Agama dan Budaya

Apakah budaya bisa menggantikan agama sebagai saluran spiritualitas (ibadah) manusia kepada Tuhan? C. Joe Arun, antropolog agama dari India, menjawab, tidak bisa. Dalam sejarahnya, budaya tidak pernah menghasilkan agama. Lain halnya dengan agama, ia dapat menghasilkan budaya. Dengan demikian, agama dapat menjadi saluran kelahiran budaya.

Sistem interaksi manusia, aturan hidup, dan pola tatakrama dapat dilahirkan dari agama yang selanjutnya menjadi budaya. Manusia dapat membuat aturan yang dikonstruk dari agama. Manusia dapat menciptakan sistem pendidikan yang dikontsruk dari agama. Akan tetapi, orang tidak dapat menciptakan substansi peribadatan dari alur pikir budaya.

Agama dan budaya harus dipetakan secara jelas, supaya terlihat mana budaya dan mana agama. Kenapa agama dan budaya harus dipetakan secara jelas? Jawabanya, agar tidak keliru dan tertukar substansi keduanya. Sebab, di Indonesia, agama merupakan ranah publik yang diatur juga oleh hukum publik. Salah satunya aturan pelecehan agama diatur oleh KUHP.

Saat ini akar konflik agama lahir dari kekeliruan orang dalam memahami agama dan budaya. Terdapat doktrin yang lahir dari individu non-nabi kemudian diarak secara masal menjadi doktrin komunal dan diaggap sebagai agama. Padahal, yang lebih pantas doktrinh individu non-nabi hanya diposisikan sebagai produk budaya, tidak layak dianggap sebagai doktrin agama. Sebagai contoh, ahmadiyah. Ia lahir dari pikiran individu non-nabi yang ditarik oleh sebuah kekuatan sosial dan politik hingga loncat menjadi agama.

Dalam agama terdapat dua elemen penting, yaitu substansi dan teknis. Terkait substansi manusia tidak bisa ikut campur. Ia hanya urusan Tuhan, yang memberikan agama. Dalam hal teknis, manusia bisa ikut campur. Sebagai contoh hari raya keagamaan. Hari raya keagamaan merupakan teknis yang bisa dibuat oleh manusia. Namun, substansinya tidak bisa digantikan dan direkayasa oleh manusia. Rajaban, umpamanya, kegiatannya tidak bisa hanya diisi dengan kegiatan dangdutan atau nasyidan lalu diklaim secara lantang bahwa itulah substansi rajaban. Rajaban adalah teknis, sedangkan substansinya adalah kegiatan-kegiatan kebaikan, seperti pengajian umum atau zikir bersama.

Pertanyaan selanjutnya, apakah agama dan budaya harus dipertahankan sampai akhir zaman? Jawaban UNESCO, ya, harus dipertahankan, tidak bisa disingkirkan oleh sistem-sistem lainnya. Salah satu program yang diusung oleh UNESCO pada tahun 1999 adalah Culture and Rreligion for Sustainable Future. Agama dan budaya harus tetap ada sebagai bagian dari kehidupan umat manusia.

Paling tidak ada dua lasan. Pertama, sampai saat ini manusia masih membutuhkan agama. Kegiatan-kegiatan keagamaan tidak pernah surut dari waktu ke waktu, bahkan di beberapa kawasan di Indonesia, juga belahan dunia Muslim lainnya, mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Kedua, agama dapat menjawab hal-hal keakhiratan yang menjadi bagian dari rasa ingin tahu manusia. Hal-hal keakhiratan tidak bisa dijawab dan dipenuhi oleh teknologi dan sains, walaupun para penganut sainstologi mengklaim bahwa urusan akhirat akan bisa terjawab dan terpetakan secara clear oleh sains, seperti clear-nya urusan tata surya yang dipetakan dan dijelaskan secara rinci oleh sains.

Saya yakin, agama dan  budaya tidak akan hilang ditelan zaman. Namun, keduanya jangan sampai pacorok kokod, tumpang tindih. Agama posisikan sebagai agama, budaya posisikan sebagai budaya. Harus dipertegas mana garis putih agama dan budaya. Sebuah budaya tidak bisa digiring oleh untuk diklaim sebagai agama, sebab beresiko memancing konflik sosial dan mengundang pertengkaran. Budaya yang saya maksud di sini adalah buah pikiran atau nalar manusia.

Tampaknya, benturan massa akibat Ahmadiyah pun adalah dikarenakan tidak tepatnya kita menempatkan mana yang seharusnya menjadi agama dan mana yang seharusnya menjadi budaya. Ahmadiyah sebagai produk pemikiran individu seharusnya menjadi produk budaya, tidak lantas diangkat ke level lebih jauh sebagai agama.

Memang, ada satu hal yang sangat penting dalam agama. Daya tarik agama sangat tinggi. Penyebutan dan pengaitan sesuatu kepada agama sangat seksi. Suatu pemikiran yang dikatakan sebagai agama memiliki wibawa yang cukup luhur. Labeling agama dapat mendongkrak kekuatan pikiran individu, sehingga tidak akan kesulitan mencari respon positif dari masyarakat. Dalam hal ini, label agama memiliki hubungan erat dengan kepentingan eksistensi. Kalau tidak menggunakan istilah agama kurang greget.

Deddy Ismatullah, Guru Besar Hukum Tata Negara, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Sumber, Pikiran Rakyat 15 Mei 2013

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter