Politik Bermuka Dua

Kurang lebih setahun menjelang Pemilu 2014, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden, negeri ini  terus saja dikotori oleh berbagai noda dan borok politik. Di antara noda dan borok politik yang belakangan paling menohok adalah prahara berbagai partai politik. Kurang lebih satu bulan terakhir ini misalnya, kita disuguhi oleh berbagai prahara moral dan hukum yang melibatkan partai politik pendukung pemerintah sekaligus partai politik peserta Pemilu 2014.

Di sini, partai politik yang sejatinya menjadi moda harapan penyangga bagi proses konsolidasi demokrasi Indonesia, yang sebentar lagi menapaki pemilu keempat pasca era reformasi, malah banyak tergelincir pada kubangan prahara. Padahal pada dirinya telah melekat benteng-benteng sekaligus fungsi-fungsi politik adiluhung, seperti pendidikan politik, sosialisasi politik, komunikasi politik, dan rekrutmen politik.

Mirisnya, prahara partai politik itu banyak dipicu oleh ragam skandal hukum sekaligus skandal moral. Dan lebih mirisnya lagi, skandal-skandal tersebut justru dilakukan oleh partai-partai yang jelas-jelas berjargonkan moral dan penegakan hukum, seperti anti-korupsi.

Kita masih ingat misalnya, Partai Demokrat dalam merebut dan memenangkan suara rakyat pada Pemilu 2009 lalu, dengan berjualan jargon “Katakan Tidak pada Korupsi”, atau PKS, yang berhasil masuk the big four pemenang Pemilu 2009, berjualan jargon “Bersih dan Peduli”, dan partai Politik lainnya, nyatanya  melalui beberapa oknum elitnya, masing-masing tersandung kasus korupsi Hambalang, proyek wisma atlet, korupsi impor sapi, korupsi Al-Qur’an Kemenag, dan lain sebagainya.

Panggung Citra

Prahara-prahara partai politik yang berdimensi kasus-kasus moral dan hukum di atas tentu merupakan bagian saja dari penomena puncak gunung es. Artinya, kasus-kasus tersebut hanya sebagian kecil dari persoalan yang berhasil dibongkar. Di belakang itu, masih banyak tumpukan beragam kasus. Untuk pembongkarannya setumpuk kasus itu, cepat atau lambat, mungkin hanya tinggal menunggu waktu saja.

Realitas buruk yang senantiasa mengiringi perwajahan politik itu, bila menggunakan pandangan David Runciman, dalam bukunya “Political Hypoccrisy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond” (2010), merupakan bagian dari penomena politik muka dua. Artinya, dunia politik yang penuh dengan wajah kemunafikan dan sikap standar ganda. Di sini partai politik dan para aktor politik yang ada di dalamnya berdiri di balik jargon-jargon adiluhung. Padahal itu semua adalah penuh dengan seolah-olah, palsu, dan menipu, lalu pada gilirannya hanya dijadikan topeng kekuasaan.

Politik muka dua ini tumbuh dan beroperasi bersamaan dengan pergeseran panggung politik menjadi panggung drama.  Di mana, politik sudah disulap sedemikian rupa menjadi arena perang citra, yang sangat jauh dari makna dan realita yang sebenarnya. Memang, bila ditelusuri lebih jauh lagi, akar dari gagasan dan parktik kemunafikan adalah peran citra dan bidang teater. Orang-orang munafik aslinya adalah para aktor panggung klasik. Dan dalam bahasa Yunani, istilah hypokrisis ini memiliki arti memainkan suatu  bagian. Jadi dalam bentuknya yang asli, istilah ini hanya sekedar deskripsi fungsi teatrikal dari sikap berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan dirinya.

Dengan itu, dalam panggung politik, kemunafikan itu tentunya tidak dapat lepas dari unsur-unsur kemunafikan di panggung teater, terutama perbuatan kepura-puraan dan kebohongan. Bila pada panggung teater, kemunafikan merupakan tuntutan dari pembagian peran, dengan semata untuk menghibur penonton, maka pada panggung politik, kemunafikan, adalah topeng untuk menutupi kebopengan citra kekuasaan sekaligus syahwat kekayaan.   

Pemilu 2014 ke depan kiranya dapat dijadikan momentum berharga bagi kita semua dalam upaya pembersihan noda dan borok politik. Terutama noda dan borok politik yang diakibatkan oleh praktik-praktik politik muka dua. Kuncinya kini mutlak berada di tangan rakyat pemilih. Tentunya dengan syarat mereka tidak mudah ‘masuk angin’ oleh hembusan janji-janji elit politik yang dijajakannya melalui dan pada citra-citra.

Dalam rangka menghindari lahirnya pemimpin-pemimpin nasional yang menampilkan politik muka dua,  perlu kiranya diperhatikan kembali Hadis Nabi Muhammad SAW tentang tiga tanda-tanda orang munafik. Yaitu, “apabila ia berkata, ia berbohong; apabila ia berjanji, ia meningkari; dan apabila ia diamanati, ia khianati”.

Dalam konteks menjelang Pemilu 2014, berakata bohong, mengingkari janji dan mengkhianti, misalnya dapat dievaluasi dengan memperhatikan kembali terhadap perilaku dan sikap politik semua elit politik, baik di legislatif maupun di eksekutif, yang pada Pemilu sebelumnya terpilih. Sudahkah mereka berkata jujur, menempati janji, dan tidak menghianati sumpah jabatannya?

Lepas dari jawabannya seperti apa, perlu diingat bahwa jika “syirik” dikatagorikan sebagai dosa terbesar, maka “nipak” adalah dosa yang paling berbahaya. Terutama berbahaya bagi dirinya sekaligus berbahaya bagi lingkungan di luar dirinya. Oleh sebab itu, dalam dunia politik, bila yang terpilih adalah terus-menerus pemimpin muka dua, maka tinggal tunggulah datangnya ‘kiamat politik’.[Republika, 6/03/2013]

Asep Sahid Gatara, Dosen FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter