Kami Mendengar, Kami Laksanakan

Jangan lupa cuci tangan! Kalau bersin juga batuk jangan sembarangan! Hindari salaman! Jauhi kerumunan! Dilarang mengadakan kegiatan yang melibatkan banyak orang! Kalau tidak ada keperluan yang mendesak lebih baik diam di rumah!

Begitu gencar pemerintah, tim kesehatan, relawan juga mereka yang diserahi tugas melawan Corona menyampaikan himbauan dan larangan itu. Tak kurang, BNPT juga Menkominfo mengirimkan pesan sejenis di handphone saya. Pendek kata, ruang publik kita hari ini seluruhnya disesaki oleh himbauan, permintaan juga larangan untuk tidak melakukan ini dan itu.

Dalam situasi normal, saat kondisi baik-baik saja sejumlah larangan di atas akan kita pandang sebagai bentuk intervensi negara terhadap kehidupan pribadi dan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Tapi dalam situasi hari ini, ketika wabah telah begitu menyebar dimana-mana dan kabar kematian begitu dekat dengan kita, rasanya kita tak bisa abai atau malah cuek dengan himbauan dan larangan di atas.

Tapi ini juga masalahnya. Sejak semula kita memang cuek, tenang-tenang saja menghadapi wabah ini. Ingat, ketika kita mendengar Wuhan dihajar Corona dengan ribuan korban kita menampik bahwa wabah ini mustahil tiba di halaman rumah dan bisa mengusik ketenangan kehidupan keseharian kita. Simaklah omongan seorang anggota kabinet yang menyebut bahwa virus Corona tak akan menyeberang ke nusantara. Bahkan sebelum virus itu tiba di bibir pantai ia sudah tewas bergelimpangan di tengah lautan.

Tak kalah menggemaskan, orang kedua di negeri ini pun “meremehkan” bahayanya. Indonesia tidak mungkin terpapar Corona karena kita terbiasa membaca doa qunut begitu menurutnya. Atau cukup dengan meminum susu kuda liar maka pasukan makhluk tak terlihat itu akan rontok serontok-rontoknya. Atau perhatikan juga candaan yang tak lucu dari salah seorang anggota Komisi IX Ribka Tjiptaning dari Fraksi PDIP yang menyingkat Korona dengan “Komunitas Rondo Mempesona”.

Andai saja pemerintah memiliki sense of crisis dan “penglihatan batin” yang baik tentang pola penyebaran dan pola penanggulangannya sejak pertama China terguncang, mungkin saja kita tidak akan melihat angka mereka yang terpapar dan mereka yang meninggal begitu mengkhawatirkan seperti sekarang. Jika saja sejumlah orang yang memiliki kedudukan istimewa memiliki kewaskitaan dalam membaca situasi, mulutnya terjaga lalu secara kongkrit melakukan langkah antisipasi, mungkin saja keadaannya tidak semengerikan seperti sekarang. Dan jika saja masyarakat sejak awal sudah memiliki kebiasaan yang baik tentang pola hidup, pola pikir dan pola makan sehat, tentu kejadiannya tak akan segenting seperti sekarang ini.

Sami’na wa atho’na. Kami mendengar dan kami taat. Ini yang harus kita lakukan hari ini. Di tengah kegagapan usaha negara membendung wabah yang datang, seluruh instruksi, himbauan atau perintah untuk menghindari dari terpapar wabah ini wajib kita patuhi. Ya, kami mendengar dan kami siap mematuhinya!

Semoga derita ini lekas usai. Semoga kecemasan yang setiap hari membelit kita segera menguap. Mereka yang terpapar lekas sembuh. Mereka yang meninggal beroleh tempat terindah di sisi Tuhan. Tak pernah ada yang abadi di dunia ini. Segalanya pasti berganti. Seluruhnya pasti berubah menjadi lebih baik dan kemudian melegakan untuk seluruhnya.

Fudhail bin Iyadh seperti yang dikutip oleh imam al-Ghazali mengatakan,

إنما هذا زمان احفظ لسانك واخف مكانك وعالج قلبك خذ ما تعرف ودع ما تنكر

“Sekarang adalah waktunya, tahan lisanmu, diam di rumahmu, obati hatimu dan ambillah yang baik, tinggalkan yang buruk”

Allahu a’lam[]

Garut, 2 April 2020.

Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *