JALAN KEMANUSIAAN KITA

Sebuah karya: Dodo Widarda

:Prof. Dr. Bambang Sugiarto

Duduk bersimpuh aku di altar kemanusiaan.
Kilau cahaya membeber layar sejarah.
Musim demi musim , datang dan pergi
tanpa henti. Nafas-Nya mengaliri para nabi, resi,
para Brahman, orang-orang suci. Dia—yang rahasia-Nya tersembunyi, madah paling agung, atau bahasa filsafat tak mampu
sampai pada kedalaman hakikat,
tajalli dalam aneka pergulatan hidup di alam fana
hanya Dia Yang Nyata. Lain-Nya bayangan semata.
Amstrong, membawa kita bertamasya, Guru,
merasakan hangat cahaya Sang Surya, bertugas
menerangi seantero mayapada. Juga angin nan
berhembus lembut dan segar. Membawa pada
akar kedalaman yang tak kita lupakan mutiaranya
di tengah asap serta kobaran
bara api penghancur segala
aku rasakan sejuknya “jalan cinta” tanpa debu-debu, lorong ini telah menjadi sangat panjang. Juga meluas bagi kembara rohani
berjiwa lapang.
Aku dendangkan jalan cinta ini.
Mutiara hikmah dari Rumi serta Ibnu ‘Arabi.
Guru berbicara rohani tercerahkan. Kitab suci
dari wahyu abadi Dzuriat Ibrahim, dari tanah Hindustani, serta kekayaan ritual China,
sulingan kemurnian pesan-pesan sucinya
untuk membasuh kemanusiaan
dengan tetes-tetes embun dari ketinggian samawi
terhalangi gumpalan awan hitam legam
kilatan-kilatan petir menghantam bumi.
Kulihat guratan merah di cakrawala menebar
aroma anyir darah, menyampaikan pesan-pesan penuh untaian nada kebencian.
Kita kembali lagi ke jalan cinta, Guru.
Bangunan-bangunan tingggi menggapai langit itu
menjadi sangat angkuh, kaku, kering kerontang.
Bersamamu kutata bangunan harapan baru.
Bahagia serta girangku seorang penyair
walau sadar kata-kata cinta tiada berdaya
menghadapi keangkuhan segala. Gerhana
melumat dunia, namun ketinggian nurani
harus tetap kita titipkan lewat semilir angin.
Kita menapak jalan kebenaran yang kita yakini.
Kalkulasi-kalkulasi analitis serta matematis
di tengah peradaban material kita. Mesin-mesin
serta robot dingin menorehkan pengaruh
pada cara kita melukis bianglala. Jalan nurani,
kreatif, imajinatif, sembari memperjuangkan
pesan-pesan keadilan serta kesetaraan adalah
“Madzhab Cinta” serta kemanusiaan kita:
Amstrong membantu menemukannya untuk kita.
Di taman ini, ditengah aroma mawar mewangi.
Satu dalam kemanusiaan jalan yang kita tapaki.
Terimakasih atas segala pencerahan, juga dari
sahabat dalam perjalanan. Lorong ini akan
semakin melebar dan meluas, ketika “kita semua”
belajar lepaskan segala baju keegoan
pasrah serta meleburkan diri pada Sang Abadi.
070123

Puisi ini dibuat sebagai tanggapan atas pengantar Prof. Dr. Bambang Sugiarto pada buku Karen Amstrong, “The Lost Art of Scripture, Seni Membaca Kitab Suci”, Bandung, Mizan, 2021.

Dodo Widarda, Dosen Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *