Moderat Itu “Kau adalah Aku yang Lain”

(UINSGD.AC.ID) Salahsatu tantangan beragama pada era revolusi industry 4.0 adalah menguatnya radikalisme agama, baik secara  tekstual, simbolik, klaim kebenaran tunggal, penolakan atas perbedaan, maupun soal identitas.

Sebagai umat muslim, khusunya mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN SGD Bandung, penting memiliki pengetahuan dan pemahaman yang benar dan mendalam tentang syariat Islam; mampu mengendalikan emosi; serta meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian.

Demikian penegasan Prof Dr H Nurwadjah Ahmad, EQ, MA (pemerhati moderasi beragama) saat menjadi narasumber pada acara workshop “Moderasi Beragama Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora”, yang digelar secara hybrid di Puri Khatulistiwa, Sumedang, Kamis (25/11/2021).

Menurut Prof  Nurwadjah, mahasiswa FAH harus tanggap, pahami bagaimana Islam dimaknai dan dipraktikkan di bagian lain dunia. Pahami juga, bagaimana Islam dimaknai dan beradaptasi dengan unsur kearifan dan budaya lokal. Yang paling penting, mahasiswa harus memiliki perspektif yang moderat (tidak ekstrem, tidak liberal)

Sebagai kaum milenial, mahasiswa harus paham bahwa Indonesia adalah negara dengan beragam agama dan kepercayaan, juga madzhab dan aliran.  Terkait dengan derasnya arus informasi, dihadapkan pada kesulitan menyaring, mana yang shahih (valid) dan mana yang tidak? Konten dakwah online pun didominasi oleh kelompok yang cenderung eksklusif terhadap muslim lain yang tidak sepaham. Kiai yang mumpuni kalah tenar oleh ustadz/ustadzah baru dari kalangan artis.

“Ingat bahwa tujuan beragama itu agar kita mampu menjadikan agama sebagai anugerah bagi alam semesta (rahmatan lil alamin); negara menjadi makmur (baldatun thayyibah); tercipta masyarakat ideal (khaira ummah), dan keluarga sakinah (muslih/muslihah),” ujar Prof Nurwadjah.

Ditanya, mengapa moderasi beragama penting? Prof Nurwadjah mengatakan, sebagai umat Islam harus menyadari bahwa perbedaan adalah sunatullah; keanekaragaman adalah fitrah bangsa; Pancasila itu adalah cermin nilai asli masyarakat; dan bangsa Indonesia adalah beragama.

Setiap individu, apapun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya harus mau saling mendengarkan satu sala lain; serta saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan pemahaman keagamaan di antara mereka. Ada empat indikator moderasi beragama: komitmen kebangsaan, toleransi,  antikekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal.

“Kita harus mengajarkan agama secara ramah, toleran dan menghargai keberagaman. Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan prilaku selalu mengambil posisi tengah-tengah, selalu bertindak adil, berimbang, dan tidak ekstrem dalam praktik beragama,” jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dr KH Husen Muhammad (pendiri Forum Lintas Iman) mempertegas makna “rahmat” sebagai kepekaan hati, tidak sekadar simpati tetapi juga empati yang memperlakukan orang seperti keinginan dirinya diperlakukan orang lain. “Kau adalah aku yang lain,” katanya.

“Rahmat” juga dimaknai sebagai kelembutan (kata, sikap, dan prilaku). Lalu memaafkan kesalahan orang lain, tidak membalas kemarahan dan kemarahan. “Ini dibuktikan dengan keberhasilan Nabi Muhammad SAW ketika mendakwahkan Islam,” jelas pengasuh Ponpes Dar al-Fikr Arjawinangun, Cirebon ini.[nanang sungkawa]    

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *