(UINSGD.AC.ID) — Jihad itu bersungguh-sungguh. Sedari niat yang dipancangkan hingga tindakan nyata yang dilakukan. Dengan itu, jihad adalah akumulasi bahkan sinergi antara yang “potensial” dan “aktual”.

Sekadar niat, bukan jihad namanya. Ia hanya akan berhenti sebagai utopia, sebagai angan-angan belaka. Sekadar bertindak bukan juga disebut jihad. Jihad adalah tindakan terrencana untuk menghasilkan tujuan baik bahkan mulia.

Lalu kenapa jihad kerap dipahami sebagai pamer otot, kekerasan dan angkat senjata? Ini soal penafsiran. Sialnya, penafsiran ini dianggap final lalu didaku sebagai satu-satunya arti jihad dengan menutup hadirnya pengertian lain. Padahal, sejatinya penafsiran adalah cara pandang yang kebenarannya relatif bukan absolut.

Jihad santri. Apa maknanya?

Santri adalah murid. Ia manusia yang digembleng oleh ilmu dan pengetahuan supaya menjadi “manusia”. Ia ditempa dalam suatu sistem pengajaran yang terrencana. Jelas kurikulumnya. Terang pengajarnya, otentik yang memberikan ilmunya dan pasti titik tujunya.

Santri adalah pembelajar yang bertungkus lumus dalam lautan pemahaman dan samudra ilmu pengetahuan. Luasnya lautan dan dalamnya ilmu pengetahuan meniscayakan jihad. Memestikan kesungguh-sungguhan. Mewajibkan keseriusan.

Setelah pemahaman didapat dan pengetahuan tiba dalam genggaman, apakah selesai? Tidak! Apa gunanya pemahaman jika ia hanya berhenti di pemahaman. Apa gunanya ilmu pengetahuan jika ia hanya mandeg di ilmu pengetahuan. Pemahaman dan pengetahuan harus bermetamorfosa menjadi tindakan, mewujud dalam bentuk yang mudah dikenali sebagai sesuatu yang kongkrit: menjadi amal baik.

Pemahaman dan ilmu pengetahuan harus menjadi dinamo yang memantik perubahan. Menjadi tapak dan jejak yang mudah dikenali untuk kemudian menjadi kebaikan atau amal shalih. Jihad santri dengan itu adalah perjalanan pembuktian pesan agama bahwa “sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi manusia lainnya”.

Jihad santri yang dipahami sebagai proses belajar yang sungguh-sungguh dengan ujungnya kemanfaatan hanyalah satu soal. Soal lainnya adalah adanya sikap untuk terbuka dan lapang dada terhadap yang beda dan tak sama. Menjadi santri adalah meyakini bahwa dirinya bukanlah sosok yang selesai sekali dirumuskan, sebaliknya ia seumpama organisme hidup yang selalu dalam proses “menjadi” (becoming).

Sosok dalam proses “menjadi” tak akan jatuh pada anggapan bahwa dirinya adalah yang paling benar dan cukup diri (self sufficiency) yang mendaku sebagai pemilik satu-satunya kebenaran. Sosok dalam proses menjadi tak akan merelakan dirinya terjebak dalam tempurung taklid buta.

Sosok dalam proses menjadi selalu dibimbing oleh keheranan, rasa ingin tahu, dan berani mencoba sekalipun salah (trial and error). Dengan ini, jihad santri adalah kesadaran untuk open minded. Allahu a’lam.[]

Dr. Radea Juli A. Hambali Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *