Seumpama tak ada tempat yang aman. Seperti tak bisa menghindar, hari ini kehidupan kita semakin murung. Ruang kehidupan yang dulu ramai riuh dengan cengkrama berubah menjadi tempat yang penuh dengan horor. Kita dikepung oleh siasat jahat dan rencana kematian yang dihembuskan oleh virus Corona.

Tengoklah cafe juga warung kopi tempat biasa kita nongkrong dengan regukan V-60, Espresso atau Latte. Atau Amatilah tempat hiburan dan karaoke dimana kita bebas mendendangkan lagu Via Vallen atau Siti Badriyah. Semuanya tiba-tiba senyap. Melalui selebaran juga informasi yang terus diiklankan, bahwa Corona sedang mengendap-endap mengintip celah lemah kita. Salah megang, sembarangan salaman, tak tertib bersin atau batuk adalah pertanda bahwa kematian sedang berdenyut di leher kita.

Ruang kehidupan kita tiba-tiba penuh dengan larangan untuk tidak melakukan ini dan itu. Tiba-tiba saja begitu banyak keharusan yang tidak biasa yang menuntut kita untuk patuh mentaatinya. Si jahanam virus telah menguasai empat penjuru arah mata angin. Kemanapun wajah kita menghadap ia menemui kita dan menyambutnya dengan kabar kematian yang mengerikan.

Mengerikan? Sudah pasti! Kematian yang wajar adalah kematian yang diantar oleh sanak saudara juga handai taulan. Mereka mendoakan dari dekat dengan iringan doa dan tabur bunga. Si jahanam Corona memutus kebiasaan kultural itu, dia yang mati hanya diantar oleh segelintir orang dengan protokol yang ketat dan tak sembarangan karena si mayat pun masih bisa menebarkan ancaman baru bagi siapapun yang mengantarnya.

Dalam waktu sekejap, si jahanam ini berubah menjadi mesin pembunuh yang tak pandang bulu. Sebarannya yang senyap tapi masif telah menteror dan menciptakan kegentingan yang tak memberi kita banyak pilihan kecuali satu: “Kebajikan paling puncak yang bisa kau berikan buat sesama adalah menolong dirimu sendiri”.

Banyak pemimpin di sejumlah negara, dibuat kalang kabut. Setiap solusi yang diambil membawa resiko dan belum pasti disebut sebagai jalan keluar satu-satunya. Kegamangan tampak mengemuka ketika tindakan hendak dilakukan karena disadari belum tentu bisa mengontrol resikonya. Tapi pemimpin yang menunda-nunda tindakan di atas rasa gamang akan menimbulkan “damage effect” yang jauh lebih mengerikan.

Tak ada pilihan lain, tindakan kongkrit harus segera dilakukan. Menurut seorang teman yang saya ajak ngobrol, hari ini ketika kesulitan tampak mengepung kita, ketika kematian begitu dekat dengan kita, kita tidak sedang berhadapan dengan soal “baik” dan “buruk”. Kita sedang berada dalam pilihan yang semuanya mengandung resiko buruk.

Tapi tak adil juga jika keselamatan dari cengkraman si jahanam ini karena usaha kita masing-masing. Bukankah kita punya pemimpin? Bukankah kita punya orang yang kepadanya kita gantungkan harapan supaya kemelut ini segera usai? Negara harus hadir memberikan rasa aman. Pemimpin harus benar-benar ada dan berpihak, bukankah mereka ada karena suara kita?

Seorang pemimpin yang tulen tak cukup untuk meyakinkan rakyatnya dengan mengatakan “Wahai rakyatku, aku tau kalian sedang menderita, tapi percayalah bahwa negara ini hadir di tengah kalian”. Harap dicatat, negara dan pemimpin yang hadir adalah negara dan pemimpin yang berani mengambil resiko buruk dari yang terburuk.

Semoga kekalutan ini segera berakhir dengan tindakan kongkrit yang dihadirkan oleh negara dan pemimpin yang kita punya. Sungguh, situasi buruk yang kita alami ini tidak menjadi lebih buruk dengan bayangan yang mengerikan seperti kita berdiri di tepi sungai dengan mayat-mayat yang mengambang dengan bau busuk yang menyengat.

Negara dan rakyat seumpama satu tubuh, jika yang satu sakit maka yang lainnya merasakan hal serupa. Kita ingin seperti dulu, saat-saat di mana setiap kita bisa menyepakati janji untuk jumpa di tempat perjamuan, di tempat nongkrong atau entah dimana ketika rindu disempurnakan oleh pertemuan dengan seseorang yang didambakan. Bercerita dengan leluasa, berbagi tawa dan bahagia.

Sungguh, kehidupan ini begitu berharga tidak hanya untuk saya tapi juga untuk kita semua. Semoga kecemasan dan kengerian segera mereda, dan jikapun kita harus mati, kita memghadap Tuham dengan senyuman bukan bersama si jahanam yang menggerogoti bagian dalam tubuh kita.

Allahu a’lam[]

Manisi, 31 Maret 2020.

Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *