Generasi yang Merdeka

Apakah Indonesia belum merdeka? Sehingga gegap gempita menyambut program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka dari Mendikbud Nadiem Makarim. Setidaknya, dalam pandangan Mas Menteri, siswa & mahasiswa Indonesia masih “dijajah”, sehingga harus “dimerdekakan”.

Secara substansial, program Mendikbud cukup meng-inspirasi, bahkan menyadarkan banyak pihak bahwa fokus pendidikan adalah siswa & mahasiswa. Pemerintah membuat aturan, lembaga pendidikan menyelenggarakan PBM, guru & dosen mengajar, serta semua aspek terkait pendidikan, harus difokuskan memberikan manfaat pada siswa & mahasiswa.

Oleh karena itu, dalam konteks pembangunan bangsa, Negarawan & Presiden AS ke-26: Franklin D. Roosevelt beramanah, “Kita tidak selalu bisa membangun masa depan untuk generasi muda, tapi kita dapat membangun generasi muda untuk masa depan.” Membangun generasi muda dalam konteks Nadiem Makarim adalah memerdekakan siswa dan mahasiswa dari kungkungan piranti pendidikan yang tidak memberikan aspek manfaat.

Memerdekakan siswa & mahasiswa bervisi membangun generasi terbaik. Pembangunan insprastruktur & suprastruktur negara sejatinya bertujuan menciptakan lingkungan terbaik bagi perkembangan fisik, mental, dan moral generasi. Itulah projek kolosal Pemerintahan dan sangat tepat jika dimotori Kemendikbud karena pendidikan faktor penentu generasi unggul.


Bung Karno pun berujar, ”…. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.” Sepuluh pemuda dimaksud, buka pemuda loyo karena kurang gizi; bukan pemuda penakut, pengecut, dan un-istiqomah; bukan pemuda pemimpi dan hanya berimajinasi karena bergelut sajian hedonistik, materialistik, sekurelistik, dan mistik. Namun, pemuda sehat & kuat, bermental baja, dan bermoral baik.

Kendati untuk menciptakan generasi seperti itu bukan pekerjaan mudah. Kata Cut Nya Dien, “Penjagaan terbaik bagi generasi muda adalah contoh yang baik dari generasi tua.” Karena manusia dalam pandangan Filsuf Aristoteles mahluk mimesis: perilakunya hasil peniruan dari lingkungannya. Kendati dapat melalui hasil belajar, tetapi belajar terbaik, kata Albert Bandura, berlajar sosial.

Jika Indonesia ke depan ingin lebih baik, maka pengelola negara harus memberikan contoh terbaik. Perilaku mereka harus menjadi suri tauladan bagi generasi pewaris negara. Profile Nadiem Makarim adalah pemuda sukses, semoga menjadi tauladan bagi generasi berikutnya untuk sukses sebagai generasi merdeka.

Sajian Media yang Merdeka
Apalagi generasi milineal, hidup dalam cakrawala globalisasi dunia. Mereka mudah menyaksikan dan meniru apa saja yang terjadi di media massa. Oleh karena itu, keteladanan positif pengelola negara belum cukup jika tidak diimbangi visi positif dari pengelola media. Mereka harus ikut serta menciptakan generasi merdeka dari efek buruk konten media massa. Jika perilaku pengelola negara buruk, disajikan dalam media yang buruk, maka lahirlah generasi madesu (masa depan suram). Jika perilaku pengelola negara positif, media bervisi positif, maka lahirlah generasi madegus (masa depan bagus).

Seperti halnya kebijakan media penyiaran, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran plus Pedoman Perilaku Penyiaran & Standar Program Siaran (P3-SPS), secara umum bervisi positif bagi generasi karena mendorong perlindungan dan penyelamatan anak dan remaja; Konten siaran diatur harus disajikan bervisi menyelamatkan generasi. Namun faktanya, masih ada juga sejumlah lembaga penyiaran yang sebaliknya.


Sepanjang 2019, KPID Jabar menangani 3.432 indikasi temuan dan 711 aduan terkait pelanggaran konten siaran televisi dan radio. KPID Jabar pun menjatuhkan 2.968 sanksi: lembaga penyiaran lokal 135 dan 2.833 rekomendasi sanksi pada lembaga penyiaran Jakarta. Pelanggaran konten tersebut didominasi pasal perlindungan anak : 2.141 kasus dan 1.852 kasus terkait penempatan program acara yang seharusnya pada waktu siaran klasifikasi remaja dan/atau dewasa, tetapi ditempatkan pada klasifikasi anak.

Laporan KPID Jabar tersebut mengisaratkan, konten siaran pada lembaga penyiaran di Jawa Barat belum ramah anak, sehingga berpotensi berdampak buruk pada karakteristik anak. Kendati realitas tersebut terjadi pada radio dan televisi, tetapi dapat menjadi miniatur bagi konten media massa lainnya, terlebih konten media sosial yang kasat mata banyak menuai masalah, sehingga diindikasikan lebih buruk.

Banyak hal yang menjadi alasan konten siaran tidak ramah anak, mungkin tidak seratus persen kesalahan lembaga penyiaran. Secara teoretis, konten media massa merupakan kontruksi sosial lingkungan masyarakat. Ketika pada lingkungan masyarakat banyak peristiwa buruk, maka sajian media massa cenderung buruk, baik program siaran jurnalistik maupun non-jurnalistik, seperti, film, sinetron, video klif, iklan, dan sejenisnya.

Oleh karena itu, problem tersebut tidak dapat dijawab hanya dengan memperbaiki konten siaran, tetapi juga dengan perubahan kehidupan sosial masyarakat, di antaranya ditentukan oleh sikap dan perilaku Pemerintah, publik figur yang menjadi mimesis bagi anak dan remaja, serta kesadaran masyarakat untuk menolak konten siaran buruk dan hanya menikmati program siaran sehat dan mendidik. Menciptakan generasi merdeka dari perilaku buruk bukan hanya tugas Mendikbud, tetapi tugas kita bersama. Karena pada dasarnya, pendidikan adalah diri kita dan lingkungan kita yang mempola generasi kita ke depan.

Mahi M. Hikmat, Koordinator Pengawas Isi Siaran KPID Jawa Barat, Pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Jawa Barat, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 5 Februari 2020

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *