Sebanyak 195 Mahasiswa SPI-FAH Berlomba Menulis Jurnal

(UINSGD.AC.ID) Sebanyak 195 mahasiswa semester tiga, Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI), Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), UIN SGD Bandung, berlomba membuat artikel jurnal, yang bertemakan “Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Perseptif Sejarah”.  Karya ilmiah mereka akan dipublikaskan di semua jurnal Sejarah Peradaban Islam, Jurnal Ilmu Sejarah, dan Jurnal Pendidikan Sejarah.

Demikian kira-kira kesimpulan dari sambutan Ketua Jurusan SPI Dr Samsudin, M.Ag dalam Webinar “Moderasi Islam dan Pembukaan Program Praktikum Jurusan SPI Tahun 2021”, Rabu (29/09/2021). Webinar dibuka oleh Dekan FAH UIN SGD Dr H Setia Gumilar, M.Si, sekaligus sebagai keynote speaker.

Webinar terbagi menjadi dua sesi, dengan materi “Gagasan Islam Moderat Dalam Perspektif Sejarah” oleh Dr R Muhammad Mulyadi, M.Hum (Unpad); “Moderatisme dalam Tafsir Keagamaan Islam” oleh Dr Dadan Rusmana, M.Ag, CHS (UIN SGD); “Potret Islam Moderat di Australia” oleh Wina Sumiati, M.A (UIN SGD); “Arah dan Tujuan Praktikum SPI 2021” oleh Drs Tarpin, M.Ag (UIN SGD); dan “Teknis Pelaksanaan Praktikum dan Submit Jurnal”  oleh Fathia Lestari, MA (UIN SGD).

“Kita melatih mahasiswa semester tiga untuk membongkar fakta-fakta sejarah melalui praktikum mata kuliah Sejarah Pemikiran, Modernisasi dalam Islam, dan Filsafat Ilmu. Gagasan-gagasan mereka dicurahkan ke dalam bentuk tulisan ilmiah yang bergaya selingkung jurnal,” jelasnya.

Dr samsudin –dengan dibantu sekretaris Dr Widiati Isana, M.Ag—terus melatih mahasiswa untuk berwaca dan menulis. Tulisan yang bagus, akan dipublikasikan di jurnal-jurnal bereputasi nasional. Publikasi menjadi hal penting, karena mahasiswa dituntut untuk bertanggung jawab dan berhati-hati dalam menulis karya ilmiah, tidak terjebak pada tulisan fiktif dan plagiat.  

Dekan Setia sangat mendukung gagasan praktikum mahasiswa untuk membongkar fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan  moderasi beragama. Terlebih moderasi beragama itu sudah menjadi kebijakan Pemerintah, juga kebijakan UIN SGD Bandung. Munculnya kebijakan ini, karena disinyalir ada sebagian prilaku keagamaan yang ekstrem dan radikal, sehingga bisa mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara.  

Moderasi beragama sebagai sikap “siger tengah” (Sunda) diyakini bisa menjadi piranti bagi negeri ini agar kondusif, terhindar dari prilaku permusuhan, kebencian, dan pertikaian. Menurut Dekan, secara historis Rasulullah SAW telah memberikan keteladanan saat mendakwahkan agama Islam di tanah Arab. Beliau menggunakan cara-cara yang sangat moderat, tidak ekstrem atau radikal.

Termasuk ketika agama Islam masuk ke Indonesia, disebarkan oleh Walisongo, sangat moderat, melalui akulturasi nilai-nilai lokal. “Dakwah dengan akulturasi budaya lokal ternyata hasilnya sangat dahsyat, sehingga Islam menjadi rahmatan lil alamin,” katanya.

Sikap moderat juga ditunjukkan oleh tokoh-tokoh Islam saat menentukan dasar Negara “Pancasila”. Secara perspetif historis, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hadir dengan moderasi beragama. “Hanya, jangan sekali-kali dibawa ke ranah politik, nantinya moderasi beragama menjadi hilang,” tegas Dekan. [nanang sungkawa]

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter