“Dunia yang Berlari”

“Dunia yang berlari”. Ini yang bisa kita lukiskan tentang situasi hari ini. Dalam dunia ini, seumpama tak ada moment untuk sekadar bisa menunda. Tak ada kesempatan untuk sekadar diam memperhatikan. Informasi begitu cepat menjalar. Kabar berita begitu gampang diviralkan.

Teknologi informasi setiap detik berdenyut mengabarkan kejadian ini dan itu. Media sosial semisal twitter, instagram ataupun whatsapp dengan gamblang menyampaikan apa yang benar bahkan juga dusta. Beruntung, jika kita bisa memilah mana yang rekayasa mana yang fakta. Beruntung, jika kita bisa membedakan mana isi mana yang hanya sekadar cangkang.

Senyatanya, dalam “dunia yang berlari” akal seumpama gagal untuk menjadi hakim yang bisa bertindak dewasa. Di hadapan cepatnya informasi yang bersliweran, akal seolah menjadi tumpul kehilangan ketajaman.

Tanpa perlu berpikir mendalam kita dituntut untuk segera merespon berita juga peristiwa. Kecepatan jari bisa mengalahkan kecepatan pikiran. Sialnya, respon yang kita lakukan adalah cibiran. Kata-kata yang menghujat. Kalimat-kalimat yang mencemooh bahkan menistakan.

Media sosial lalu berubah menjadi medan pertempuran berdarah dimana kata dan kalimat menohok menjadi senjatanya. Para petarung kata-kata di arena media sosial itulah “buzzer”. Sekelompok orang yang dengan keterampilan mengolah kata-kata “mengabdikan hidupnya” untuk menjadi pemantik yang mengobarkan api “pertempuran” di media sosial. Mereka hadir sebagai pasukan yang berfungsi ganda: sebagai pasukan pencitraan atau bertugas menghabisi nyawa lawan.

Inilah zaman ketika seluruh peristiwa yang terjadi tak bisa lagi disembunyikan dan dirahasiakan. Ini menjadi semacam mimpi buruk, tapi mimpi buruk ini telah menjadi keseharian sehingga orang merasa tidak perlu mempersoalkannya.

Inilah masa ketika gawai menjadi “guru kehidupan” yang paling bernilai. Perjumpaan antar wajah yang mempertemukan nasihat dan petuah tak lagi ditemukan. Setiap orang sibuk dengan dunianya masing-masing. Setiap orang asyik tenggelam di dunia yang hadir dalam genggaman.

Dalam “dunia yang berlari”, kita seolah dituntut untuk tidak berpikir, cukup menyesuaikan diri. Kesibukan kita dengan gawai saat kita menulis pesan atau memviralkan informasi misalnya kebanyakannya tidak didasari oleh pemikiran. Kita hanya meneruskan hal-hal yang mekanis dan repetitif dalam siklus komunikasi yang banal.

Inilah masa ketika pencarian kebenaran telah direduksi menjadi “googling” dan “browsing”. Sudah bisa diterka, kebenaran yang lahir adalah kebenaran yang dihasilkan karena “refleks” bukan kebenaran yang muncul karena hasil “refleksi”. Ketidakberpikiran (Gedankenlosingkeit) inilah yang dikahawatirkan oleh pemikir semacam Jurgen Habermas yang menyebutnya sebagai “tamu menyeramkan yang datang dan pergi dimana saja dalam dunia hari ini”.

“Dunia yang berlari”, bukan mustahil, kita bisa saja menghadapinya dan melakukan “perlawanan”. Mekanisme perlawanan itu sejatinya sudah tertanam dalam diri manusia dan ia disebut dengan “berpikir meditatif”.

Berpikir meditatif bukan mistik. Yang diacu dalam berpikir meditatif adalah berpikir dengan fokus, peduli dan memperhatikan eksistensi kita. Berpikir meditatif adalah “diam yang mulia”.

صمت يكسوك الكرامة خيرمن قول يكسبك الندامة

“Diam yang membuatmu mulia lebih baik daripada berbicara yang menyebabkanmu menyesal”Allahu a’lam[]

Bandung, 29 November 2019

Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *