Umrah dan Optimisme

Dalam kesempatan membimbing thawaf sunat dan qiyamul lail, di hadapan Ka’bah al-musyarrofah, penulis pernah bertanya perihal motivasi dan manfaat ibadah umrah pada seorang ibu yang belakangan diketahui begitu sering menunaikannya. “Iman manusia itu ibarat baterei telepon genggam, setiap kali lowbat, maka ia harus segera dicharge”, begitulah sang ibu itu menjawab. Baginya umrah adalah ibadah yang bisa membangkitkan kembali energi iman, darinya terpancar harapan dan semangat baru serta optimisme untuk menghadapi segala kenyataan hidup.

Seketika penulis teringat pada Khabab bin Al Arat, seorang budak muslim yang memiliki majikan bengis dan benci terhadap Rasululllah. Ia begitu putus asa dan pesimis menghadapi masa depannya. Ia mendamba segera bebas dari penderitaan dan penyiksaan majikannya. Ketika sedang berbaring dengan berbantalkan selimut di depan ka’bah, Khabab dan kawan-kawan sesama budak lainnya berkata kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah tidakkah Engkau memintakan kemenangan untuk kami? tidakah Engkau berdoa kepada Allah untuk kami”.  Baginda Nabi menjawab, “Sebelum kalian, dulu ada seorang soleh yang dikubur hidup-hidup, lalu diletakan gergaji di atas kepalanya, hingga kepala itu terbelah menjadi dua; namun ia tidak berpaling sedikitpun dari agama. Yang lainnya, ada yang disisir tubuhnya dengan sisir besi, hinga tidak tersisa sedikitpun daging dan urat yang menempel pada tulangnya. Hal itupun tidak membuatnya berpaling dari agama”.  

Melalui jawaban ini Rasulullah menegaskan kepada Khabab,  bahwa dalam keadaan umat Islam minoritas dan belum mempunyai kekuasaan, betapa banyak para budak mendapat penyiksaan sangat bengis. Namun diujung kematiannya sekialipun, mereka tidak putus asa atas rahmat Allah. Kepada Khabab dan kawan-kawannnya, Rasulullah berpesan, bahwa ketika menghadapi beban kehidupan, tetaplah besabar menghadapi kenyataan, istiqomahlah dalam beragama, dan yang terpenting optimislah dalam menanatap masa depan. 

Optimisme adalah kunci kemenangan peradaban Islam, sedangkan pesimisme adalah awal kekalahan. Ketika optimisme hadir menjadi ruh kehidupan, maka terbukalah pintu-pintu kemenangan. Namun jika sebaliknya, manakala tunduk pada pesismisme, lesu darah menghadapi tantangan dan putus asa menghadapi kenyataan, maka terbukalah pintu-pintu kekalahan. Karena itu, banginda Ibrahin As, sebagaimana diabadikan dalam surat Al-Hijr ayat 56,  Berpesan, “Dan tidaklah berputus asa dari rahmat Rabb-nya, selain orang-orang yang sesat”. 

Pesimisme menurut Ibrahim adalah indikasi orang-orang sesat, sebaliknya optimisme adalah indikasi orang beriman. Optimisme adalah rahasia keberhasilan di balik setiap perjuangan. Darinya lahir keyakinan yang kokoh bahwa Allah senantiasa menyertai. Dalam keyakinan ini, sabar akan menjadi pilihan dan pegangan. Dalam surat An-Nahl; 127 Allah berfirman, “bersabarlah (Muhammad), dan tidaklah kesabaranmu itu, melainkan dengan pertolongan Allah. Dan janganlah engkau bersedih atas (keingkaran) mereka, dan janganlah sesak dadamu atas tipu daya mereka”.

Dari keyakinan yang kokoh akan lahir kesadaran yang holistik bahwa Allah memiliki skenario terbaik bagi setiap hambanya. Dalam sudut pandang pesimistik, bisa jadi kesulitan yang menjadi beban hidup adalah awal penderitaan. Namun dalam sudut pandang optmistik, ia justru menjadi sekolah yang melatihnya menjadi pribadi yang tangguh. Dalam hal ini Allah mengisyaratkan; “Diwajikan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak menetahui (Al-Baqarah: 216). Dalam kesadaran ini pula, terbentanglah harapan bahwa fainna ma’al ‘usri yusra, bersama keseluitan itu Allah menyediakan kemudahan, karena inna ma’al ‘usri yusra, bersama kesulitan itu ada kemudahan. Berikutnya, dari kesadaran yang holistik ini akan lahirlah amaliah yang konstruktif, yakni sejumlah langkah-langkah positif yang berpegang pada pandangan, “jangan terlalu fokus tentang apa yang akan dicapai tetapi fokuslah tentang apa yang bisa dikerjakan”. Buah dari langkah-langkah positif ini adalah tercapainya hasil yang diinginkan.

Jika iman ibarat baterei telephon genggam yang seringkali lowbat, maka umrah adalah upaya ngecharge keimanan untuk tetap menyala. Darinya, akan terbangun keyakinan kokoh, kesadaran holistik, dan amaliah konstruktif. Buahnya, lahirlah harapan baru dan optimisme dalam menapaki hidup dan menatap masa depan. Selamat mencoba. []

Aang Ridwan adalah pembimbing Haji Plus dan Umroh Khalifah Tour dan Aktif Sebagai Sekretaris Jurusan Komunikasi dan penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung

 

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter