Pejuang al Qassam, Palestina dan Tanah Airnya

(UINSGD.AC.ID) — “Indonesia tanah airku”, atau “dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Bagaimana kita memaknainya? Pada dua kalimat ini kita seolah menemukan adanya “diri” atau “subjek” yang melebur dan keluar menyatu dengan objek di luar diri.

Frasa “Indonesia” sebenarnya adalah realitas asing bagi diri. Tapi ia mengalami pergeseran makna ketika bermetamorfosa menjadi “tanah airku”. Indonesia yang ditahbis sebagai tanah airku kemudian dipahami sebagai wilayah perluasan atau perpanjang diri.

Subjek yang “memanjang” atau “meluas” adalah subjek yang menampik dualisme Cartesian yang mempermaklumkan adanya disparitas subjek dan objek. “Indonesia sebagai tanah airku” meneguhkan kesatuan dan bahwa realitas di luar diri (subjek) sebenarnya adalah diri yang lain (subjek juga).

Begitupun di pernyataan “dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Di pernyataan ini, kita seumpama menemukan kesetiaan dan adanya indikasi tentang subjek yang siap “meleleh” untuk bumi yang dipijaknya, di bawah langit manapun dia berada. Bumi yang dipijak adalah dirinya juga. Perpanjangan dirinya sebagai subjek. Itulah barangkali yang mendorong hasrat untuk merdeka dari para pejuang kemerdekaan tanah air dahulu. Mereka siap mati demi kemerdekaan ibu pertiwi.

Ini juga mungkin yang bergolak di benak para pejuang Brigade al Qassam. Palestina adalah tanah air yang bertahun-tahun dianeksasi oleh Zionist. Tak hanya aneksasi tapi martabat dan identitas Palestina sebagai sebuah bangsa dilecehkan..

Bagi para pejuang Hamas, Palestina bukan sekadar tanah atau wilayah tapi juga “perluasan diri” yang harus dipertahankan. Sudah terlalu lama Israel menista Al Aqsa dan Yerusalem. Keduanya bukan hanya disebut sebagai tempat tersuci ketiga buat umat Islam, tapi juga simbol identitas nasional Palestina dengan segala kemajemukannya.

Serangan besar-besaran yang dilakukan para pejuang al Qassam seumpama ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka masih ada untuk Palestina, sebagai tanah airnya. Tumpah darah seolah tak menjadi masalah karena hidup dan mati mereka adalah untuk negeri, untuk tanah yang adalah dirinya sendiri.[]

Dr. Radea Juli A. Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *