UINSGD.AC.ID (Humas) — Banyak profesor di perguruan tinggi Indonesia, baik secara sengaja maupun tidak, menerbitkan karya ilmiah di jurnal predator atau berpotensi predator. Sebuah studi terbaru menemukan bahwa 8 dari 10 profesor (80%) telah menerbitkan di jurnal yang tidak dapat diandalkan ini sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang keahlian dan kredibilitas akademis mereka.
Penelitian ini dilakukan oleh para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang tergabung di Marepus Corner, yaitu Fachri Aidulsyah, Dwiyanti Kusumaningrum, Yulianda Nurul Aini, dan Mochamad Wahyu Ghani (https://www.kompas.id/artikel/guru-besar-indonesia-terjerat-jurnal-predator).
Profesi akademik sangat dihormati karena perannya dalam memajukan pengetahuan dan membentuk generasi masa depan. Banyak ilmuwan bercita-cita menjadi profesor, tertarik oleh kebebasan intelektual, penghormatan, dan pengaruh yang dimiliki oleh posisi tersebut. Namun, jalur menuju posisi profesor dipenuhi dengan tantangan, termasuk tekanan untuk menerbitkan banyak karya ilmiah.
Tekanan ini membuka pintu bagi fenomena yang semakin bermasalah dalam akademia: jurnal predator. Jurnal-jurnal ini menawarkan jalan pintas yang menggoda untuk publikasi cepat, tetapi membawa risiko besar yang dapat merusak karier seorang ilmuwan.
Ambisi Menjadi Profesor
Menjadi profesor adalah perjalanan panjang dan penuh tantangan yang biasanya membutuhkan bertahun-tahun pelatihan akademis, penelitian, dan pengalaman mengajar yang ketat. Pada intinya, ambisi ini didorong oleh hasrat untuk pengetahuan, keinginan untuk berkontribusi pada bidang studi tertentu, dan kesempatan untuk membangun reputasi dan pengaruh di kalangan mahasiswa dan rekan sejawat.
Selain itu, ambisi menjadi profesor didorong oleh daya tarik kebebasan akademik dan kemampuan untuk bekerja pada proyek-proyek yang sesuai dengan minat pribadi dan profesional. Namun, dunia akademik sangat kompetitif. Faktor paling penting untuk mendapatkan posisi profesor adalah portofolio penelitian yang kuat dan catatan publikasi yang mengesankan.
Profesor diharapkan secara konsisten berkontribusi pada bidang mereka melalui publikasi penelitian berkualitas tinggi di jurnal bereputasi.
Tekanan ini bisa sangat berat, terutama bagi akademisi yang baru memulai karier atau mereka yang berada di lembaga dengan sumber daya terbatas yang harus menyeimbangkan tanggung jawab mengajar dengan kebutuhan untuk menerbitkan karya ilmiah.
Di sinilah, muncul apa yang disebut dengan jurnal predator (predatory journal) dengan godaannya yang sangat kuat dan sering tidak dapat ditahan oleh calon profesor.
Godaan Jurnal Predator
Jurnal predator adalah outlet publikasi yang mengeksploitasi tekanan untuk menerbitkan dengan menawarkan publikasi mudah dan cepat tanpa proses tinjauan sejawat yang ketat seperti yang dilakukan oleh jurnal bereputasi.
Jurnal-jurnal ini biasanya membebankan biaya tinggi kepada penulis, menghasilkan uang dari jumlah pengajuan yang mereka terima daripada berfokus pada kualitas atau dampak penelitian. Jurnal predator dapat ditelusuri pada daftar yang disusun oleh Jeffrey Beal sehingga dikenal dengan “Beall’s List of Potential Predatory Journals and Publishers” (https://beallslist.net).
Berbeda dengan jurnal akademik yang berintegritas, jurnal predator sering kali tidak transparan dalam proses editorial mereka, tidak memiliki sistem tinjauan sejawat yang kuat, dan mungkin memiliki klaim yang menyesatkan tentang dampak atau pengindeksan mereka di basis data akademik. Banyak dari jurnal-jurnal ini menggunakan taktik menipu untuk terlihat kredibel, termasuk mengadopsi nama yang mirip dengan jurnal terkenal atau mengklaim afiliasi palsu dengan institusi akademik bereputasi. Mengapa jurnal predator begitu menggoda?
Ada beberapa alasan mengapa jurnal predator bisa menarik bagi calon profesor. Pertama, tekanan untuk menerbitkan tulisan ilmiah. Budaya “publish or perish” (terbitkan atau binasa) di dunia akademik menempatkan tekanan besar pada para ilmuwan, terutama mereka yang berada di jalur karier tetap, untuk menghasilkan banyak penelitian. Jurnal predator menawarkan cara mudah untuk meningkatkan jumlah publikasi dengan cepat.
Kedua, proses cepat. Tidak seperti jurnal bereputasi yang sering membutuhkan waktu berbulan-bulan (bahkan bertahun-tahun) untuk menyelesaikan proses tinjauan sejawat dan publikasi, jurnal predator menjanjikan publikasi cepat, kadang-kadang dalam hitungan hari atau minggu. Tentunya, hal ini biasanya mesti dikompensasi dengan membayar biaya proses penerbitan yang sangat mahal. Ketika, penerimaan yang mudah. Jurnal predator memiliki standar penerimaan yang rendah atau bahkan tidak ada. Peneliti yang kesulitan mendapatkan karya mereka diterima di jurnal bereputasi mungkin melihat jurnal ini sebagai alternatif yang nyaman.
Keempat, kurangnya kesadaran. Dalam beberapa kasus, terutama di kalangan akademisi yang baru memulai karier atau mereka yang berasal dari negara berkembang seperti Indonesia, para ilmuwan dan dosen mungkin tidak sepenuhnya menyadari risiko yang terkait dengan jurnal predator. Janji publikasi cepat dan mudah bisa sangat menggoda, terutama ketika batas antara jurnal bereputasi dan predator kabur oleh praktik menipu.
Terakhir, jalur cepat kemajuan karier. Bagi sebagian orang, terutama mereka yang baru memulai karier atau berada dalam posisi akademik yang tidak pasti, tekanan untuk membangun catatan publikasi bisa membuat mereka mengabaikan konsekuensi potensial dari menerbitkan di jurnal predator.
Dampak Menerbitkan di Jurnal Predator Daya tarik langsung jurnal predator memang luar biasa menggoda. Banyak dosen yang lolos meraih jabatan akademik sebagai profesor dengan publikasi di jurnal predator seperti pada hasil penelitian BRIN di atas. Namun, konsekuensi jangka panjangnya bisa sangat parah, mempengaruhi baik karier individu, komunitas akademik secara keseluruhan, dan lembaga pendidikan tinggi.
Risiko terbesar dari menerbitkan di jurnal predator adalah kerusakan yang dapat ditimbulkannya pada reputasi seorang ilmuwan dan akademisi. Rekan akademik dan panitia seleksi dosen dan guru besar sekarang semakin sadar akan masalah penerbitan predator. Seorang dosen yang menerbitkan di jurnal predator menghadapi kerusakan reputasi yang signifikan karena publikasi ini sering dipandang dengan kecurigaan. Jika CV seorang profesor berisi sejumlah besar publikasi di jurnal yang tidak dapat dipercaya, maka hal itu dapat menimbulkan pertanyaan tentang kredibilitas mereka dan kualitas penelitian mereka.
Menerbitkan di jurnal predator juga dapat menimbulkan persoalan etis dan integritas akademik. Para ilmuwan diharapkan untuk menjunjung standar tertinggi integritas akademik, termasuk memastikan bahwa karya mereka ditinjau dan dievaluasi dengan benar sebelum diterbitkan.
Penelitian yang diterbitkan di jurnal predator sering kali memiliki dampak ilmiah yang terbatas. Ia gagal menjangkau komunitas akademik yang berpengaruh dan menarik mereka untuk menganggapnya karya serius dan mengutipnya dalam karya mereka.
Akhirnya, ada implikasi bagi reputasi institusi tempat profesor bekerja dan bahkan negara mereka. Universitas dan pusat penelitian menghargai reputasi anggota fakultas mereka, dan ketika profesor menerbitkan di jurnal predator, hal itu mencerminkan buruk pada institusi tersebut. Pada saat yang sama, perilaku tidak terpuji ini dapat merusak nama baik negara dan bangsa mereka di mata ilmuwan global.
Memang godaan untuk menerbitkan di jurnal predator mungkin terlihat menarik bagi calon profesor yang berada di bawah tekanan untuk membangun catatan publikasi. Namun, risiko jangka panjangnya jauh lebih besar daripada manfaat jangka pendeknya dalam bentuk apa pun.
Asep Muhamad Iqbal, Direktur Centre for Asian Social Science Research (CASSR), FISIP, UIN Bandung.