Usia 52 adalah usia yang matang. Seumpama manusia, 52 adalah penanda ketika manusia meninggalkan masa belia juga remaja. Usia yang cukup kenyang dengan pengetahuan dan pengalaman. Usia yang cukup penuh dengan jatuh dan bangun. Usia yang tinggal menikmati hasil dan menuai buah dari apa-apa yang pernah dilakukan dan diupayakan.


Menyamakan usia manusia dengan lembaga mungkin bisa jadi tak sama. 52 bagi sebuah Lembaga adalah fase menenun mimpi. Meletakkan tonggak keinginan dan cita-cita untuk kegemilangan dan keunggulan yang akan diraih di masa depan. Syaratnya tentu saja adalah kesungguhan yang bulat. Niat dan tekad yang utuh dan penuh yang diwujudkan dengan langkah-langkah nyata untuk mewujudkannya.

Mimpi? Ya dari sinilah segalanya bisa bermula. Sebab, tidak hanya kemerdekaan yang menjadi hak segala bangsa. Impian pun bisa menjadi hak yang bisa dimiliki oleh siapapun. Akan tetapi, bukan mimpi sembarang mimpi, bunga tidur yang sering menguap entah kemana saat fajar menyingsing.


Impian besar untuk menjadi unggul bisa memotivasi siapapun. Dengannya berpikir cerdas dan kerja keras juga tuntas mengikuti. Mimpi agung yang memandu seluruh civitas dengan nilai-nilai luhur yang membenam sakral di dalam impian itu. Mimpi akbar yang menyatukan setiap kita untuk bersinergi menggapai keunggulan seraya mentransendensikan semua perbedaan yang niscaya ada: pilihan politik, jenis kelamin, kecenderungan pemahaman, kultur juga etnis. Mimpi yang kemudian meluluhkan setiap kita dalam suatu rasa kebersamaan yang kompak dan bergetar-getar di sekujur tubuh lembaga ini.

Merancang mimpi tentang keunggulan di usia 52 bisa tak semudah seperti membalikan tangan. Di luar sana kita sudah ditantang oleh persaingan. Di luar sana percepatan ilmu dan pengetahuan sudah sedemikian hebatnya. Pilihannya, apakah kita hanya akan menjadi penonton yang sekadar bersorak di pinggir lapangan. Atau, ikut terlibat tapi kemudian terseret arus karena tak cukup siasat dan tenaga. Atau, memainkan peran penting sebagai pemain utama yang menentukan bentuk dan warna permainan.

Sungguh! Tak ada keunggulan yang bisa diwujudkan apabila setiap kita tutup telinga terhadap panggilan suara Tuhan, suara nurani dan suara civitas. Menjadi tegas pula, pondasi segala prestasi-keunggulan-keistimewaan adalah spiritualitas: nurani yang jernih, hati yang bening, dan akal budi yang cerah. “Dan semuanya itu harus dibasiskan pada prinsip-prinsip sejati (true north principles)”, begitu kata Stephen Covey. Sayup-sayup, kita pun mendengar seruan Max Weber bahwa “apabila orang bekerja berdasarkan panggilan jiwanya maka ia akan unggul melampaui yang lain”.

Masih bisa ditambahkan juga bahwa keunggulan itu digerakkan oleh visi akbar yang menggetarkan bahkan sanggup meminta suluh pengorbanan dari setiap kita, dipandu oleh strategi cerdas agar sumberdaya yang terbatas bisa mencukupi, dimotori oleh inovasi-inovasi kreatif, dikawal oleh sikap antisipatif, dan didukung oleh karakter ketekunan.

Apapun komposisinya, akhirnya kita menyimpulkan bahwa basis keunggulan suatu lembaga, organisasi, bahkan sebuah bangsa, nyata-nyata dan tak bisa lain, ialah manusia unggul juga karena spiritualitasnya, intelektualitasnya, dan etos kerjanya. Manusia-manusia unggul demikianlah yang menghasilkan kitab Sutasoma yang dikarang oleh Mpu Tantular, Tafsir al-Azhar yang dibuat HAMKA, novel Bumi Manusia yang dibikin Pramudya, candi Borobudur, jam Rolex, teleskop Hubble, bahkan sepatu Nike yang biasa kita kenakan.

Kita pantas unggul karena sejatinya kita memiliki modal spiritual [spiritual capital] yang ternyata menjanjikan ketidakterbatasan. Kapital rohani yang kita punya ini bagai lubuk energi tak berdasar. Nelson Mandela dalam biografi yang ditulisnya The Long Walk To Freedom [1994] berkata, “Saya mengalami sendiri bahwa kita mampu menanggung hal-hal yang sebenarnya tak tertanggungkan jika kita dapat menjaga semangat hidup tetap tinggi meskipun tubuh kita disiksa. Keyakinan yang kuat adalah rahasia kesanggupan menanggung segala kekurangan. Semangatmu bisa penuh meskipun perutmu kosong.” Keyakinan, iman, harapan, tekad, antusiasme itulah berbagai wajah spiritualitas. Inilah the spirit of excellence.

Spirit harus tetap diberi darah, saraf, otot, dan daging agar menjadi tubuh, artinya menjadi budaya. Pencanangan UIN melalui visinya Menjadi Universitas Islam Negeri yang unggul dan kompetitif berbasis wahyu memandu ilmu dalam bingkai akhlak karimah di ASEAN tahun 2025 mudah-mudahan terwujud dan bukankah kita sedang berjalan ke arahnya?

Selamat Dies Natalis UIN SGD Bandung yang ke-52.
Allahu a’lam[]

Bandung, 8 April 2020.

Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *