Episode Terakhir Kartini

Dua puluh lima tahun usia Kartini saat ia menutup matanya untuk terakhir kali. Hanya empat hari setelah melahirkan ia bisa merasakan kebahagiaan menjadi seorang ibu. Atau mungkin Kartini belum sempat merasakan kebahagiaan itu diakhir hidupnya.Muncul pertanyaan dibenak penulis kenapa Kartini meninggal dalam usia yang begitu muda dan habis melahirkan? Jangan-ja­ngan kematian kartini berhu­bungan erat dengan peristiwa melahirkan yang dialaminya.

Melahirkan merupakan peristiwa reproduksi perempuan, dimana pertaruhkan hidup dan mati seorang ibu ditentukan. Setelah mengandung selama 9 bulan, seorang ibu harus ber­juang sekuat tenaga mengeluar­kan seorang bayi yang dikan­dungnya. Kesehatan reproduksi tidak sekedar berkaitan dengan hamil dan melahirkan. Kesehatan reproduksi merupakan keadaan kesejahteraan fisik, mental dan social yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan dalam segala hal yang berhubungan dengan system reproduksi dan fungsi serta proses-prosesnya.

Kondisi mental dan social sangat berkatan erat dengan kondisi fisik seorang perempuan dalam proses kehamilan dan melahirkan. Bila kita membaca surat kartini yang menceritakan kondisi social di jaman itu betapa kondisi social yang feodal telah merampas kebebasan dan kesehatan mental setiap individu.

Sebagai contoh, Kartini sebagai anak perempuan tertua seringkali merasa tidak enak bila adik-adiknya berpapasan dengannya maka mereka harus berjalan dengan berjongkok. Dia meng­akhiri semua itu dan mem­bolehkan adik-adiknya berjalan sejajar bila berpapasan dengan Kartini.Semua adik perempuan Kartini sudah menikah.

Tinggal kartini yang belum menikah. Sudah be­berapa kali ayahnya menjo­doh­kan Kartini namun semua dito­lak­nya dan ia tetap berkon­sentrasi mengajar para perem­puan disekitar rumahnya. Sampai suatu saat usia Kartini memasuki 24 tahun, ayahnya sakit. Saat itupula seorang adipati yang beristri 3 melamar Kartini sebagai istri ke-4. Dengan terpaksa Kartini menerima lamaran itu karena khawatir dengan kesehatan ayahnya. Hanya 10 bulan perni­kahan itu berlangsung karena harus dihentikan yang Kuasa dengan memanggil Kartini dipelukan-Nya.

Usia singkat kartini ini telah menorehkan tinta emas dalam se­jarah bangsa Indonesia. Di­mana Indonesia pernah memiliki perempuan terbaik di zamannya yang telah membaktikan dirinya untuk pendidikan terutama pen­didikan perempuan. Dimana pendidikan kaum perempuan menurut Kartini bukan untuk me­nyaingi kaum laki-laki. Pen­didikan bagi perempuan sa­ngat besar artinya untuk kehi­dupan. Karena bila perempuan sudah terdidik maka dia akan mudah melaksanakan kewajiban­nya mendidik anggota keluar­ganya.

Saat ini bermunculan Kartini-Kartini di Indonesia. Jumlah mereka tertinggi seAsia Tenggara. Lho apa maksudnya? Ya perem­puan Indonesia yang meninggal setelah melahirkan tenyata sangat tinggi.

Angka Kematian Ibu (AKI) berjumlah 228/100.000 kelahiran (versi dinkes RI) atau 420/100.000 kelahiran (versi PBB) informasi ini ada dalam buku Memberantas Kemiskinan dari Parlemen karangan Adriana Venny yang baru Launching ahir 2010 lalu.Faktor Penyebab Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI)Beranjak pada tingginya Aki di Indonesia, penulis menyadari bahwa masalah AKI merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan multidimensi.

Semestinya masalah kesehatan reproduksi perempuan mem­bu­tuhkan keterlibatan dan kepe­dulian banyak pihak, keluarga, masyarakat, agamawan, ahli medis, aparat hokum, maupun para pembuat kebijakan.Setidaknya ada empat aspek yang menyebabkan tingginya AKI di Indonesia. Pertama, budaya patriarki. Budaya ini menempatkan laki-laki sebagai pihak yang sangat diuntungkan, diutamakan bahkan dilayani, atau lebih sebagai makhluk yang aktif dalam hubungan seksual.

Hal ini tercermin dari pola asuh anak laki-laki yang dididik aktif dan bekerja keras. Hal itu terkait anggapan bahwa anak laki-laki akan menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab member nafkah keluarga.Sedangkan perempuan diposisikan sebagai pihak yang harus melayani, berbakti dan patuh. Implikasi dan penerapan budaya ininanak perempuan senantiasa dididik untuk melayani segala kebutuhan ayah, kakak dan adik laki-laki. Me­nger­jakan pekerjaan rumah tangga, bersikap sabar, lemah lembut dan pasrah.

Pola sasuh ini terkait dengan pelebelan bahwa anak perempuan nantinya akan menjadi ibu rumah tangga yang mendapat nafkah dari suaminya.Karena pola asuh seperti itu yang terinternalisasi dan menjadi budaya, maka saat perempuan hidup berumah tangga, akan melakukan hal yang sama yang menurutnya merupakan kewa­jaran untuk dilakukan. Misalnya karena dididik untuk meng­hormati dan melayani suami ma­ka dalam mengkon­sumsi ma­kanan, istri senantiasa men­dahulukan suaminya.

Kebiasaan ini juga terjadi saat hamil, sehingga suami mengkonsumsi makanan yang bergizi lengkap sedangkan istri hanya meng­konsumsi sisanya. Selain itu ke­putusan untuk memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu atau perencanaan memiliki anak ditentukan suami. Akibatnya istri dipaksa untuk terus hamil dan melahirkan jika ketentuan jumlah anak dan jenis kelamin tertentu belum didapat.Kedua, factor kesehatan. Hal ini ditandai dengan minimnya fasilitas kesehatan. Misalnya biaya kesehatan yang mahal, mi­nimya tenaga medis, akses infor­masi atau penyuluhan kesehatan belum kasimal, minimnya puskesmas didaerah-daerah terpencil.Ketiga, Sistem hukum dan kebijakan public yang tidak berpihak pada perempuan.

Misalnya keberadaan UU no 23 tahun 1992 tentang Kesehatan pada pasal yang melarang aborsi dalam segala bentuknya. Se­hingga semakin banyak aborsi illegal. AKI yang sangat tinggi ini diantaranya juga 35-50% disumbang oleh praktek aborsi yang tidak aman. (Sumber: Direk­torat Bina Kesehatan Masyarakat Depkes). Diperkirakan setiap tahun terjadi 1 juta aborsi akibat kegagalan KB maupun karena tidak pakai alat KB.

Selain itu factor seperti larangan laki-laki (pasangan) untuk hamil, keluarga, masyarakat, atau aturan hukum (KUHP), kurang informasi dan akses kepada layanan kesehatan, menyebabkan banyak perempuan pada kasus Keha­milan yang Tidak Diingin­kan(KTD) melakukan upaya sen­diri atau minta bantuan tenaga yang tidak kompeten sehingga terjadilah aborsi yang tidak aman yang kemudian mengakibatkan kematian ibu. Sesungguhnya aborsi banyak dilakukan oleh perempuan yang terikat dengan pernikahan.Keempat pemahaman agama yang bias gender. Misalnya masih kuatnya anggapan bahwa kematian ibu akibat reproduksi adalah semata karena takdir tuhan sehingga dianggap mati syahid. Mati syahid ini ter­manifestasi dari hadis nabi yang menyebabkan 7 kategori mati syahid, terbunuh dalam perang fisabilillah, orang yang mati karena keracunan lambungnya, tenggelam dalam air, pinggangnya terkena virus, terkena lepra, terbakar api, tertimbun bangunan dan perempuan yang mati karena melahirkan.

Jika kita melihat konteks hadis secara detail maka yang tampak 5 unsur diatas antara penyakit dan musibah adalah factor ketidak sengajaan, atau setelah dilakukan upaya penyembuhan yang maksimal. Begitu juga dengan perang, seperti latihan perang, strategi dan persiapan fisik. Sedangkan kematian perempuan yang melahirkan di­se­babkan oleh hak-hak perem­puan hamil yang diabaikan atau tidak dipenuhi, misalkah kurang­nya asupan gizi, beban ganda (mengerjakan pekerjaan rumah tangga juga bekerja keras mencari nafkah di luar) atau secara psi­kologis tertekan karena perni­kahan atau kehamilan. Sehingga apakah kematian yang diciptakan dengan sengaja layak disebut syahid?132 tahun sudah Kartini me­ninggalkan bumi pertiwi. Namun namanya masih terus diingat oleh bangsa Indonesia.

Semoga bukan cara kematian kartini yang diikuti oleh para perempuan di Indonesia, melainkan semangatnya untuk terus menjadikan kaum perempuan di negeri ini mendapatkan kondisi kehidupan yang lebih baik. AKI yang tinggi harus kita hentikan. Hal ini bisa diwujudkan mulai dari keluarga. Dengan berbagi peran seimbang antara suami, istri, anak perempuan dan anak laki-laki. Selain pembagian peran yang seimbang, juga poisis tawar istri harus diperjuangkan.

Selanjutnya peningkatan pelayanan dan akses informasi kesehatan re­produksi perempuan, men­cip­takan peraturan hukum terutama mengamandemen UU no 23 tahun 1992 dengan pem­bahasan yang mengikutsertakan anggota masyarakat diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan perempuan dan anak. Yang tak kalah penting juga melakukan reinterpretasi terhadap tafsir ayat-ayat keagamaan dengan kacamata yang adil. Wallau ‘alam.

Neng Hannah, Mengajar di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber Radar Banten, 21 April 2011

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter