Santri itu Keren!

(UINSGD.AC.ID) — Dalam ranah pendidikan, santri dimaknai sebagai individu atau kelompok yang sedang belajar di Pesantren atau Ma’had. Oleh karena itu, seorang santri sering disebut bersama pesantrennya atau kyai-nya, misal “Ia adalah salah santri Pesantren A…” atau “Ia adalah santrinya dari Kyai….”. Dalam kategori ini, mereka yang belajar di tempat lain, baik sekolah atau madrasah, seringkali dipanggil dengan sebutan siswa atau murid.

Acapkali, seorang akan merasa bangga disebut sebagai santri Pesantren atau kyai yang terkenal atau disegani. Terlebih jika seorang santri disebut-sebut sebagai “kesayangan, kepercayaan, atau sekpri”nya Pa Kyai. Bahagia sekali, swear.

Dalam konteks sosio-religius, santri mengacu kelas sosial menengah yang memiliki karakteristik religius yang cukup kental. Terma ini sering dibedakan dengan kelompok sosio-religius lainnya, yakni abangan, selain juga sering dibedakan dengan priyayi (misal dalam Religion of Java, Clifford Geertz). Kelompok santri ini tidak lagi mengacu pada status “pelajar”, tetapi pada identitas formal kerekatan seseorang terhadap intelektualisme keagamaan dan ketaatan terhadap ibadah formal. Untuk mendapatkan kelas santri pada konteks sosio-religius ini tidak perlu nyantri di pesantren dulu, namun ia serta merta akan digolongkan santri, kalau secara keseharian memiliki kerekatan dan ketaatan dengan ibadah formal dalam kesehariannya.

Tidak sedikit juga, penamaan santri dilekatkan sebagai identitas ideologi-politik, yakni mereka yang secara ideologis dekat dengan kalangan santri dan pesantren, atau mewakili pengusung nilai-nilai religius tertentu. Misalnya, kata santri seringkali ditulis sebagai identitas calon eksekutif atau legislatif.

Keberadaan santri pada kategori pertama, jelas dibutuhkan. Karena mereka diproyeksikan sebagai calon pelaku sejarah dan pemimpin di masa depan. Mereka merupakan bagian dari “the breeding of future leader”, “transmission of canonical knowledge”, atau “The guidances of Mainstream tradition”. Posisi dan peran mereka cukup signifikan.

Demikan pula dengan santri pada kategori kedua dan ketiga pun dibutuhkan sebagai “agent” untuk pengarusutamaan nilai-nilai religius subtantif dalam keseharian. Keberadannya sebagai “Representation of Islamic face” dapat menjadi cerminan dari implementatof nilai-nilai keberislaman”.

Hanya saja, seringkali identitas religius hanya baru tampak dalam formalitas identitas, dan sedikit yang menyentuh persoalan substantif. Dalam dimensi ini, “Agama hendaklah menjadi inspirasi, bukan aspirasi; karena nilai-nilai keagamaan bersifat universal dan rahmatan lil’âlamîn.

Dr. Dadan Rusmana, M.Ag., Wakil Rektor I UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *