Sinergi Ormas Islam

Pendulum politik umat Islam pada Pemilihan Presiden-Wakil Presiden, 9 Juli 2014 nanti masih belum ajeg bergerak kemana. Poros Indonesia Raya dan berbagai opsi koalisi tengah dirancang bersama. Pertemuan elit ormas dan politik Islam terus digelar. Namun, masih belum menghasilkan keputusan yang membumi dan valuable.

Bukan tanpa sebab tentunya, dari sisi historis, menyatukan ormas dan partai Islam seperti menegakkan benang basah. Hampir mustahil, karena beragam kepentingan menyertai di dalamnya. Selain itu, fakta historis, partai politik Islam tak pernah benar-benar menang mutlak, walaupun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Bahkan secara filosofis Cak Nur pernah menyampaikan “Islam Yes, Partai Islam No”. Ini bukan slogan semata, pun merupakan hasil kajian atas realitas saat itu. 

Harus diakui pula,  hingga kini, tidak ada tokoh politik Islam yang lengkap dari sisi kelihaian berpolitik maupun tingkat keteladanannya. Amien Rais, Gus Dur, Yusril Ihza Mahendra dan yang lainnya, tidak secara komprehensif menjadi milik imaji politik umat. Mereka lebih merupakan milik partai politik masing-masing. Sulit kita menemukan tokoh yang mampu mensinergikan perjuangan demi kemajuan Bangsa Indonesia. Alibinya terkadang karena tiadanya common enemy, sejatinya hal itu bisa saja diciptakan atau sebetulnya ada di hadapan kita masing-masing, yakni keterbelakangan, kemiskinan, ketertinggalan dibandingkan negara dan bangsa lainnya.  

Dari berbagai fakta yang ada, partai politik yang ada sama-sama memperjuangkan umat Islam, namun sulit untuk mau bersatu, itu lah ironisme telanjang partai politik Islam saat ini. Egoisme tokoh dan dominasi kepentingan demi mencicipi kue kekuasaan lebih utama dibandingkan agenda besar memberdayakan umat. Deretan ironi tersebut sesungguhnya harus memberikan kesadaran terdalam untuk segera duduk bersama, menguatkan ikatan, jangan bercerai berai sebagaimana diperintahkan Allah SWT  dalam Q. S. 3: 103. Jamaah politik umat Islam barisannya harus diluruskan dan imamnya harus bersama-sama dilahirkan. 

Jamaah politik umat harus dipimpin oleh imam yang lahir dari proses pendidikan umat, mengalami kaderisasi dan tumbuh tidak hanya kuat aqidah, luhur moralnya, dalam ilmu keislamannya, tapi juga toleran, luas wawasan dan jaringan internasionalnya. 

Harapan lahirnya generasi kepemimpinan yang mumpuni dan memiliki pemahaman lintas mazhab itu, tentu tidak bisa diharapkan dari partai Islam an sich. Adalah tugas ormas Islam untuk melahirkannya. Starting point-nya bukan hanya dari proses pendidikan yang berkualitas, namun dari dukungan kepemimpinan nasional yang memadai. Untuk itu lah, ormas Islam memiliki agenda besar, kepentingan utama, untuk terlibat penuh, memastikan bahwa Presiden, Wakil Presiden dan jajaran kabinetnya, beserta anggota DPR, DPD, DPRD dan Kepala Daerah beserta jajaran birokrasi dibawahnya merupakan bagian dari kekuatan politik umat.

Apabila hari ini itu belum terasa, maka peran politik ormas Islam harus dikuatkan. Untuk menjadi kekuatan besar, sinergi adalah kata kuncinya. Bila saja NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, Mat’laul Anwar dan semua ormas Islam bersatu, maka akan menjadi penentu siapa Presiden, pejabat publik baik itu di pusat maupun daerah. Namun, sinergi itu acap kali menjadi mimpi di siang bolong, egoisme elit ormas Islam masih kuat. Maka dengan mudah, umat diceraiberai oleh kepentingan sesaat, atasnama bantuan ke mesjid, pesantren dan periuk nasi tokoh-tokohnya.

Sejarah masih mencatatakan, skisme di bidang politik masih kuat, dipilih sebagai kenyataan, karena perbedaan adalah rahmat. Jika perbedaan itu dibingkai dalam pemikiran yang terbuka, bukan dalam konteks jamaah politik, tentu saja itu bagian dari budaya pengembangan pemikiran dan keilmuan yang dinamis.    

Merajut Kain Ukhuwah

Momentum pemilihan Presiden-Wapres, 9 Juli 2014 boleh jadi menjadi titik awal dialog, diskusi dan kebersamaan itu dirajut menjadi kain ukhuwah Islamiyah yang tebal, indah, menutupi aurat dan menawan ketika dipakai. Kain ukhuwah itu harus tebal agar tidak mudah disobek, oleh sikap curiga, egoisme dan upaya memecah belah yang dilakukan pihak lain. Harus indah, karena berisi beragam cara pandang keagamaan, dan perbedaan itu adalah rahmat. Dengan kebersamaan, akan menjadi kekuatan, dengan cepat akan mengurangi kebodohan dan kemiskinan, karena itu lah aurat (sesuatu yang memalukan) bagi umat selama ini. Tentu saja, ketika bersinergi, akan menjadi kekuatan yang menakutkan, tak tertandingi dari sisi politik di Indonesia. 

Agenda politik nasional itu sekedar momentum awal. Karena sejatinya, sejumlah pekerjaan rumah terkait agenda sosial budaya dan politik keumatan sudah di depan mata. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut Indeks pembangunan Indonesia (IPM) tahun 2012 sebesar 73,29%. Jika mayoritas penduduk Indonesia itu umat Islam, maka tentu saja yang tingkat kesehatan, pendidikan dan kesejahteraannya rendah umumnya adalah umat Islam.

Karena itu, dibutuhkan keinsyafan bersama pentingnya sinergi dalam berbagai aksi. Kebersamaan itu dapat dilakukan dengan strategi; pertama, meminimalisir potensi saling mencederai perasaan pengurus dan anggota ormas. Kedua, melakukan aksi sosial bersama. Sudah saatnya, pesantren, sekolah dan lembaga sosial lainnya dikelola bersama dengan semangat menjaga kualitas pengelolaan dan layanan kepada umat. Sikap tertutup pada perubahan dan gagasan baru yang lebih hebat dari orang lain sangatlah merugikan bagi umat Islam yang masih tertinggal hingga kini.  

Ketiga, menghindari upaya penguasaan tempat ibadah. Sebelumnya riak perselisihan kecil itu muncul dalam praktik ibadah. Keempat, MUI menjadi tempat dialog pemikiran keislaman yang terbuka dan toleran. MUI jangan menjadi lembaga fatwa serampangan. Kedepankan dialog dan upaya-upaya edukasi bagi individu atau kelompok yang tengah berada di jalan sesat. Pemikiran terbuka harus diwadahi oleh MUI, tanpa kepentingan politik apapun.

Kelima, menguatkan dialog pemikiran di kalangan generasi muda muslim. Sikap curiga dan benci antar kader muda di setiap ormas harus dikikis dengan berbagai dialog, aksi bersama dan sinergi sedari muda. Ibarat rangkaian gerbong, kebersamaan akan menguatkan, karena merekalah calon pemimpin di masa mendatang.   

Tanpa bermaksud mengesampingkan keberadaan ormas Islam lainnya, harus diakui, NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas yang sama-sama besar baik jumlah anggota, amal usaha dan aset organisasinya. Bukti keberhasilan nyata  pribumisasi Islam yang sangat cerdas. Kini agenda itu harus diteruskan dengan sinergi, karena tanpa itu, selamanya umat hanya akan menjadi buih di lautan. Wallahu’alam.

Dindin Jamaluddin, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung

Sumber, Pikiran Rakyat 10 Mei 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter