TALBIYAH DAN PELAJARAN TENTANG SETIA

(UINSGD.AC.ID)-“Labbaik Allahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik, innal hamda wanni’mata laka wal mulk laa syarikalak,” Kami datang memenuhi pangilan-Mu, Kami datang memenuhi pangilan-Mu Ya Allah, Sungguh segala puji dan nikmat adalah milik-Mu dan kerajaan (kekuasaan) itu adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu”

Inilah kalimat indah yang mengekspresikan kepatuhan tulus, sanjungan agung, pengakuan adiluhung sekaligus munajat ikhlas juga harapan indah dari seorang ‘pejalan kaki’ yang merindu bertamu dan bertemu dengan Baitullah. Dengan penuh kemesraan dan kehangatan jiwa, kalimat talbiyah ini dikumandangkan sepanjang ihram.

Talbiyah berasal dari kata ‘labba’ yang bermakna menjawab atau memenuhi panggilan. Dalam narasi para ulama, talbiyah disimpulkan berisi tiga esensi, yakni; komitmen, pengakuan dan kesetiaan. Esensi yang pertama, talbiyah adalah komitmen untuk memenuhi segala panggilan dan seruan Allah.  Esensi kedua, talbiyah adalah pengakuan tentang segala ‘yang ada’ dan ‘yang mungkin ada’ sebagai milik Allah. Dan esensi berikutnya, talbiyah adalah ekspresi kesetiaan seorang hamba untuk bertuhan hanya kepada Allah dengan tidak menyekutukan-Nya.

Tiga esensi ini begitu penting menginternal, masuk dan menusuk pada segenap potensi kognitif dan afektif untuk selanjutnya mengejawantah dalam ucapan dan tindakan. Dalam konteks kekinian dan ke disinian, ada banyak hal yang melatarbelakangi pentinya internalisasi tiga esensi talbiyah tadi. Secara miliu masyarakat kita hari ini tengah dikepung oleh budaya populer dengan membawa hiden agenda yang sangat berbahaya.

Budaya populer adalah budaya yang diproduksi, direproduksi dan didistribusikan secara masif oleh kaum kapitalis. Budaya itu kemudian dipasarkan secara masif agar kemudian dikonsumsi secara membabi buta oleh kaum milenial.  Dalam telisik para pengiat cultural studies, diantara hiden agenda yang dibawa oleh budaya populer adalah sekularisme, atheisme, agnotisisme, anarkisme, narsisisme, dan materialisme.

Bermula dengan gerakan memisahkan agama dari segala hal. Disusul dengan semaraknya kampanye tentang tidak adanya Tuhan. Lalu membangun argumentasi dan mosi tidak percaya pada agama dan negara.  Setelah itu mereka angkuh atas kediriannya. Lalu dengan sadar mereka jadikan materi sebagai satu-satunya Tuhan. Sederet  hiden agenda ini, sesungguhnya tengah mewarisi anak-anak milenial dan tanpa kecuali seluruh penghuni negeri ini, pada apa yang disebut kritikus media dengan ‘budaya selingkuh’.

Budaya selinguh, kini tumbuh subur laksana cendawan di musim hujan. Selingkuh kepada; Allah, kepada agama, kepada negara, kepada pimpinan, kepada pasangan, dan selingkuh kepada hal-hal yang sejatinya kita setia, adalah fenomena sosial yang tidak terbantahkan.

Di sini dan di negeri ini, atas nama cinta dan yang lainya. Hampir setiap hari selalu saja ada berita tentang saudara kita yang pindah agama, atau dengan bangga menyatakan atheis dan agnostik. Jangan tanya tentang berapa banyak elemen bangsa ini yang selingkuh kepada negara, pimpinan, apalagi yang selingkuh kepada pasangan sah. Untuk data selingkuh yang terakhir, dramatisnya angka perceraian di pengadilan agama, cukup menjadi bukti.

Di tengah derasnya ujian tentang kesetiaan, marilah kita internalisasi kembali kalimah talbiyah yang pernah beresonansi mengetarkan segenap potensi jasadi kita. Baik ketika melakukan latihan manasik haji dan umrah di sekolah, terutama ketika kita sedang bertamu ke Baitullah. Dalam resonansinya yang akseleraif, kalimah ini telah teruji dalam menjaga kesetiaan. Anda adalah orangnya.  

Aang Ridwan, Pembimbing Haji Plus dan Umroh Khalifah Tour dan Dosen FDK UIN Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 18 Januari 2022

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *