Ki Sunda, Bangsa Pemikir!

[www.uinsgd.ac.id] Senin pagi (03/12), suasana DPR (di bawah pohon rindang) tidak seperti biasa. Puluhan mahasiswa tampak serius memandang dari berbagai sudut dengan satu fokus. Empat orang duduk menghadap mereka dengan posisi lebih tinggi. Mereka adalah Ahmad Gibson Al-Bustomi, Pungkit Wijaya, Bambang Q-Anees, M. Alfan.

“Buku ini merupakan kumpulan makalah tentang H. Hasan Mustapa”, cetus Gibson yang akrab disapa Baba Icon oleh para mahasiswanya, saat menjelaskan tentang buku yang sedang dibedah yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Akidah Filsafat bekerjasama dengan Sasaka dan Skylart sebagai penerbitnya.

Menurut Bambang, Buku berjudul “Filsafat Manusia Sunda” ini menjadi penting untuk dibaca oleh orang Sunda dalam kaitannya dengan Islam. Baginya buku tentang Islam dan Sunda hanya cocok ditulis oleh orang UIN ketimbang Unpad atau perguruan tinggi umum, karena baginya orang UIN memahami tentang Islam.”Mereka memang paham tentang Sunda, tetapi tidak paham tentang Islam”,tegasnya.

“Saat itu, kajian tentang Hasan Mustapa dikaji di Sophia, karena ada yang ingin belajar filsafat, namun juga ada yang ingin belajar tradisi sunda sehingga kanamnya menjadi Pasamoan Sophia”, tutur Bambang.

Baginya, pada masa di Barat sedang reaksioner terhadap fenomena modernitas, Hasan Mustapa tidak pernah menanggapi tentang persoalan rasionalitas kaitannya dengan Islam.”Hasan Mustapa tidak memilih menanggapi itu, tetapi tertarik untuk menanggapi persoalan yang bersentuhan dengan Sunda”,ujarnya.

Menurut Dosen Filsafat tersebut, “Pada masa Hasan Mustapa hidup hubungan antara Islam dan Sunda masih repot. Baru tahun 1960-an Endang Saefudin Anshari mengatakan bahwa Islam itu Sunda dan Sunda Itu Islam.”

Menurut penulis buku seri “Al-Qur’an Ku Keren” ini Hasan Mustapa merumuskan bagaimana Islam untuk orang Sunda dan Sunda bagi umat Islam.

“Ahmad Gibson membaca Hasan Mustapa melalui pendekatan Filsafat eksistensialisme. Ia secara tepat menggabungkan martabat tujuh antara Tuhan, semesta dan manusia”, telaah Bambang.

Baginya Ahmad Gibson berhasil merumuskan sasaka keislaman Hasan Mustapa. Padahal menurutnya, di Sunda sendiri, membaca Hasan Mustapa sangatlah rumit.

Bagi Bambang orang sunda tidak berani menggugat kata-kata yang sulit difahami sehingga menganggapnya sacral.” Oleh karena itu kadang dijadikan sebagai jimat”,tuturnya.

Dengan mengapresiasi Hasan Mustapa, bagi Bambang adalah merayakan bahwa di Sunda ada bangsawan pikiran, bangsawan pikiran yang hidup di Jawa selama ini tidak dikenal pada masyarakat Sunda, oleh karena itu baginya, di Sunda tidak hanya sebagai bangsa penguasa tapi juga bangsawan pikiran.

Bagi Bambang Q-Anees, bangsa penguasa orang sunda disimbolkan oleh Hasan Mustapa dengan tokoh si Boncel, yaitu manusia ideal sunda yang mengejar kuasa.

“Kehadiran buku ini adalah moment untuk  memaknai orang sunda yang terlempar, orang sunda yang mengalami inferioritas,”ia mengakhiri.

Sementara itu bagi pembanding, M. Alfan, menganggap bahwa kegalauan Baba Icon karena Hasan Mustapa tidak dianggap sebagai orang penting oleh budayawan sunda.

“Hal ini karena takut menerjemahkan bahasa sufistik seperti disampaikan oleh pak Bambang, kedua secara politis, sunda selalu kalah di dalam politik jika dibandingkan dengan Jawa, dan ketiga Hasan Mustapa berperan dengan tidak membangkitkan orang sunda sendiri”.

Alfan berharap bahwa mahasiswa bisa menjadikan Hasan Mustafa sebagai tokoh sunda. “Salah satu kekurangannya, buku ini tidak menjadi solusi karena hasil perenungan. Tetapi buku ini menjadi jembatan antara pemikiran sunda buhun dan jaman sekarang”.

Rencananya, kata Gibson segala penjualan dari buku ini akan disumbangkan kepada Yatim Piatu.  “Sebelumnya saya mohon izin terlebih dahulu kepada penerbit bahwa dari penjualan karya buku ini seluruhnya akan didedikasikan kepada Yayasan Anak Yatim yang dikelola oleh Dadang Kuswana di daerah Cipadung karena saya telah begitu banyak mendapatkan maafaat dari karya-karya HHM. Sekarang tinggal giliran anak-anak Yatim. Namun, untuk urusan akademik tetap saya yang bertanggungjawab atas buku ini,” pungkasnya  ***[Dudi, Ibn Ghifarie]

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *