Korban Teriak Maling dan Defisit Kepercayaan Publik

(UINSGD.AC.ID)-Ruang lini masa kita kembali dihampiri berita korban pengeroyokan. Belum usai kasus yang menimpa kakek Wiyanto Halim yang tewas setelah diteriaki maling, muncul kasus-kasus lain. Terbaru teriakan maling kembali menelan korban seorang remaja berinisial LEH (16) yang tewas setelah diteriaki maling oleh sekelompok orang yang sedang nongkrong di sebuah kafe di kawasan Bekasi (detikcom, 9/2).

Kasus tersebut mungkin hanya beberapa di antara banyak kejadian yang tertangkap media dan menjadi berita publik. Di luaran sana sangat mungkin banyak terjadi kasus serupa yang luput dalam sorotan publik.

Dalam kasus-kasus tadi terdapat sebuah pola yang berlangsung, yakni pelibatan massa untuk menyelesaikan permasalahan di tengah-tengah masyarakat kita. Alih-alih menyerahkannya ke institusi resmi seperti kepolisian, masyarakat lebih memilih memprovokasi dan memobilisasi massa dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.

Dalam logika yang sama, penggunaan massa sebagai aktor penyelesai masalah dapat kita temukan dalam kasus lain, misalnya dalam perselisihan yang terjadi antara sekelompok driver ojek online dengan konsumen atau resto yang bermasalah dengan sesama pengemudi online lainnya. Demikian juga dengan pengerahan massa yang dilakukan sebuah ormas dalam menyuarakan aspirasinya seperti yang terjadi dalam demo berujung ricuh di kantor Kapolda Jabar beberapa waktu lalu.

Pertanyaannya, kenapa pelibatan massa dipilih masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya?

Gustave Le Bon, seorang psikolog sosial, mengkaji tentang perilaku kerumunan sebagaimana dijelaskannya dalam bukunya berjudul The Crowd: A Study Populer Mind (1896). Kajian ini memotret kemunculan perilaku sekumpulan orang yang disebut crowd sebagai respons terhadap ketidakpastian yang terjadi pada waktu terjadinya revolusi di Prancis.

Revolusi Prancis mengakibatkan perubahan besar dan membawa masyarakat hidup dalam transisi dari satu tatanan lama yang ditinggalkan menuju tatanan baru yang belum sepenuhnya terbentuk dengan sempurna. Situasi transisi ini menjadikan masyarakat hidup di tengah ketidakpastian aturan, nilai, hingga panduan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.

Dalam situasi seperti itu masyarakat merespons berbagai permasalahan dengan perilaku yang terbentuk secara spontan yang disebut Le Bon sebagai crowd behavior. Perilaku ini muncul seiring meningginya sikap irasionalitas, emosionalitas, dan peniruan antarindividu.

Meminjam penjelasan teoritis dari Le Bon tadi, kekerasan kolektif seperti pengeroyokan yang terjadi akhir-akhir ini juga muncul seiring meningginya sikap irasionalitas, emosionalitas, dan peniruan antarindividu. Mereka yang tergabung dalam tindakan pengeroyokan terlibat karena dorongan logika spontan melalui mekanisme tersulut lewat peniruan emosionalitas sesaat hingga terbentuk emosionalitas dan irasionalitas bersama menjadi peristiwa pengeroyokan.

Teriakan maling, dalam hal ini, memicu terbentuknya tindakan pengeroyokan dan menjadi seperti api yang demikian cepat membakar emosi membentuk tindakan kekerasan bersama. Saat satu orang berteriak maling, tanpa dikomando, yang lain mengikutinya tanpa pernah tahu duduk perkara dan alasan di balik tindakannya itu.

Defisit Kepercayaan

Pilihan untuk menyelesaikan persoalan sendiri oleh masyarakat seperti tindakan pengeroyokan menjadi isyarat terjadinya defisit kepercayaan publik terhadap tatanan politik, ekonomi, agama, dan sosial. Dalam sebuah riset yang dilakukan lembaga survei Indikator Politik Indonesia (IPI) terkait tingkat kepercayaan publik terhadap institusi negara, ditunjukkan adanya penurunan drastis kepercayaan publik terhadap institusi Polri ((hasil survei IPI, November 2021).

Pesimisme masyarakat terhadap lembaga negara atau pemerintah berujung tindakan main hakim sendiri. Hal ini semakin diperburuk dengan ketidakpastian ekonomi dan sosial yang diakibatkan terjadinya pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.

Kasus tindakan pengeroyokan merupakan wujud ekspresi dari crowd behavior yang lahir dari suatu kondisi ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Masyarakat seperti tidak menghiraukan lagi keberadaan institusi resmi yang sejatinya berwenang menangani persoalan-persoalan publik yang terjadi.

Tentu saja, ini merupakan tantangan agar negara dapat hadir dalam persoalan yang terjadi di ruang publik kita. Kasus pengeroyokan yang marak selama ini mesti dijadikan sinyal defisitnya kepercayaan publik yang harus direspons semua pihak baik negara, para pemimpin agama, dan tokoh masyarakat sehingga pengeroyokan tidak jadi mekanisme dan norma sosial yang diambil oleh masyarakat dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.

Dede Syarif sosiolog UIN Bandung
Sumber, Kolom detikNews 23 Februari 2022

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *