Ini Mati Bukan Giliranku

Saya biasanya memilih berdoa sendiri, merenung sendiri, saat kematian terdengar menimpa seorang saudara, sahabat, tetangga, atau kerabat jauh. Saya percaya betul kematian adalah nasihat terbaik bahwa hidup di dunia ini sementara, mau tak mau, siap tak siap akan ditinggalkan. Setiap ada kematian, selalu ada pertanyaan pada diri sendiri, “Sudah siapkah kamu?” Seraya memandang anak-anak yang masih kecil, cicilan bulanan yang masih beberapa tahun lagi, dan hutang kebaikan yang bukannya semakin lunas justru semakin bertambah lagi.

Maka kupilih sendiri saja merenungi kematian. Sambil mengingat pesan Rumi sebelum wafatnya:

“Aku harap kalian takut dengan Tuhan dimana pun kalian berada, makanlah sedikit saja, tidur sedikit, bicara sedikit, tahanlah diri kalian untuk melakukan kejahatan, tetaplah berdoa dan berpuasa, menerima tanpa mengeluh terhadap tingkah laku yang buruk dari orang lain. Orang terbaik adalah seseorang yang berbuat baik kepada semua orang, dan pembicaraan terbaik adalah pembicaraan yang sedikit dan ringkas, tapi komprehensif, dan semua pujian hanyalah milik Allah.”

Lihatlah betapa susah menjalankan satu atau dua saja dari nasihat ini. Terlebih nasihat “menerima tanpa mengeluh terhadap tingkah laku yang buruk dari orang lain”. Walau sudah berusaha memaafkan, mengeluarkan sisa perasaan negative akan orang lain, tetap saja rasa kesal mendekam di hati ini, lalu dengan mengendap membajak sikap dan perilaku. Maka, bukan kematian orang tertentu yang membuatku bersedih, namun keinsyafanku untuk hidup lebih baik yang membuatku terdiam lama.

Hari ini, ada kabar salah seorang senior di Fakultas Ushuluddin, Dr. H. Nursomad Kamba, wafat. Sebelumnya senior lain, Dr. H. Adeng Muchtar Ghozali. Sebelumnya lagi Prof. Dr. H. Abdul Rozak. Betapa bertubi-tubi. Jika kematian seperti burung, ia mungkin berputar-putar di atas kepala kami civitas akademika Fakultas Ushuluddin, pernah juga berputar di atas kepalaku, lalu mereka memilih dua orang senior itu. Atau mungkinkah dua orang senior itu yang menangkap burung itu, “Biar saya dulu, saya sudah siap”.

Saya percaya Dr. H. Nursomad Kamba kenal betul puisi Rumi ini:

“Mengetahui bahwa adalah Engkau yang mengambil kehidupan,
kematian menjadi sangat manis.
Selama aku bersama-Mu,
kematian bahkan lebih manis
dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri”

Pada mereka para seniorku, tak sempat mengantar ke kuburnya. Tapi saya percaya mereka telah berbahagia dalam kematian yang lebih manis dari kehidupan. Saya percaya mereka tak merasa kesal karena tak kutemui kubur mereka, karena seperti Rumi, mereka juga berbisik:


“Ketika kami mati, jangan mencari makam kami di bawah tanah. Kalian bisa menemukan kami di dalam hati-hati yang penuh dengan cinta.”

Bulan-bulan ini, Fakultas tempatku bekerja ditinggal para seniornya, hingga yang tersisa adalah para yunior yang masih labil.[pada bulan yang sama saya menyaksikan angka kematian diumumkan seperti perolehan suara pada pemilihan Presiden]. Setelah ini fakultas kami jadi kumpulan orang-orang muda yang harus menanggung beban berat menjadi suluh yang menerangi gelapnya jalan ihwal ilmu ushuludin. Ya, Fakultas kami menanggung tugas menyebarkan ilmu Ushuludin, yang kajiannya berkisar pada hal pokok dalam agama Islam: Aqidah, Al-Quran, Hadits, Filsafat, Tasawuf, dan studi agama. Fakultas kami adalah fondasi bagi ilmu-ilmu keislaman lainnya di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Bisakah gerombolan anak-anak muda menanggung tugas berat ini? Ataukah kami tetap sibuk mengejar satu scopus ke scopus lain, satu ambisi ke ambisi lain?

Segera seekor burung hinggap di jendela kesadaranku, juga kesadaranmu, dan berbisik, “Ini mati bukan giliranmu, kelak mati jadi giliranmu!!”

Dr. Bambang Q-Anees, M. Ag, dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *