Minusnya Kesantunan

Ironis, bangsa yang menahbiskan dirinya sebagai masyarakat ramah, mulai kehilangan kesantunannya. Kepada sesama, sikap hormat seolah tak ada manfaat. Dengarkan saja obrolan anak remaja, bahasa binatang diucapkan tanpa malu apalagi merasa bersalah.

Di media sosial, caci maki dan saling menghina seolah biasa. Di jalanan, tertib dan santun menjadi sikap langka. Tidak sedikit, muncul keributan, disebabkan senggolan, lalu terjadi perkelahian bahkan pembunuhan.

Televisi dengan siaran infotainment, sinetron dan acara dialog atau debat, secara vulgar turut serta mempertontonkan ketidaksantunan. Urat malu para selebiritis yang gila popularitas sudah putus. Mereka bangga berpolemik, menunjukkan kepongahan, bahkan sengaja mencari gara-gara dengan cara menghina.

Bahkan, lebih ironis lagi, di ruang kelas sekalipun, turut serta tercemari oleh rendahnya moralitas dan kesantunan. Guru kepada murid, murid kepada sesamanya, kakak dan adik kelasnya. Tawuran masih banyak dilakukan, pun demikian dengan geng motor yang meresahkan.

Tentu saja, kesantunan janganlah sekedar alat pencitraan. Bukan pula afirmasi dari ketidaktegasan atau kelemahan. Kesantunan tercermin dari ketertiban dan perilaku mentaati hukum. Mempraktikkan etika, menghormati sesama tanpa memandang jabatan, uang dan keturunan. Kesantunan juga terlihat dalam cara berpakaian, bertindak dan bertutur. Sikap sosial substantif, lahir dari karakter individu yang alamiah.

Keluarga

Apabila ditelusuri lebih mendalam, akar persoalannya ada pada keluarga, ruang kelas dan lingkungan sosial tempat dimana anak, remaja dan orang dewasa, hidup dan belajar bersama. Fakta menyedihkan, pilar pranata sosial pendidikan bangsa ini rapuh.  Di keluarga, orang tua, karena kesibukannya bekerja, menyerahkan anaknya diasuh oleh asisten rumah tangga, bahkan oleh televisi yang menjadi orang tua ideologisnya. Waktu anak lebih banyak berada di depan televisi, play station dan warung internet yang menyajikan games online dibandingkan di sekolah atau bersama orang tuanya.  

Ketika menginjak remaja, mereka tumbuh dalam lingkungan yang tidak mengindahkan etika dan moralitas. Dijejali oleh berbagai informasi dari televisi, gaya hidup ala sinetronnya dan media sosial. Menjadikan remaja Indonesia banyak yang telah kehilangan masa depannya, karena pergaulan bebas dan narkoba.

Saat dewasa tiba, karena proses pendidikannya yang gagal sejak kecil, tumbuh sebagai pribadi yang tidak kreatif, kurang produktif dan jauh dari sikap santun. Kesantunan adalah nilai luhur yang memiliki basis lokal-kultural yang kuat dan diwariskan secara turun temurun. Di masyarakat Sunda, semua prilaku seperti berbahasa keseharian, diatur oleh undak usuk basa. Demikian pula dalam berpakaian, bersikap dan berbusana, diatur agar menjaga kesopanan. Hanya saja, kini itu semua tergerus karena hilangnya peran keluarga.

Menguatkan Modal Sosial

Modal sosial adalah serangkaian nilai informal yang dimiliki bersama anggota suatu kelompok masyarakat, yang memungkinkan terjadinya kerjasama. Kesantunan adalah salah satu nilai yang menjadi perekatnya. Tentu saja, tidak ada saling menghormati, bilamana tidak ada kesantunan satu sama lain. Pilarnya adalah keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Dengan demikian, menebarkan kembali kesantunan dalam keseharian, membutuhkan penguatan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Untuk itu, diperlukan beberapa strategi: pertama, mendorong keaktifan warga.  Menurut Robert D Putnam, dampak positif dari pengembangan modal sosial adalah tumbuhnya semangat beramal, kesukarelawanan dan keaktifan warga. Ketika semangat untuk berbagi tercipta, kesantunan akan menguat dan menyebar di seluruh lapisan masyarakat. Harus diakui, bangsa ini mengalami krisis pada keaktifan warganya. Sibuk bekerja, menjadikan kepedulian kepada lingkungan sekitar meluntur. Forum warga dan peran dari Rukun Tetangga (RT) harus dikuatkan kembali.  

Kedua, menyebarluaskan kewirausahaan sosial akan menjadikan setiap individu untuk berkarya dan memberikan manfaatnya bagi sesama. Kewirausahaan sosial akan memberdayakan setiap individu pra sejahtera untuk mendapatkan akses sama pada pendidikan, kesehatan dan kehidupan yang layak. Kewirausahaan sosial meluaskan dan memeratakan kesempatan bagi semua untuk terus meningkatkan kesejahteraannya tanpa kecuali.

Welas asih melimpah yang diaktualisasikan kepada sesama tanpa membeda-bedakan latarbelakangnya. Tangan saling berpegangan, bergotongroyong, mendukung dan melihat semua manusia sama derajatnya. Mereka yang berlebih mengulurkan tangannya kepada yang masih berkekurangan. Ikhlas membahagiakan sesama, itu lah semangat hidupnya.

Ketiga, menumbuhkan rasa percaya. Francis Fukuyama dalam bukunya: “Trust; The Social Virtues and Creation of Prosperity” menyatakan, kerjasama yang ada dalam modal sosial, akan mendorong anggotanya untuk secara sukarela menyerahkan sebagian hak individunya untuk bekerjasama mencapai tujuan. Setiap orang melakukan kewajibannya dan yang lain mempercayainya (mutual trust). Itu artinya, semua orang merasa dirinya mengemban amanah.

Dalam keluarga dan sekolah, menghargai setiap kejujuran dan ketulusan adalah embrio dan semaian rasa percaya. Tentu saja, kita semua harus menanamnya bersama untuk mengurangi kebencian dan curiga. Meski percaya bukan berarti tidak berhati-hati. Sudah saatnya keberanian untuk jujur dan terpercaya diajarkan di rumah dan ruang kelas. Orang tua dan guru harus menuntun setiap generasi mudanya sebagai warisan nilai untuk kemajuan bangsa.

Politik praktis yang kotor, tradisi mencontek masal saat ujian nasional, basabasi ala politisi dan kepala daerah yang tak bisa menempati janji, beserta sederet kebohongan lainnya memang telah melunturkan rasa percaya. Tapi tentu, masih ada harapan dan menebar kesantunan kepada sesama.

Revolusi budaya untuk saling percaya dan menebarkan ikhlas dalam setiap tindakan dan pekerjaan multak diperlukan. Bentuk perlawanan kebudayaan terhadap kemunafikan dan korupsi yang telah mewabah dimana-mana. Itu semua dapat dimulai di lingkungan rumah dan kelas. Lalu pilihlah pemimpin yang satu kata antara perkataan dan perbuatan. Begitulah strategi kultural dan struktural yang dapat dipilih. Dengan segenap kekuatan, saling percaya, integritas dan kesantunan harus diwariskan. Wallâhu’alam.[]   

Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, Bergiat di Mien R Uno Foundation Jakarta

Sumber, Pikiran Rakyat 9 Desember 2013

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter