AKAR KONFLIK SUNNI-SYIAH

Konflik Syiah dan Sunni merupakan konflik yang dilandasi motif kekuasaan, bukan motif agama. Persaingan tersebut diwakili oleh rezim keturunan (bani) Umayah dan keturunan (bani) Hasyim berebut kekuasaan pasca wafatnya Rasulullah. Namun, dalam rangka melegitimasi dan meraih simpatik, kedua belah pihak menarik konflik politik ke dalam isu agama.

 

Dengan berbagai rekayasa, diciptakanlah isu-isu peyimpangan pandangan akidah. Kedua belah pihak menganggap keyakinan dan praktik kesyariatan para pendukung yang bersebrangan sebagai keyakinan keliru. Diciptakan isu-isu penyimpangan, seperti kerasulan Imam Ali, para pihak yang berhak menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad, dan lain-lain.

 

Isu penting yang diangkat oleh kelompok Syiah terkait aliran Sunni adalah perihal legalitas kekuasaan para pendahulunya, seperti Abu Bakar, Umar, dan Usman. Sebagian aliran Syiah menganggap bahwa kekuasaan yang diraih oleh ketiga khalifah tersebut ilegal, karena merebut hak wasiat yang seharusnya diterima oleh Imam Ali.

 

Kelompok Syiah merupakan kelompok Arab yang menjaid pendukung Imam Ali. Sedangkan, Sunni diindikasikan sebagai kelompok Arab yang mendukung Muawiyah dalam konflik kekuasaan. Ketika Imam Ali berkuasa, pusat kekuasaan dipindahkan ke Bashrah, yang sebelumnya berada di Madinah selama beberapa periode khalifah sebelumnya. Ketika Muawiyah berkuasa, setelah berhasil menggulingkan Hasan bin Ali, ibu kota pemerintahan dipindah ke Damaskus.

 

Pemindahan ibukota oleh Imam Ali ke Bashrah tidak lepas dari strategis kekuasaan. Basrah merupakan merupakan basis kekuatan Ali, karena sebelumnya dia menjadi gubernur di sana pada masa kekhalifahan Usman. Untuk membangun banteng kekuasaannya, Ali menjadikan Bashrah sebagai tempat menjalankan kekuasaan.

 

Pemindahan ibukota oleh Muawiyah ke Damaskus juga karena pertimbangan kekuasaan. Sebelumnya, pada masa Usman berkuasa, Muawiyah adalah gubernur Damaskus, yang kekuatannya telah cukup kuat tertanam di sana. Sehingga, ketika kekuasaan puncak (khalifah) ada di tangannya, Damaskus dijadikan sebagai benteng pertahanan kekuasaan.
Isu saling sudutkan antara para pengikut Ali dan Muawiyah tidak lagi pada tataran politik. Terdapat sebagian pengikut Sunni yang menghubungkan legalitas Syiah dengan orangtua Imam Ali, yaitu Abu Thalib. Dalam rangka menyudutkan kaum Syiah, dihembuskanlah isu bahwa Abu Thalib berada dalam kemusyrikannya, tidak menyatakan beriman kepada  kerasulan Muhammad. Diyakini oleh mereka bahwa perlindungan fisik yang diberikan Abu Thalib kepada Muhammad dari gangguan orang-orang Quraisy yang mengingkari kerasulannya lebih dikarenakan sisi kemanusiaan, bukan berhubungan dengan keimanannya.

 

Diangkatnya isu Abu Thalib sebagai orang yang tidak mengimani kerasulan Muhammad sekadar loncatan untuk membidik keberadaan kelompok Syiah yang berptaron kepada Ali. Target isu ini adalah bahwa bapak kelompok Syiah merupakan orang yang lahir dari orang yang tidak meyakini kebenaran kerasulan Muhammad. Melalui penalaran ini, kesimpulan yang mau diarahkannya adalahpenegasan secara tidak langsung bahwa Syiah berasal dari orang yang leluhurnya bukan orang beriman.

 

“Pertengkaran teologis” Sunni-Syiah merupakan efek domino dari konflik kekuasaan. Para “penggila kekuasaan” menyeret masyarakat untuk masuk ke dalam lingkup kepentingan politik. Pertengkaran Sunni-Syiah merupakan pertarungan hampir abadi yang terjadi sepanjang  sejarah umat Islam. Sampai saat ini, pertarungan bekas kekuasaan tersebut menjadi pemicu yang paling mudah meledakkan emosi masyarakat. Sentuhan-sentuhan kecil yang dibalut dengan isu penyeimpangan akidah sangat mudah membakar permusuhan.

 

Di Indonesia, konflik Sunni-Syiah bukan didasari pada konflik kekuasaan, melainkan kekeliruan sebagian masyarakat dalam menerima informasi ajaran mengenai teologi. Selain itu, rezim masa lalu pun memberikan kontribusi dalam munculnyas konflik Sunni-Syiah.
Pada masa Orde Baru, Syiah dianggap sebagai agen revolusi yang berhasil menggulingkan para penguasa otoriter. Para penganut Syiah dianggap sebagai para pengekspor revolusi Iran dan revolusi lainnya yang didalangi kekuatan Syiah.

 

Sebagai bandingan, dalam sejarah kerajaan Islam di Jawa pernah terjadi penghukuman mati Syaikh Siti Jenar oleh kekuasaan Demak. Siti Jenar yang berhaluan Syiah, oleh kekuasaan Demak diisukan membawa dan menyebarkan ajaran sesat. Akibatnya, dia dihukum mati. Fakta yang sebenarnya adalah bahwa Syaikh Siti Jenar merupakan pemimpin gerakan bawah tanah para pengikut Syiah di Indonesia yang akan mendongkel kekuasaan Demak yang berhaluan Sunni. Alasan sosial yang paling mudah diterima oleh masyarakat untuk melegitimasi tindakan politik kekuasaan Demak ketika itu adalah diangkatnya isu bahwa Syaikh SIti Jenar menganut dan menyebarkan ajaran sesat, yaitu ajaran manunggaling gusti ing insun (Tuhan menyatu dalam diriku).

Deddy Ismatullah, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Guru Besar Hukum Tata Negara

Sumber, Pikiran Rakyat 30 Agustus 2012

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *