Zakat belum Jadi Piranti Menyejahterakan Fakir-miskin

[www.uinsgd.ac.id] Ada beberapa langkah dalam memaksimalkan potensi zakat untuk menyejahterakan fakir-miskin di negeri ini. Pertama, perlu perbaikan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan zakat, yang tidak sekadar kumpulan pasal-pasal namun juga dapat diterima, punya daya ikat dan daya paksa. Kedua, perlu perbaikan sistem amil zakat oleh Badan Amil Zakat Nasional (LAZNas) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Karena lembaga-lembaga zakat di daerah belum seluruhnya terakreditasi sebagai LAZ yang dijamin undang-undang.

“UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat seharusnya menjadi alat kekuasaan negara yang punya daya paksa bagi para wajib zakat demi menyejahterakan fakir miskin. UU ini diinduksi dari konsep ekonomi Islam, namun materi dan substansinya belum terumuskan secara sistematis, baik pada tataran konsep maupun institusional dalam mengelola zakat,” jelas Dr Ah Fathoni, M.Ag seusai Sidang Promosi Doktor di aula utama UIN SGD Bandung, belum lama ini.

Permasalahan itulah yang menyebabkan pengelolaan zakat belum menjadi piranti dalam menyejahterakan fakir-miskin. UU No 23/2011 materinya yang masih lemah. Konsideran yang digunakan dalam UU itu tidak memiliki daya ikat dan daya paksa –seperti yang tertera pada pasal 21 dan 22. Ini sangat berbeda dengan konsideran UU No 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

UU No 23/2011 lahir atas dasar pertimbangan bahwa negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk beribadah menurut agamanya dan memberikan aturan hukum setingkat UU bagi upaya pendayagunaan pengelolaan zakat. “Seharusnya, jika si wajib zakat tidak berzakat, tidak saja melanggar kewajiban agama, tetapi juga melanggar aturan negara. Dan, ia bisa dikenakan sanksi,” jelas Fathoni, yang kini menjabat Wakil Dekan III Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Bandung ini.

Di UU No 23/2011 itu tidak memuat pasal tentang sanksi bagi muslin atau badan usaha yang mengabaikan zakat, yang ada adalah sanksi administratif dan pasal tentang ketentuan pidana bagi amil zakat. “Terlihat lemah juga, di UU itu tidak memberikan tanggung jawab atas BAZNAS atau LAZ untuk bertindak dan bertanggung jawab memungut zakat dari muzakki, apalagi bertanggung jawab meneliti dan menghitung harta muzakki,” ujar Fathoni.

Wajar kalau masyarakat di negeri ini tidak beranjak dari kemiskinan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) hingga 2013 angka kemiskinan masih tinggi, yakni 28,07 juta (11,37% penduduk Indonesia).  Fakta lain,  mayoritas umat Islam masih berdesak-desakan, bahkan sampai ada yang meninggal, gara-gara berebut jatah zakat. Begitu juga pada saat pembagian daging kurban, umat Islam  antre untuk mendapatkan sekilo gram daging kurban. Belum lagi melihat pengemis dan gelandangan di setiap perempatan jalan.

“Jadi perlu ada perubahan regulasi pengelolaan zakat, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum nasional, didukung dengan sosialisasi agar masyarakat tahu, faham dan sadar hukum. Bagi Prodi Muamalah dan FSH dan Prodi Studi Hukum Ekonomi Islam di Pascasarjana, untuk lebih mengembangkan lagi kajian-kajian ilmiah tentang mahal al zakat (objek zakat), tidak hanya menyangkut hukum tetapi juga aspek ekonomi (keuangan negera),” saran Fathoni.[Nank]

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *