Massifikasi Pendidikan Tinggi

(UINSGD.AC.ID) — Setidaknya dalam dekade terakhir, pendidikan tinggi mengalami peralihan paradigma dalam penyelenggaraannya. Yakni, peralihan dari model institusi pendidikan tinggi yang elit menjadi massal, dari skala kecil menjadi skala besar, dari sistem akademik yang seragam ke sistem akademik yang beragam, dan dari orientasi akademik ke kepentingan korporatisme.

Inilah yang disebut oleh para ahli pendidikan tinggi sebagai “massifikasi pendidikan tinggi” (massification of higher education). Ini merupakan upaya untuk menciptakan sistem pendidikan tinggi massal dengan berbagai jenis lembaga pendidikan yang melayani beragam segmen masyarakat dengan fasilitas, tujuan, dan staf akademik yang beragam pula (Philip Altbach 2008).

Perubahan ini jelas sedang dan telah terjadi pula di Indonesia. Dalam upaya merespon dan beradaptasi dengan globalisasi dan tuntutan pasar, lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, baik milik swasta maupun milik pemerintah, telah menjadikan massifikasi sebagai paradigma baru dalam penyelenggaraan lembaga mereka. Mereka menerapkan massifikasi sebagai bagian utama dari rencana strategis pengembangan kampus-kampus mereka.

Massifikasi pendidikan tinggi utamanya ditandai oleh ekspansi lembaga pendidikan tinggi untuk meraih mahasiswa sebanyak-banyaknya dari berbagai segmen dan latar-belakang sosial. Terjadi peningkatan dramatis dalam jumlah dan jenis lembaga pendidikan tinggi dengan berbagai tujuan dan sasaran.

Begitu banyak program studi dan jurusan untuk jenjang S1 dan di bawahnya dibuka oleh berbagai lembaga tinggi mulai dari akademi, sekolah tinggi, hingga universitas. Kini, secara keseluruhan terdapat sekitar 4600 perguruan tinggi di Indonesia. Sebagian besarnya adalah perguruan tinggi swasta (sekitar 68%) dan sisanya merupakan perguruan tinggi negeri (sekitar 32%).

Dengan paradigma massifikasi, tidak sedikit perguruan tinggi membuka “kelas jauh” bukan hanya di luar kota, melainkan juga di luar pulau. Akhir-akhir ini “kelas jauh” ini memang berkurang atau ‘tiarap’ setelah Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dan kementrian lain yang menyelanggarakan pendidikan tinggi seperti Kementrian Agama melakukan pengawasan dan ancaman penutupan.

Pada kenyataanya, lembaga pendidikan tinggi dengan paradigma massifikasi berorientasi pada pengajaran dan pelatihan praktis (vocational) pada program studi dan bidang-bidang yang memiliki kaitan erat dengan pasar kerja dan industri. Pandangan bahwa perguruan tinggi harus memproduksi lulusan yang siap-pakai di dunia kerja sudah menjadi ideologi di kalangan penyelenggara pendidikan tinggi.

Selain itu, dengan paradigma massifikasi banyak perguruan tinggi membuka berbagai program master dan doktoral. Dengan persyaratan masuk yang relatif longgar, mereka menerima banyak mahasiswa dengan dalih membuka peluang bagi masyarakat seluas-luasnya untuk meneruskan pendidikan mereka ke jenjang pascarsarjana.

Dampak Massifikasi
Tidak perlu dibantah lagi bahwa massifikasi pendidikan tinggi memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Utamanya, ia membuka lebih banyak kesempatan untuk akses ke perguruan tinggi bagi calon-calon mahasiswa dari berbagai latar belakang sosial, terutama bagi mereka dari pedesaan, kelas ekonomi bawah dan kelompok-kelompok pinggiran lainnya. Dalam hal ini, perguruan tinggi menjalankan perannya sebagai pendidik masyarakat dengan asas kesamaan akses (equity of access) bagi semua warga negara.

Namun, massifikasi pendidikan tinggi menimbulkan dampak serius bagi kinerja lembaga pendidikan tinggi. Dapatlah dimaklumi kalau massifikasi diterapkan pada jenjang S1 dan di bawahnya dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja yang membutuhkan lulusan yang siap-pakai di industri dan bisnis. Mungkin juga kita bisa menerima bila ia diterapkan pada program master demi membuka lebih banyak akses bagi masyarakat untuk meningkatkan ilmu dan skill praktisnya.

Masalahnya, massifikasi yang diterapkan pada program doktoral dapat menghasilkan akibat yang mengerikan. Banyak perguruan tinggi menetapkan entry requirements (persyaratan masuk) yang rendah atau longgar bagi calon mahasiswa S3. Misalnya, tidak mensyaratkan kemampuan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Kalaupun mensyaratkan, skor bahasa Inggris yang diminta rendah atau bahkan sering dilanggar sendiri oleh perguruan tinggi atau ‘diakali’ oleh calon mahasiswa. Tidak pula disyaratkan bahwa calon mahasiswa S3 harus memiliki pengalaman riset yang cukup pada program master mereka.
Ditambah lagi persoalan kualitas bimbingan penulisan disertasi dan fasilitas yang seadanya saja bagi mahasiswa S3. Terutama, perpustakaan, laboratorium dan intellectual environment yang ada umumnya masih jauh dari standar internasional.

Dengan massifikasi ini, banyak perguruan tinggi berhasil memproduksi lebih banyak doktor, tetapi doktor “massal-pabrikan” yang mutu mereka dipertanyakan atau dalam kasus-kasus tertentu mereka adalah “doktor bodong” sebagaimana disebut oleh Acep Iwan Saidi (Kompas, 17 Nopember 2015). Juga, tidaklah mengherankan dalam banyak kasus, penampilan profesor atau dosen Indonesia produksi perguruan tinggi Indonesia tampak “compang-camping” di forum-forum ilmiah internasional seperti ditengarai oleh Agus Suwignyo (Kompas, 6 Nopember 2015).

Persoalan lainnya dari massifikasi pendidikan tinggi adalah karena berorientasi pada pengajaran, penelitian tidak menjadi perhatian utama atau setidaknya terabaikan. Pemimpin perguruan tinggi tidak menempatkan penelitian sebagai bagian utama dari kebijakan mereka dan rencana strategis pengembangan lembaga mereka. Atau seandainya dimasukkan, itupun belum dapat diimplementasikan dengan baik. Hal ini bukan saja terjadi pada program-program reguler, melainkan juga pada program global class yang dibuka oleh perguruan tinggi tertentu.

Orientasi pada pengajaran dan pelatihan untuk memproduki lulusan siap kerja tampaknya telah membuat pihak manajemen perguruan tinggi tidak mampu melihat dengan baik peluang-peluang penelitian yang sebenarnya menguntungkan secara finansial di samping memiliki kontribusi bagi pengembangan ilmu dan peningkatan reputasi lembaga mereka di dunia internasional.

Akibatnya, kinerja dosen umumnya dibebani dengan jam mengajar yang banyak, terkadang mencapai lebih dari 12 SKS yang setara dengan sekitar 7 jam per hari atau 36 jam per minggu (skema 5 hari kerja). Bisa dibayangkan betapa habis waktu kerja dosen dalam seharinya untuk mengajar banyak mahasiswa. Dosen dan profesor adalah manusia juga. Dengan tugas mengajar sebanyak ini sangatlah berat bagi dosen dan profesor untuk bisa menghasilkan penelitian yang berkualitas dan menulis karya-karya ilmiah yang layak terbit di jurnal-jurnal dengan reputasi internasional. Dengan sedikitnya waktu untuk meneliti dan menulis, yang mampu mereka lakukan adalah meneliti alakadarnya dan menulis apa adanya di jurnal-jurnal terbitan kampus masing-masing, jurnal-jurnal nasional terakreditasi atau tidak, atau jurnal-jurnal internasional abal-abal.

Akhirnya, jelaslah bahwa tidak adil bila nestapa perguruan tinggi Indonesia di dunia internasional dialamatkan penyebabnya semata kepada dosen/profesor dan pemerintah, apalagi hanya kepada dosen/profesor. Lembaga pendidikan tinggi nasional dengan massifikasi sebagai paradigma yang dianutnya ternyata telah memberikan andil besar bagi rendahnya reputasi dan visibilitas perguruan tinggi Indonesia di kancah dunia. Sistem dan kebijakan yang dijalankan lembaga pendidikan tinggi kita ternyata telah berkontribusi bagi rendahnya kinerja dosen dan profesor yang diproduksi dan dipekerjakannya.

Massifikasi-Cum-Riset
Untuk mengatasi “sisi gelap” massifikasi pendidikan tinggi, perlu adanya pembenahan sistem lembaga pendidikan tinggi yang ada. Yakni, dengan menerapkan sistem baru dengan paradigma massifikasi-cum-riset. Sistem ini akan menempatkan penelitian dan publikasi karya ilmiah secara internasional sebagai bagian dan sasaran utama dari rencana strategis dan operasionalnya.

Tentu saja, sistem baru ini mesti dirancang untuk tidak mengecilkan peran aspek pengajaran dan pelatihan untuk memproduksi lulusan siap-pakai di pasar kerja.

Asep Muhamad Iqbal, Direktur Centre for Asian Social Science Research (CASSR)

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *