Kepemimpinan Akademik vs Kepemimpinan Managerial

(UINSGD.AC.ID) — Meskipun weekend. Masih punya tanggung jawab akademik. Mengajar empat kelas di Pascasarjana. Diantara mata kuliah yang diampu adalah Study Naskah Bahasa Inggris. Di kelas Manajemen Pendidikan Islam. Memang, kurang relevan dengan bidang ilmu yang menjadi expertise saya. Tapi saya terima. Mudah-mudahan bisa belajar banyak. Menambah ilmu baru. Dari bacaan-bacaan tentang disiplin ilmu ini. Kelas lainnya berhubungan dengan disiplin ilmu yang saya tekuni.

Saya akan cerita terkait kuliah weekend ini, di kelas study naskah. Setelah tiga minggu pertama memberikan materi teori. Tentang bagaimana teknis memahami naskah akademik berbahasa Inggris. Teori dasar bagaimana pembaca bisa menentukan subyek dan predikat (verb) sebuah kalimat sangat saya tekankan. Untuk memahami teks, seorang pembaca harus tahu kalimat utamanya. Pemahaman atas kalimat utama bisa membantu pembaca memahami makna sebuah paragraph. Kalau di pesantren ada pelajaran ngalogat kitab kuning. Maka pada kuliah ini saya meminta mereka ngalogat ‘kitab putih’. Menentukan mubtada khabar, menentukan fiil fail tapi pada konteks naskah berbahasa Inggris. Menentukan subject dan verb. Menentukan main sentence. Menentukan anak kalimat dan seterusnya. Sampai pembaca memahami betul apa makna utama paragraph yang dibaca.

Materi selanjutnya yang saya berikan adalah bagaimana cara mereview sebuah artikel. Saya ingin para mahasiswa. Tidak hanya bisa membaca dan memahami teks. Tapi juga bisa membuat semacam article review. Dan mempresentasikannya dihadapan teman-teman mahasiswa yang lain. Mempresentasikan hasil bacaan, apa ide utamanya. Mengomentari dan mengkritisi apa kelebihan dan kekurangan artikel. Menganalisa apa kontribusi artikel tersebut bagi disiplin ilmu manajemen Pendidikan.

Weekend ini bagian mereka mereview sebuah artikel. Sebelum mereview artikel presenters diminta mempraktekan membaca satu atau dua paragraph. Mahasiswa diminta menentukan mana subyek dan verb sebuah kalimat. Setelah praktek membaca, baru mereka mempresentasikan hasil review artikel di sebuah jurnal yang berhubungan dengan disiplin ilmu para mahasiswa..

Artikel yang dipresentasikan minggu ini berjudul Management and Leadership in the Contemporary University. Meskipun artikelnya ditulis sudah lama (2004). Tetapi isinya saya kira masih relevan. Bisa dikontekstualisasikan dengan kepemimpinan di kampus-kampus masa kini. Termasuk di kampus-kampus berlabel Islam, PTKI di Indonesia.

Diantara argument utama artikel ini adalah adanya berbagai model kepemimpinan di perguruan tinggi. Jill Yielder dan Andrew Codling, penulis artikel ini, mencoba mendiskusikan dan menawarkan sebuah model kepemimpinan di perguruan tinggi. Tawaran model kepemimpinan itu, mereka sebut sebagai a shared leadership model. Berdasarkan riset yang mereka lakukan, model ini merupakan model kombinasi dari dua model kepemimpinan perguruan tinggi yang selama ini ada.

Pada bagian teoritis, penulisnya menyebutkan bahwa dalam sejarah kepemimpinan perguruan tinggi ada shifting paradigm dari kepemimpinan traditional ke kepemimpinan modern. Jika kepemimpinan traditional lebih menekankan kepemimpinan akademik atau leadership academic di sebuah perguruan tinggi. Maka model yang baru lebih menekankan pada kepemimpinan manajerial yang mereka istilahkan sebagai leadership managerial.

Dua jenis kepemimpinan ini, menurut penulis artikel, perlu dikombinasikan demi kemajuan sebuah perguruan tinggi. Apa perbedaan utama dari leadership academic dan leadership managerial? Pembahasan artikel ini lebih jauh menyebutkan bahwa perguruan tinggi yang menerapkan leadership academic maka salah satu karakteristiknya adalah yang menjadi rektor, atau apapun sebutannya bagi pimpinan di perguruan tinggi, bisa president, bisa vice chancelor adalah seseorang yang mempunyai keunggulan akademik. Pemilihan seorang rector didasarkan atas kemampuan akademik seseorang. Pemilihan pimpinan perguruan tinggi lebih menekankan pada karakteristik akademik. Pimpinan yang dipilih adalah sosok yang di mata civitas akademika diakui kredibilitas akademiknya. Pimpinan yang dipilih adalah sosok yang paling menonjol secara akademik. Ia merupakan seorang Guru Besar sebuah sebuah disiplin ilmu. Ia adalah sosok yang menonjol dalam hasil-hasil akademiknya. Tulisan-tulisan dan penelitiannya diakui civitas akademika sebagai yang paling produktif. Ia sosok Guru Besar panutan yang menonjol pada bidang pengajaran. Pengabdian masyarakat yang dilakukannya banyak berbasiskan riset-riset akademik. Sederhananya, ia adalah sosok role model dari sisi akademik, meskipun sisi skills managerialnya kurang menonjol.

Sementara pendekatan leadership managerial lebih menekankan pada skills managerial seorang pemimpin. Seorang pimpinan perguruan tinggi tidak perlu seorang Guru Besar. Bisa bergelar Lektor Kepala bahkan Lektor sekalipun. Tidak perlu seseorang yang paling menonjol hasil karya akademiknya. Tidak perlu sosok yang hasil-hasil penelitiannya diterbitkan di jurnal-jurnal internasional bereputasi. Bagi madzhab ini, seorang pimpinan perguruan tinggi adalah sosok yang mempunyai kemampuan manajerial yang hebat. Ia mampu mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) di kampus. Mumpuni dalam mengatur, merencanakan pengelolaan keuangan. Dan hal-hal lainnya yang sipatnya manajerial. Konteks kepemimpinan manajerial ini sering juga disebut dengan Corporate Formalisation. Yang berbeda dengan jenis kepemimpinan akademik yang lebih menunjukkan Collegial Formalisation.

Melihat kelebihan dan kekurangan dua model kepemimpinan di atas. Penulis artikel mengusulkan pendekatan baru yang ia sebut sebagai model kombinasi. Model seperti ini, seperti diakui penulisnya, mudah diucapkan, susah dipraktekan. This is easily said, but difficult to achieve in practice, demikian kata Yilder dan Codling. Hal yang paling fundamental dari model kepemimpinan jenis ketiga ini adalah sebuah institusi pendidikan tinggi harus secara jelas menunjukkan bahwa antara kepemimpinan akademik dan kepemimpinan manajerial dijalankan secara adil. Dua-duanya dianggap mempunyai nilai yang setara (equally valued). Selain itu, prinsip-prinsip kepemimpinan model ketiga ini diantaranya adalah: antara pimpinan akademik dan manajer harus berkolaborasi dan bekerja secara efektif sebagai sebuah tim. Seluruh staff akademik harus terlibat aktif dalam pengajaran dan riset. Administrasi harus dipegang oleh seorang administrator-administrator yang kompeten, bukan oleh pimpinan akademik, bukan pula oleh manajer. Posisi pimpinan akademik harus diisi oleh orang yang telah meraih jabatan fungsional akademik paling tinggi. Bukan karena senioritas. Posisi pimpinan manajerial kampus diisi oleh orang-orang yang memiliki pengalaman manajerial yang relevan sesuai dengan kualifikasi dan keahliannya.

Itulah kira-kira ilmu baru yang saya dapatkan. Dari mendampingi mahasiswa manajemen pendidikan weekend ini. Jangan protes, masih banyak model-model kepemimpinan di perguruan tinggi. Itu hanya sekilas yang ditangkap oleh pemula yang belajar membaca artikel-artikel manajemen Pendidikan. Tentu para pakar manajemen Pendidikan sudah update dengan teori-teori baru. Seperti saya sebut sebelumnya artikel ini sudah lama ditulis. Pastinya perkembangan isu ini sudah lebih jauh lagi. Saya belum tahu bagaimana kampus-kampus di kita. Apakah lebih cenderung menerapkan model pertama (leadership academic), model kedua (leadership managerial), model ketiga (a shared leadership) atau mungkin menerapkan model baru yang lebih kekinian. Yang pasti, dalam bidang disiplin apapun, perkembangan sebuah teori tidak bisa dielakkan dan itu harus, demi kemajuan sebuah disipin ilmu. Minggu depan saya mau mendampingi ngalogat lagi, tentang ‘a digital leadership.’ Mudah-mudahan dapat lagi ilmu baru. Indahnya menambah dan berbagi ilmu.

Prof Ahmad Ali Nurdin, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *