Sungguh mulia, mereka yang selalu melatih dirinya untuk tetap rendah hati. Allah SWT tidak menyukai manusia yang berjalan di bumi ini dengan pongah. Tentu saja, bukan hal mudah melatih agar hati ini selalu lembut, ikhlas, dan istiqamah mencintai Allah SWT serta rasul-Nya. Ketika kita berbuat baik, boleh jadi hati kita riya, ingin dilihat orang lain. Riya adalah penyakit hati, syirik kecil. Hati tak bisa ditebak, samar, dan hanya kita serta Allah SWT yang tahu.

Untuk itu, teruslah melatih hati untuk selalu terjagakan iman dan terjauh dari penyakit hati.Buanglah jauh-jauh sifat angkuh, merasa paling saleh di hadapan Allah Swt. Jangan pernah merasa paling bersih dan suci, karena akan menjadi sebab tertutupnya pintu surga.

Imam al-Ghazali memberikan nasihat jitu tentang bagaimana hidup kita untuk tetap menjadi manusia terbaik tanpa terkotori sedikit pun penyakit hati. Terjauh dari penyakit merasa saleh, paling pandai, dan berbagai sifat sombong lainnya.

Pertama, Al-Ghazali menyatakan, Jika engkau melihatnya masih muda, engkau mestinya berucap, ‘Maksiat orang ini pastilah lebih sedikit daripada diriku. Tentulah ia lebih baik daripada diriku’.

Sesungguhnya jika umur dan kesalehan sudah sangat lama, lalu berhadapan dengan orang yang lebih muda usianya, ingat baik- baik bahwa ia masih muda yang artinya tingkat maksiatnya jauh lebih rendah daripada diri kita. Menghadirkan keteguhan hati seperti ini, tidaklah menjadi sebuah kesulitan jika keimanan di hati benar-benar kuat.

Pesan Al-Ghazali selanjutnya, Jika engkau melihatnya lebih tua, engkau mestinya berujar, ‘Orang ini sudah lama menyembah Allah. Tentulah ia lebih baik daripada diriku’.

Jika usia kita lebih muda dan sering bergaul dengan orang yang lebih tua, mantapkan hati bahwa ia adalah contoh yang baik dalam beribadah kepada Allah. Hadirkan hati dan keyakinan jiwa bahwa seiring dengan bertambahnya usia, maka kesalehan orang tersebut lebih hebat.

Lebih lanjut, Al-Ghazali berpesan: Jika ia `alim, engkau mestinya berkata, ‘Orang ini diberi ilmu yang tidak aku miliki. Ia mencapai apa yang tidak kucapai dan mengetahui yang tidak kuketahui.

Lalu, bagaimana aku menjadi sepertinya?’

Kita tentu sangat menyadari, semua manusia memiliki batasan dan kelemahan. Tidak mungkin semua ilmu dapat dikuasai seluruhnya. Pasti banyak hal yang tidak diketahui. Di sinilah letak dan saatnya untuk saling belajar dan menghargai. Ilmu yang tidak dikuasai, mungkin saja orang lain yang bisa menguasainya. Pun demikian, sebaliknya. Oleh karena itu, tugas kita untuk belajar dan memungut serpihan-serpihan ilmu dan hikmah darinya.

Nasihat Al-Ghazali berikutnya adalah: Jika ia bodoh, engkau mestinya berkata, ‘Orang ini mendurhakai Allah karena tidak tahu.Sementara aku mendurhakai-Nya karena pembangkangan.Tindakan Allah atasku tentu lebih keras dan aku tidak tahu dengan kondisi apa Dia mengakhiri hidupku’.

Laknatlah mereka yang bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah amalnya. Seandainya orang bodoh melanggar satu atau dua aturan Allah dan bermaksiat kepada-Nya, maka itu bisa dimaklumi karena memang ia tidak mengetahuinya. Allah akan senang untuk mengampuni hamba yang bodoh tersebut. Semen tara jika kita berilmu, saleh, merasa tabungan amal untuk akhirat banyak, dan optimistis masuk surga tanpa hisab, lalu bermaksiat, maka itu sama saja dengan melecehkan Allah Yang Maha Pengampun.

Rendah hati adalah satu di antara tanda kualitas iman seseorang. Jika mengaku beriman tetapi masih saja merasa sombong dengan ketaatan dan ibadahnya kepada Allah, nilai imannya masih berada di dalam posisi rendah. Semoga Allah menghindarkan kita dari sifat demikian. Wallahu a’lam.

Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

Sumber, Hikmah Republika 7 Agustus 2019

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter