh dipindahkan, karena para ulama telah menetapkan dalam bab zakat bahwa boleh memindahkan hewan kurban yang dinazarkan. Hewan kurban termasuk salah satu jenis zakat. Ibnul Imad melemahkan pendapat ini dan membedakannya dengan mengatakan bahwa hewan kurban menjadi incaran fakir miskin karena disembelih pada waktu tertentu seperti zakat, berbeda dengan nazar dan kafarat yang tidak diketahui oleh fakir miskin sehingga mereka tidak mengincarnya.” (Syekh Zakaria Al-Anshari, Asna Mathalib, Jilid 1, halaman 547)

Sementara itu, Imam Nawawi dalam kitab al-Idhah fi Manasik al-Hajj wa al-Umrah, halaman 336 mengatakan bahwa sah berkurban di luar daerah orang yang berkurban. Pun diperbolehkan menitipkan uang pada orang lain, di luar domisi orang yang berkurban, untuk dibelikan binatang kurban. Misalnya, Ahmad menitipkan uang ke Rahmat di kampung untuk dibelikan kurban. Itu diperbolehkan dalam Islam.

Imam Nawawi menceritakan bahwa Mufti Makkah Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, sebagaimana dijelaskan dalam syarah Ibnu Hajar terhadap al-Mukhtasar, pernah ditanya tentang kurban di luar daerah? Ia pun menjawab bahwa diperbolehkan untuk memindahkan hewan kurban atau aqiqah dan menyembelihnya di negara lain, selain negara tempat tinggal orang yang berkurban atau beraqiqah.

Misalnya, penduduk Jawa biasa mewakilkan seseorang untuk membeli hewan ternak di Makkah dan menyembelihnya di sana untuk aqiqah atau kurban, meskipun yang melakukan aqiqah atau kurban berada di Jawa. Hal ini dianggap sah dan dibolehkan.

Para Imam dari kalangan Mazhab Syafi’i menyatakan diperbolehkannya mewakilkan atau memberikan wasiat untuk membeli hewan ternak dan menyembelihnya. Dan dianjurkan bagi orang yang berkurban untuk hadir saat penyembelihan hewan kurbannya, namun tidak diwajibkan.

Ulama menyamakan hukum aqiqah dengan kurban kecuali pada beberapa hal yang dikecualikan, dan hal ini bukan termasuk yang dikecualikan, sehingga hukumnya sama dengan kurban dalam hal ini. Mereka juga menjelaskan rincian masalah ini dalam bab wakalah dan ijarah, maka silakan merujuknya.

Rasulullah saw pernah mengirim hadyu [binatang kurban] dari Madinah untuk disembelih di Makkah. Dalam dua kitab sahih disebutkan bahwa Aisyah ra berkata: “Aku memintal kalung hadyu Rasulullah saw dengan tanganku sendiri kemudian Nabi saw mengalungkannya dengan tangannya sendiri kemudian mengirimkannya bersama Abu Bakar RA.”

Secara umum, ucapan para imam mazhab Syafi’i menunjukkan sahnya hal yang disebutkan secara jelas dan implisit dalam teks-teks dan syarah-syarahnya.

“Adapun memindahkan uang dari satu daerah ke daerah lain untuk membeli hewan kurban, hal ini diperbolehkan… dan Rasulullah saw pernah mengirimkan hewan kurban dari Madinah untuk disembelih di Makkah. Dalam dua kitab shahih (Bukhari dan Muslim), Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Aku memintal tali kalung hewan kurban Rasulullah dengan tanganku, kemudian Nabi saw mengalungkannya dengan tangannya sendiri, lalu mengirimkannya bersama Abu Bakar .” Secara keseluruhan, perkataan para imam kami menunjukkan kebenaran apa yang disebutkan baik secara eksplisit maupun implisit, baik dalam teks maupun penjelasannya. Dan Allah Maha Mengetahui. Demikian yang terdapat dalam fatwa dari ulama besar Al-Kurdi yang disebutkan. Dari situ jelaslah maksud dan tujuannya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui.” (Imam Nawawi, al-Idhah fi Manasik al-Hajj wa al-Umrah, Beirut: Darul Basyair al-Islamiyah, 1994], halaman 336)

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *