Umrah dan Spirit kekitaan

Sejak pelaksanaan manasik sampai pada pelaksanaan ibadah inti, begitupun dalam pelaksanaan kegiatan lainnya, rangakaian kegiatan umrah selalu dilaksanakan secara bersama-sama. Status sosial yang melekat pada masing-masing jemaah tidak membuatnya menonjolkan keakuan diri, mereka berbaur dalam konfigurasi pelangi. Ibarat taman sari dengan ragam puspa yang berbeda, atau ibarat musik yang lahir dari paduan nada yang tidak sama, semua jemaah larut dalam kebersamaan membangun spirit kekitaan.

Hal ini seakan mengejawantahkan titah Allah dalam Al-Qur’an, dimana hampir dalam semua ayat, Allah menyeru orang beriman selalu dalam bentuk jama’i (komunal), bukan dalam bentuk infiradi (individual), seperti; Ya ayyuhalladzina amanu (wahai orang-orang beriman), bukan Ya ayyuhan mu’minun (wahai orang beriman). Dalam telisik kajian para mufassirin, dengan bentuk seruan itu, secara inflisit Allah menyeru umat Islam untuk merawat kebersamaan.

Spirit kekitaan dalam bingai kebersamaan, akan menghantarkan setiap jemaah umrah singgah dalam sikap mafhum wal ma’lum (memahami dan memaklumi) perbedaan. Dalam sikap ini diyakinkan para ulama, akan terbangun pemahaman dan keyakinan, bahwa di balik aneka warna kulit yang berbeda ada kesamaan merahnya darah, dibalik perbedaan aneka warna pelangi, ada kesamaan putih sebagai warna dasarnya, dibalik aneka suku dan ras yang berbeda ada kesamaan Sang Induk sebagai asal-muasal kelahirannya, dan dibalik aneka ragam aliran dan madzhab yang berbeda ada kesamaan Tuhan, syahadat juga Nabi dan Rasul.

Karena itu, dalam sejarah perjuangan umat Islam, telah dicatat dengan tinta emas, bahwa sprit kekitaan telah mementalkan berbagai harakah atau gerakan yang berupaya melenyapkan Islam dari pangung peradaban. Keberhasilan Islam yang lahir di shibhul zazirah kemudian bergerak menembus dinding dan batas-batas teritorial, hingga sampai di bumi pertiwi, kemudian survive dan terus berkembang hingga hari ini, adalah buah teramat istimewa dari spirit kekitaan. Dengan jelas Allah menegaskan, la tuqotilunakum jami’a, (Qs Al-Hasyr: 14), tidak ada siapapun yang bisa membunuh umat Islam, jika berhimpun dalam kebersamaan. Dalam simpulan para ulama, kebersamaan adalah kode genetik umat Muhammad dimanapun dan kapanpun.

Kebersamaan yang ditemui dalam ibadah umrah, adalah kebersamaan yang berbasis pada penghayatan kedalaman spiritualitas. Hal ini merupakan auto-kritik atas berbagai modus kebersamaan yang berbasis pada spirit identitas. Setiap kebersamaan yang hanya berbasis pada spirit identitas namun nihil spiritualitas, selain akan berakibat mudahnya kehilangan jati diri, juga akan menghantarkan umat Islam mudah kehilangan kesanggupan untuk berdamai dengan segala perbedaan, ketidak pastian dan misteri kehidupan. Ending-nya, lahirlah berbagai realitas paradoks. Judul komunitasnya organisasi sosial Islam, tapi hobinya nyinyir, nyindir bahkan mengkafirkan saudaranya yang se-Islam. Modus keberagaan seperti ini, selain akan membuat umat Islam kehilangan kesempatan untuk beramal sholeh, juga akan memantik lahirnya murka Allah (Surat Al-Maun:4-7)

Sekaitan dengan itu, sejarawan Inggris, Arnold Toynbee dalam bukunya A Study of History, setelah melakukan penelitian seksama terhadap bangkit dan jatuhnya puluhan peradaban di dunia. Ia menarik simpulan, bahwa bangunan peradaban, tanpa berpijak pada landasan transendental, Ia laksana istana pasir. Dalam hal ini, samuel Huntington, dalam bukunya Clash Of Civilization (2004) menguatkan, bahwa geografi peradaban yang mampu survive adalah geografi peradaban yang berbasis pada kedalam spiritualitas atau keyakinan atas Tuhan. Studi seksama kedua ilmuwan ini mengisyaratkan, bahwa ada korelasi yang sangat erat antara penghayatan kedalaman spiritualitas dengan kemajuan sebuah peradaban.

Pada akhirnya, dalam setiap kebersamaan dengan spirit kekitaan bukan keakuan, dan berpijak pada kedalaman spiritualitas bukan hanya identitas, menjadi semacam signal yang memantik lahirnya keterlibatan tangan Tuhan. Dalam hadits riwayat Imam tirmidzi, Rasululloh Saw menegaskan, “yadullohi ma’al jama’ah”, pertolongan Allah menyertai orang yang bersama-sama. Dalam hadits lain Rasulpun menegaskan, “waljama’atu rohmatun” kebersamaan itu mengundang rahmat Allah. Karena itu, mari kita rawat kebersamaan dan kekitaan ibadah umrah dalam perjuangan hidup berikutnya. Semoga.

Aang Ridwan, Pembimbing Haji Plus dan Umroh Khalifah Tour dan Dosen FDK UIN Bandung

Sumber, Pikiran Rakyat 28 Januari 2020

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *