NU dan Moratorium Pajak

Adalah kewajiban ulama, dengan kualitas keilmuannya yang tinggi serta keteladanannya dalam mengamalkannnya,  memenuhi panggilan serta tugas historis bangsa, untuk turut membersihkan bangsa ini, dari setiap perkara yang menjadi penyakit akut dan  kangker ganas  dalam kehidupannya.

Setelah Munas-Konbes NU di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, berjalan dari 14-17 September 2012 yang baru berlalu, isu  paling mengemuka serta menasional adalah mengenai moratorium pajak. Segera, apa yang menjadi hasil rekomendasi perhelatan akbar itu, menyedot perhatian berbagai pihak walaupun tetap mengundang berbagai spekulasi serta kontroversi.

Apa yang menjadi rekomendasi dari acara tersebut, tentu saja mereflekasikan sikap kritis NU, ketika kehidupan bangsa kita benar-benar berada di titik nadir karena masalah korupsi. Korupsi telah menjadi bahaya laten yang akan membawa bangsa ini pada tebing kehancuran serta kehidupan yang suram di masa depan. Wajarlah kalau ulama sebagai penjaga moral bangsa kemudian terlibat untuk mencari solusi terbaik, demi sebuah tugas historis menyelamatkan masa depan  bangsa ini.

Memang terdapat dua rekomendasi yang berkaitan satu sama lain. Terkait isu politik dan korupsi NU meminta agar presiden dapat menggunakan kewenangan secara penuh tanpa tebang pilih untuk menanggulangi korupsi. Utamanya terkait dengan aparat pemerintahan yang terlibat korupsi Mengenai permasalahan pajak, NU meminta agar pemerintah lebih transparan dalam pengelolaan dan pengalokasian uang pajak termasuk memastikan tidak ada kebocoran. Tidak hanya itu, pemerintah diminta untuk mengutamakan kemaslahatan warga negara dalam penggunaan pajak termasuk kepada fakir miskin.

Walaupun permasalahan moratorium pajak ini hanya sebagai warning dari NU untuk negara, tentu memiliki implikasi yang bermakna signifikan bagi keajegan bangsa ini. Tentu saja, kalau NU sendiri konsisten untuk terus menyuarakan keprihatinannya. Sebagai kelompok yang sangat dekat dengan akar rumput,  para ulama adalah pihak-pihak yang bisa menilai secara jernih, pengaruh dari korupsi ini yang melanda kehidupan masyarakat kecil. Bahkan mungkin warga NU sendiri.

Para ulama yang hatinya sangat dekat rakyat, tentu bisa merasakan betul kehidupan sebagian besar masyarakat yang  hidup dalam kesusahan, dan semakin melebarnya kesenjangan antara mereka yang kaya dengan kalangan rakyat jelata.  Katagori kaya di sini, tidak ditujukan pada mereka yang betul-betul mendapatkan kekayaannya dengan cara-cara yang dibenarkan agama serta negara. Tetapi kekayaan-kekayaan yang didapat dari hasil korupsi, itulah yang dikritisi oleh para pewaris Nabi tersebut sehingga kalau pemerintah mau peduli terhadap apa yang menjadi kekhawatiran meraka, akan lebih bersungguh-sungguh dalam menanggulangi korupsi dan akan membawa maslahat bagi kehidupan masyarakat.

Mengingat korupsi itu telah  terstruktur baik secara kognitif maupun sebagai fakta sosial, tentu memberi batasan satu tahun agar  bisa diberantas, tidaklah mudah untuk dapat diwujudkan. Kemewahan hidup sejumlah oknum pejabat Ditjen Bea dan Cukai serta Ditjen Pajak misalnya adalah contoh yang sangat kentara, betapa masalah korupsi itu, jutru dilakukan oleh mereka yang memiliki akses paling dekat terhadap sumber-sumber keuangan negara.

Walaupun tentu masih banyak pula pejabat-pejabat di lembaga tersebut yang memiliki idealisme yang kuat untuk tidak terlibat praktek kerupsi. Pada lingkup yang lebih luas, masih banyak pula pejabat-pejabat yang ada di negara ini yang bersikap jujur, walaupun fakta-fakta tidak dapat kita pungkiri, korupsi telah menjadi budaya destruktif di setiap level kekuasaan. Kenyataan inilah sebenarnya yang membuat mesyarakat sendiri, kehilangan kepercayaan untuk membayar pajak serta para ulama adalah “penyambung” lidah umat untuk  menyampaikan kegelisahan mereka.

Pertanyaannya, kenapa kemudian korupsi itu kian mewabah? Bagi mereka yang memiliki akses terhadap kekuasaan serta keuangan negara, pola hidup dengan memilih jalan pintaslah yang tampaknya mengakibatkan korupsi itu kian menggurita. Di dalam kehidupan manusia sekarang ini, arus hedonisme demikian kuat melanda serta mencengkram setiap sisi dari kehidupan kita.

Hidup manusia mengalami arus “materialisasi” sehingga yang terjadi adalah pemujaan terhadap segala hal yang terkait dengan benda serta kemewahan. Hidup secara sederhana serta wajar-wajar saja, tidak akan pernah memberi kepuasan bagi pihak-pihak yang memburu kepuasan ragawi: rumah mewah, mobil mengkilap, tanah yang dibeli di mana-mana serta semuanya hanya bisa dipenuhi dengan kantong tebal berisi uang melimpah-ruah. Karena kebutuhan akan gengsi status yang kian tinggi, maka kekuasaan dan akses merupakan jalur tepat untuk bisa mendapatkan kekayaan secara cepat. Pilihan pragmatisnya, ya korupsi itulah.

Relevan dengan tema “Kembali ke Khittah Indonesia 1945”, maka rekomendasi tentang moratorium pajak ini, bagi saya merupakan sebuah ikhtiar dari para ulama agar para pemimpin kembali pada semangat “kebersahajaan” para pendiri bangsa. Para pendiri bangsapun mungkin  tidak memiliki prediksi bahwa bangsa Indonesia, setelah para penjajah pergi dari tanah air, malah ditelikung musuh yang lebih besar dari watak agresor imperialis sendiri berupa sikap korup yang begitu laten serta ganas memakan uang rakyat. Hanya kemudian, seberapa efektifkan seruan moratorium pajak ini, bisa menekan secara efektif korupsi di tanah air?

Tugas NU pun tentu tidak sebatas memberi seruan moral, tetapi, pertama,  bekerja sama dengan seluruh komponen bangsa untuk menjadikan koruptor itu sebagai musuh bersama. Mereka menggerogoti serta menjadi musuh NKRI serta dasar negara Pancasila. Kedua, mesti mengawal seruan moral tersebut dengan mengefektifkan berbagai bentuk kampanye serta gerakan penggalangan anti korupsi lewat berbagai media, baik cetak, dunia maya, media audio visual dan sarana-sarana yang lain, serta ketiga, memberikan penyadaran pada para koruptor bahwa di negeri Pancasila ini, di negeri yang menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari dasar negaranya, bahwa kehidupan koruptor itu bukan hanya akan terhina di dunia, namun akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa di akhirat sana. Bukankah sikap korup adalah musuh bangsa yang religius! (*)

Penulis adalah Dosen di Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, aktivis Nahdlatul Ulama

Sumber, Metro Siantar edisi Senin, 24 September, 2012

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *