SPIRIT ENTREPRENEURSHIP ERA DISRUPSI

(UINSGD.AC.ID)-Dalam dua kali kesempatan ibadah umrah di tahun ini, untuk menempuh perjalanan Madinah Mekah, kami memilih menggunakan sarana transfortasi kereta cepat. Bila menggunakan bis, lazimnya perjalanan antara dua kota suci itu, ditempuh dalam durasi antara enam sampai tujuh jam. Namun dengan inovasi teknologi transfortasi darat yang serba digital itu, hanya dibutuhkan waktu dua jam setengah saja.

Tandusnya gurun pasir dan gerombolan kambing yang mengembik adalah pemandangan yang ditemui di sepanjang perjalanan. Seketika pikiran ini dihantarkan pada masa kecil Rasulullah. Ketika irama takdir Allah mengujinya begitu berat, karena ditinggal wafat ayah dan bundanya, dalam asuhan sang kakek yang dilanjut pamannya, beliau menjadi anak yang tumbuh kembang dalam kemandirian. Dalam hal kemandiran finansial, diusianya yang sangat belia, beliau pernah menjadi seorang pegembala kambing dari penduduk Mekah.

Pada usia 12 tahun, beserta pamannya beliau sudah menjelajah dunia perdagangan intenasional dengan berjalan ke Syiria. Bahkan menjelang pernikahannya dengan Khadijah binti Khuwailid, perjalanan entrepreneursip beliau telah sampai ke Yaman, Syiria, Busra, Iraq, Yordania, Bahrain dan jalur perdagangan lainnya yang berada di Shibhul Jazirah. Perjalan dan aktivitas entrepreneurship terus beliau lakukan hingga beiau berumah tangga.

Dalam literasi ekonomi Islam, ditemui dengan jelas, sepanjang sejarah peradaban Islam, spirit entrepreneurship, terutama yang terkait dengan; kemandirian finansial, adaptasi dengan perubahan, inovasi dalam menghadap kompetisi, telah dipraktikan baginda Nabi, para sahabat hingga mentradisi pada generasi berikutnya. Hal itu dilakukan untuk merespon berbagai perubahan dan perkembangan zaman yang begitu cepat.
Spirit ini harus kembali digali, ketika hari ini umat Islam dihadapkan pada era disrupsi ekonomi.

Bermula dari gelombang From Zero to One (1985-1999), dimana para martir dibidang teknologi internet, sebut saja; Steve Jobs, Bill Gates, Steve Cace, Moore, Scott McNealy dan Groove, mereka memproduksi ragam perangkat lunak dasar, modem, mikroprosesor, perangkat keras dan jejaring yang mengkoneksikan hasil kinerja mereka.

Setelah itu, lahir gelombang Aplikasi dan Komersialisasi (2000-2015), sebagai gelombang uforia karena terbentuknya konektivitas intenet. Maka munculah Google sebagai mesin pencari, disusul media sosial dan ragam produk aplikasi lainnya yang berhasil memantik manusia melakukan migrasi dari dunia nyata ke dunia maya. Mark Zuckerberg, Larry Page, Jack Ma, Kevin Systrom, Chad Hurley, Steve Chang, Jawed Karim, Tim Cook, dan Segrey Brin, adalah sederet nama yang telah menjadi motor penggerak perkembangan ekonomi melaui e-commerce yang memantik ekonomi global.

Berikutnya pasca 2016 sampai sekarang, dunia dihadapkan pada Era Internet of Things, suatu era di mana internet bukan saja milik perusahaan-perusahan perintisnya, tetapi menjadi lifeblood, darah yang merambah pada semua elemen kehidupan. Pada era ini munculah disrupsi dalam semua bidang kehidupan, dimana teknologi lama yang serba fisik harus tercerabut dan terpelanting karena berhadapan dengan inovasi teknologi digital yang serba smart.

Pada semua bidang, tanpa kecuali bidang ekonomi, era disrupsi sangat menghajatkan tiga hal; kehadiran SDM yang tangguh, kemauan dan kemampuan beradaftasi dengan teknologi digital, dan inovasi sebagai harga mati. Melalui aktivitas entrepreneurshipnya, tiga kualifkasi ini sesungguhnya telah dicontohkan Rasulullah, bahkan sejak beliau belia. Agar survive di era disrupsi, ihyaussunah, menghidupkan sunah dalam bidang enterpreneurship, adalah solusi.

Aang Ridwan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Sumber Pikiran Rakyat 15 November 2022

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter